Bedialektika Kepada Malam

25 3 0
                                    


Bila Ingin Mendengar Semesta Berbicara, Duduklah pada Malam yang Beranjak Menua dan Korek Rahasia Tentangnya.

Dentang-dentang jam terdengar bukan hanya sebagai bunyi, tapi adalah dongeng-dongeng pelacur tua yang semakin menawan seiring usia. Goyangan rumput tak lagi terlihat sebagai tarian, tapi adalah keresahan seorang musafir yang mencari teduh pepohonan yang kini terganti pohon-pohon beton menjulang langit. Bulan tak lagi tampak sekedar cahaya, tapi berkisah tentang perawan yang tak lagi berharga. Bintang tak lagi terlihat sebagai pijar, tapi berbisik tentang masa kecil yang terjual atas nama 'bertahan hidup'. Bahkan kursi tempatmu bertumpu akan memberitahumu tentang makna pengorbanan dan senyum yang kini dijual dipintu masuk setiap toko-toko pakaian dan sebagainya. Dunia tak lagi luas ketika koran dan aneka media lainnya menyerbu setiap sudut kota dan perkampungan. Semuanya terasa begitu sempit dan sesak. Cinta hari ini tak lagi tercipta dari rindu, sebab jarak kini hilang bersama kabel yang mengirim suara dari kota ke desa. Bahkan Manusiab-Manusiab suci tak lagi bisa melerai setiap pertikaian, malah dijadikan alasan untuk membunuh. Hari ini tak adalagi yang berperang atas nama kebenaran, sebab simbol telah mengotak-kotakkan manusia. Dan kebenaran hanya milik segelintir orang saja.

Atas nama akal, manusia merusak segalanya:hutan, sungai, laut bahkan langit. Berkedok akal juga, manusia bebas mengumbar nafsu kebinatangannya. Hingga malampun tak lagi berkisah tentang gelap yang mengirim suara jangkerik dari balik bebatuan dan rerumputan dibelakang kebun, tapi tentang kerlap-kerlip cahaya yang mengirim bising mesin kota pada telinga pekak. Dirimu tak lagi menjumpai awan putih dan mengajakmu berimajinasi. Sebab langit telah berganti hijab asap-asap pabrik membumbung dan sibuk pesawat terbang berlalu-lalang. Hanya semesta yang masih setia menceritakanmu sejarah yang tragis dan sedikit menyakitkan. Sebab semesta adalah saksi yang hanya bisa diam melihat semua periode dan parade hidup. Jangan pernah bertanya mengapa semesta tak pernah mau bicara siang-siang begini. Sebab terlalu banyak yang terlihat pada siang. Terlalu banyak cakap bising tak berguna. Sedang rahasia adalah diam, tenang dan hening. Dan malamlah yang bisa menyimpan rahasia. Dan nyatanya malam temenung menua bersama remaja yang duduk bertopang dagu tanpa tujuan di ujung jalan.

Seorang lelaki separuh baya berdiri di persimpangan jalan. Melihat mendung bergulung tertiup angin. Menutup terangnya purnama kala itu. Hilangkan bintang-bintang yang berikan pencerahan bagi jiwa yang mati. Atau, melihat kegiatan industri yang terus menerus dikebut atas nama produksi atau pasar yang mereka bangun sendiri. Dan lelaki itu duduk menua bersama malam yang penuh tanya dan rahasia.

Berjalan menyusuri malam di kesunyian hutan. Mendengar sabda semesta dalam naungan pohon-pohon pinus. Dalam bisu yang menyiratkan makna. Memahami tabahnya daun-daun kering yang diterbangkan angin. Kesiur angin menampar rimbun daun perdu. Menyajikan puisi yang bergaung di keheningan yang kian khidmat. Menjadi bumi untuk membumi. Melebur bersama kedamaian hutan dikala malam. Kunang-kunang seakan mengawal jalan menuju nirwana. Dan tersadar bahwa perjalanan ini terlalu jauh terperosok dalam lubang gelap malam. Namun, rahasianya belum terungkap. Terlalu rapi disembunyikan. Haruskah menyelam lebih dalam lagi. Mungkin hingga bertemu sosok yang sekiranya bisa diajak bicara atau setidaknya sedikit bersenda gurau.

Kemudian aku kembali pada gubuk tua ringkih di sudut kota. Kota yang telah lama mati. Mati sebenar-benarnya ialah matinya jiwa. Raga mereka seolah-olah hidup. Namun kenyataanya telah mati. Hilang tertelan waktu. Mungkin tertelan bumi. Atau mungkin, hancur dalam pertikaian ketika di kandungan ibu. Atau, takdir tuhan memang tak membekalinya jiwa. Tuhan yang mana yang rela membiarkanmu seperti itu. Atau mungkin, kamu memang belum memiliki tuhan (berpura-pura bertuhan).

Berdialektika dengan Ilmu seperti mematok tapal batas yang tipis antara kenyataan dan harapan. Mencoba mengkorelasi hukum alam dengan teori-teori yang bersifat sementara walau kadang pada akhir penyimpulan nilai keilmiahannya masih perlu dipertanyakan. Teori-teori ngambang pun banyak diminati manusia-manusia yang mengaku memiliki akal. Mungkin yang dipertanyakan seharusnya, apakah manusia benar-benar berpikir atau hanya sekedar merasa. Manusia hidup dalam kebimbangan. Manusiab suci yang mereka anut seakan hanya sebagai syarat atas agama yang mereka anut. Mungkin, mereka menyembah agama mereka. Bukan tuhan sesuai yang dijelaskan Manusiab suci mereka.

Alam telah menetapkan ruang aktifitas dimana binatang harus terus bergerak, dan binatang pun terus menjalani hidupnya di dalam ruang tersebut dengan setianya, tanpa berusaha bergerak untuk melampauinya, tanpa ada rasa iri terhadap ruang untuk bergerak dari binatang yang lain. Manusia juga binatang. Karena tiada sekat pembeda lagi. Manusia sudah kehilangan akal mereka. Otak mereka hanya sebagai pengatur sendi-sendi kaku dan mengalirkan darah kotor ke sekujur tubuhnya. Tiada manusia yang berpikir. Tinggal nafsu yang mereka miliki. Kemurnian manusia rusak karena sistem yang dibuat-buatnya sendiri. Rusak semua karena manusia. Hilang melayang jiwa-jiwa yang terbunuh sunyinya malam.

Kunyalakan lilin dalam ruang sendiri. Ditemani gelap malam dan sesak polusi kehidupan. Pendar lilin yang perlahan lindap sebab umurnya yang kian pendek, tak bercerita apapun padaku. Mungkin apa yang hendak dikatakannya telah didahului semesta. Sehingga dia hanya bisa diam seperti aku, mendengar semuanya bicara. Dia tetap setia menemani kesendirianku. Meski kadangangin malam meniup cahayanya hingga nyaris padam. Entah, dia setia menyala untuk siapa. Hingga rela mati atas nama cahaya yang sementara. Manusia bukankah ada juga yang seperti itu. Sebagian mereka hidup untuk kebahagiaan sementara orang yang bahkan tak mereka ketahui adanya. Rela bersimbah darah untuk kebebasan dari jajahan yang pada hakikatnya memasukan kepada aturan yang menjajah mereka sendiri. Mungkin manusia suka untuk dijajah. Atau karena diamnya seperti lilin, ia enggan menjelaskan alasan mengapa rela seperti itu. Mungkin pilihan mereka mati sia-sia dan terlupa. Atau sekedar untuk kesenangan mereka. Manusia ingin mati seperti apa yang mereka angan-angankan. Walau kenyataanya kematian itu datang tak kenal waktu.

Malam akan terus menjadi malam. Berjalan sesuai kodratnya. Gelap dan dingin. Tempat rahasia semesta yang sering kali dipertanyakan. Berdebat antar ras terkait kesetaraan. Atau terkait gender yang terus berusaha disamakan. Nyatanya kodrat alam menentang berbagai kesamaan. Karena mereka lahir berdasarkan perbedaan. Kesatuan omong kosong kaum atas sebagai wakil tuhan dalam mengatur dunia. Dan malaikat terbunuh ditengah lapangan dan disaksikan setan dan manusia sembari bernyanyi ria dan bersuka cita. Dan malam semakin gelap seketika sesaat setelah matinya sisa kebaikan di dunia.

Bodoh. seseorang mati dalam ambang kepedihan yang ia derita. Mati terkulai terbunuh waktu. Oleh detik detik yang terus menanyakan kata-kata yang sama. Untuk apa hidup jika diisi dengan kepalsuan?. Jika kepalsuan memang syarat untuk hidup. Dalam gelapnya malam dan tingginya ego hati para manusia. Mati dalam keramaian tanpa ada seorang yang peduli. Sepi. Dalam malam malam yang penuh rahasia dan pertanyaan.

Manusia melakukan sesuatu sesuai kehendaknya. Sesuai apa yang mereka inginkan. Tidak mau dianggap bodoh, hanya ingin dipuja. Lalu menuju tepi telaga di kala malam yang gelap dan berterus terang menyombongkan dirinya kepada langit yang tinggi. Meyakini bahwa dirinyalah kebenaran yang tersisa. Padahal, ia tidak berisi sama sekali. Kekosongan jiwa dalam raga yang masih hidup, lebih baik mati dalam kesunyian hutan di pekat gelapnya semesta.

Nyanyian burung malam yang memecah keheningan. Membangunkan anak desa dalam mimpi indahnya dan menjatuhkannya bagai ruby merah menyala. Tubuhnya merinding bergetar mendengar nyanyian semesta dan melihat sang rembulan menari indah dengan lemah gemulainya. Tersentak ia menuju dimensi lain. Manusia mengulurkan tangannya, tersihir oleh nyanyian semesta dan mereka berjalan tak berarah dalam di remang cahayanya. Kidung itu menjadi sihir yang memperdaya mereka bagaikan candu. Keriput sang nenek kian jelas menggariskan pengalaman hidupnya. Dengan cerita-cerita masa lalu yang penuh dengan dongeng yang tak masuk akal. Tapi percayalah, ia adalah saksi atas mereka yang pernah dianugrahi keajaiban. Otak manusia tak sampai meraih lonceng imajinasi mereka, dan bergantung pada apa yang mereka lihat. Seolah rasa mereka telah mati ditelan sepi. Iya, sepinya malam mencabik-cabik kesadaran mereka tentang rasa,cinta dan kasih sayang.


Mari Manusia bicara tentang malam

Tentang waktu indahnya merayu bahkan mendayu sayu

Dengan rahasianya yang abadi

Dan gelapnya yang setia datang ceritakan derita

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 04, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mencatat KejadianWhere stories live. Discover now