"Reina, please deh lo itu udah cantik pake banget nget nget ngeeeet... mau dipolesin apalagi sih? Yang ada lo malah kaya tante girang Rei" aku merebut bedak ditangannya. Menarik Reina keluar kamar dan segera menaiki taksi yang telah kami pesan sebelumnya.
Demi Tuhan! Reina sangat cantik dan aku yakin di bisa menjadi Queen of Prom night malam ini sekalipun ia tidak memakai make up. Ya, itu akan terjadi jika pada malam ini hanya ada aku dan dia disana. Okay, maksudku disini adalah aku cantik, tapi Reina lebih cantik. Walaupun Reina lebih cantik daripada aku, siswi SMA Berlian lainnya pun banyak yang lebih cantik dari dia. Okay, intinya aku ini cantik dan itu mutlak. Titik.
"Lo mau nunggu Fani dimana Urap?" Tanya Reina. Oh ya, nama asliku bukan Urap, aku ini Maura Audy, panggil saja Audy. Bagiku orang yang berhak memanggilku dengan nama khayalan mereka berlaku hanya pada tiga orang. Salah satunya, Reina.
"Minimarket depan aja, tadi si Fani udah nge-chat minta disana" Aku merapikan pakaianku sekali lagi. Menatap diriku dipantulan cermin, tersenyum. Aku tahu, kini sudah saatnya.
Toktoktok!
Aku menoleh pada jendela disampingku, Fania berdiri disana dengan anggun sambil menampakan senyumnya yang khas. Aku bergeser saat ia membuka pintu dan duduk disampingku. "Sorry Urap, dompetmu kemarin ketinggalan dikamarku, isinya sih aman tapi dompetnya..." Fania Putri adalah orang kedua yang berhak memanggilku dengan nama anehnya.
"Okay, gapapa."
Aku turun lebih dulu saat taksi yang kami tumpangi berhenti didepan gerbang sekolah. Membiarkan Reina membayar argo sendiri, suruh siapa membuat ban mobilku bocor sore tadi. Baru beberapa langkah aku memasuki gerbang sekolah, aku melihat beberapa orang mulai berbisik.
"Maur..." sapa seseorang dingin. Suara yang amat aku kenal dan akan selalu aku ingat, seseorang yang berhasil membuatku berhenti melangkah hanya untuk menunggunya dan dapat melihatnya lagi. "Lo keliatan beda" aku tersenyum sebagai balasan dari kata-katanya. Dialah orang ketiga itu, seorang Rayan Satya. Sahabatku.
Kami melangkah menjauhi aula sekolah, menuju tempat pertama saat aku bertemu dengannya lapangan basket.
"Ini hal yang paling lo benci kan Maur?" aku sadar saat ini Rayan tengah menatapku sambil terus melangkah. Aku menghembuskan nafas berat "lo tau kan jawabannya Yan?" aku duduk disalahsatu bangku pinggir lapangan.
"Perpisahan itu takdir Maura, ia takdir dari sebuah pertemuan. Lo tau, gue rasa tidak ada yang pantas kita sebut perpisahan bahkan kematian seseorang sekalipun. Lo percaya akan adanya kehidupan setelah kematian kan? Bahkan setelah kematian, kita masih dapat bertemu kembali. Bedanya, saat itu lo mungkin tidak sadar siapa gue."
"Ya, lo selalu bener Yan. Gue harap suatu hari kita bisa ketemu lagi dan gue bener-bener berharap lo akan sadar siapa gue. Siapa kita." Aku tersenyum.
"Ya pasti gue sadar lah Maur, lo itu sahabat cewek gue yang paling top markotop." Rayan mengacak rambutku, kebiasaan yang sering ia lakukan. Kebiasaan yang pasti akan sangat aku rindukan.
Sahabat. Ya, tigatahun ini adalah tentang pesahabatanku dengannya dan mereka.
YOU ARE READING
Karam dan Garam
Teen FictionMaura: Yan, lo tau hal yang paling gue benci? Rayan: Oh, gue baru tahu kalo lo juga bisa ngerasain yang namanya benci hahaha... Maura: Iiiihhh Rayan, gue serius nih! Rayan: Hal yang paling lo benci ya? Hmm, kayanya gue deh. Iyakan? Maura: Hmm, kayan...