Ugh.. pusing..
Aku membuka mata dan memandang sekelilingku. Serba putih. Bau menusuk obat-obatan. Hhh.. tempat ini lagi.Pintu ruang ini terbuka. Sesosok lelaki berjas putih muncul dari pintu dan mendekati tempatku berbaring... setengah duduk.
"Kau bangun." suaranya terdengar lembut namun berwibawa.
"Hn. Dennis, kenapa kau membawaku ke tempat menjijikan ini lagi, sih? Kau kan bisa mengobatiku dirumah." aku merajuk pada Dennis. Ya, Dennis. Kakakku
"Hmm.. tidak bisa, Aiden. Kau tak akan bisa dikontrol di rumah. Bahkan gelang ini pun kau lepas."Aku diam saja, membiarkan Dennis memasangkan sebuah benda menjijikkan yang membuatku terlihat lemah. Ya, gelang HMF yang menyebalkan.
"Jangan dilepas lagi atau kupatahkan semua kuas dan kanvasmu!"
Aku hanya memutar bola mata malas mendengar ancamannya yang selalu sama.
"Aku ada pasien lain. Kutinggal, ya. Awas kalau kau macam-macam!"
"Dennis." panggilanku membuatnya mengurungkan langkahnya untuk keluar.
"Hm?"
"Apa aku akan lama disini?"
"Ya. Cukup lama. Mengingat kau sangat nakal. Kenapa?"
"Tak apa. Pergilah!"Dennis kembali meneruskan langkahnya. Meninggalkanku sendirian di ruangan putih ini. Kuelus jari telunjukku yang terbungkus perban.
Cih, luka sekecil ini hampir mengalahkanku. Menjijikkan.Kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Putih. Polos. Aku tak suka.
Pandanganku mengedar lagi, mencari. Dennis tak membawakan satupun alat lukisku. Ahh...Aku benci putih.. polos..
Kulirik tangan kiriku yang tertancap jarum infus. Hmm.. ada pewarna disana. Kuasnya juga ada.Aku tersenyum. Senang mendapat apa yang kuinginkan. Tetap tersenyum. Aku berdiri. Berjalan mendekati tembok putih polos itu. Mulai melukis. Dengan senyum.
"Aiden. maaf aku lama. Aku membeli alat lukis baru untukmu. Kau bisa mewarnai temboknya sekarang... Aiden?"
Dennis bingung ketika tak didapatinya sosok adiknya di tempat tidur.
"Kemana anak itu? Ukh. Bau apa ini?" Dennis mengerutkan keningnya mencium bau yang terasa familiar baginya. Terlalu sering menemuinya rupanya.
"Ini... astaga! Jangan lagi.. kumohon.. AIDEN! AIDEN!"
"Kau berisik sekali, Dennis."Bisikan lemah adiknya, yang masih dapat didengarnya mengarahkan pandangannya ke suatu sisi tembok yang sudah dipenuhi warna merah.
"Astaga! ya Tuhan.. ya Tuhan.. Aiden."
Dennis ngeri melihat pemandangan mengenaskan di hadapannya.Aiden, dengan tubuhnya yang sudah sangat pucat, terbaring di lantai menghadap tembok. Tangan pucatnya terus mengoleskan sebuah kasa yang dibasahi dengan cairan merah yang tak berhenti keluar dari punggung tangan kirinya. Bibir pucatnya yang makin membiru dan gemetar terus bergumam 'merah.. merah..'
Tubuhnya diangkat tiba-tiba oleh Dennis, yang terus menggumamkan 'bodoh kau.. bodoh..' sambil terus menangis dan mencoba menyelamatkannya.
Aiden diam. Tersenyum manis. Terus memandangi 'hasil karya'nya di tembok itu. Ikan berwarna merah menempel di tembok ruangannya kini. Bibir pucatnya berbisik lirih, tenaganya sudah hilang untuk berucap lantang
"I love red" dengan senyum manis terkembang.
FIN
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales Of The Silence
Short StorySekumpulan short stories buatan saya Super Junior fanfic