Hiruk-pikuk kota Seoul menjadi pemandangan lazimku tiap hari. Mobil-mobil, bus, sepeda motor dan kendaraan lain terlihat bagaikan serangga dari lantai 10 apartemen tempat aku tinggal, berwarna-warni, bergerak merayap, berlomba-lomba saling mendahului, seolah berusaha kabur dari dunia yang bagaikan bom waktu.
Aku duduk di sini, di atas kursi kayu di sebuah apartemen sederhana di wilayah Hongdae. Bersantai menikmati Sabtu pagi ditemani segelas susu dan sandwich buatanku sendiri, serta Ginger, kucing orange kesayanganku yang sedang asyik menyantap tuna kalengannya dengan lahap.
Melirik jam dinding, baru jam 9. Masih terlalu pagi untuk keluar jadi aku hanya meneruskan acara bersantaiku sembari menunggu waktu berjalan. Ginger sudah menyelesaikan tunanya dan sekarang dia melompat ke pangkuanku yang hanya diam dan mengelus bulunya lembut.
Kulirik kembali jam dinding, jam 10 rupanya. Aku bangkit dari kursi, setelah sebelumnya sempat meletakkan Ginger yang masih lelap ke kasurnya. Kukenakan jaket tipisku lalu keluar setelah memastikan kunci pintu otomatisku bekerja.
Menyusuri jalanan Hongdae, musisi-musisi lokal mulai bersiap-siap untuk konser kecil mereka malam nanti, begitupun kedai-kedai soju dan makanan ringan yang mulai mempersiapkan kedai mereka. Para mahasiswa Universitas Hongik pun mulai sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Aku tetap meneruskan langkahku tanpa mempedulikan mereka semua yang sudah pasti tidak mempedulikanku.
Aku terus melangkah ringan menuju klinik psikiatri kecil yang terselip di lantai bawah salah satu gedung. Setelah membunyikan lonceng di depan pintu, aku masuk. Disana duduk dr. Kang Jaesuk, seorang psikiater berusia 40-an yang tersenyum ramah kearahku. Cih! Aku selalu membenci senyuman manisnya itu.
"Baiklah, Lee Donghae-ssi, rupanya kali ini kau datang tepat pada jadwal." Bahkan sapaannya terasa menyebalkan bagiku.
"Well, aku tidak mau kau mendatangi apartemenku seperti bulan lalu. Itu menyebalkan." Jawabku sekenanya. Cih! Dia tersenyum lagi.
"Baiklah. Sepertinya privasimu jauh lebih penting dari apapun. Kemari dan duduklah." Aku mendudukkan diriku di kursi tepat di hadapannya.
"Jadi, Donghae-ssi, bagaimana kabarmu hari ini?" Aku memutar mata malas. Pertanyaan yang sama.
"Ayolah, dokter. Jawabanku akan tetap sama jadi ayo buat konsultasi kali ini tidak membosankan." Jujur aku malas mengulang jawabanku tiap bulan.
Dokter itu terkekeh pelan. Melepas kacamatanya, memperbaiki duduknya kemudian mencondongkan wajahnya mendekati wajahku. Menatap mataku dalam dengan wajah serius yang membuatku risih.
"Baiklah. Karena kurasa konsultasi 10 tahun kita tidak merubah apapun, aku akan langsung menanyakannya saja." Tatapan matanya serius dan tidak bergerak sedikitpun. Seolah mengintimidasi. Aku hanya mengangguk.
"Jadi, Donghae-ssi, kau ingat apa yang terjadi 10 tahun lalu? Saat itu kau baru 9 tahun. Ibumu berselingkuh, ayahmu mengetahuinya hingga mereka bertengkar hebat. Pertengkaran mereka mengganggumu hingga kau mendorong mereka satu persatu dari lantai 10 apartemen tempat kalian tinggal setelah sebelumnya membunuh mereka dengan pisau cutter. Benar?" pertanyaannya membuatku terdiam sejenak.
"Sudah berapa kali kubilang bukan aku yang melakukannya. Ginger yang membunuh mereka." Kilahku. Dr. Jaesuk kembali terkekeh pelan. Kemudian kembali menfokuskan pandangannya padaku.
"Ayolah, Donghae-ssi, berhenti menyalahkan kucingmu yang tak berdosa itu. Alasan bocah itu seharusnya sudah tidak kau pakai lagi." Ucapannya seperti meremehkanku.
"Mereka pantas mendapatkannya." Ucapku santai membuat dia membelalakkan matanya bingung. "Bertahun-tahun mereka meninggalkanku sendirian di apartemen busuk itu dan hanya pulang beberapa bulan sekali hanya untuk bertengkar. Percayalah, dokter, mereka bukan orang baik yang tidak pantas mati. Mereka hanya sepasang makhluk egois yang meninggalkan bocah yang seharusnya belum bisa mengurus dirinya sendiri tanpa pengasuh. Dan mereka hanya pulang untuk bertengkar, membuat apartemen yang sudah kujaga serapi mungkin berantakan dan merusak suasanya tenang yang biasa kunikmati bersama Ginger. Jadi untuk apa mereka hidup?" ucapku tanpa emosi masih dengan mata kami yang bertatapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales Of The Silence
Short StorySekumpulan short stories buatan saya Super Junior fanfic