Melangkah di Antara Hujan

42 2 0
                                    

"Dalam hujan tersisip harapan bagi mereka yang berharap,tersisip kenangan bagi mereka yang memiliki kenangan,dan luka bagi mereka yang rela terluka. Tanyakan kepada pohon, bunga dan angin tentang apa yang telah dilaluinya. Atau langit gelap membendung permata."

Gelap mega menyapa senja yang kaku membisu. Serpihan permata turun membasahi bumi. Perlahan airnya menuai kritik dari para pujangga. Bersama sedikit angin menerpa ranting-ranting pohon tua yang kemudian jatuh tak berdaya terhempas ke bumi. Daun-daun tua berguguran dan terbang bertaburan tertiup angin yang semakin lama semakin kencang. Terbang tak tentu arah yang kemudian hilang ditelan waktu. Begitupun nasib ranting, yang akan lapuk menjadi debu. Mereka yang muda tetap kuat berpijak pada ranting-ranting yang masih kokoh pula. Ranting dan dahan menjadi tempat tinggal bagi sebagian mahkluk bumi. Tempat bersenda gurau dan bermain bersama sahabat yang tak lama lagi akan pergi. Akar-akar yang terus menembus kerasnya bumi, mencengkram tanah hingga akhirnya pohon itu makin besar dan kuat. Terus begitu sepanjang hayat pohon yang setiap tahun menghasilkan biji. Kemudian akan menjadi pohon-pohon yang baru. Begitulah cerita pohon kepada badai yang membuatnya tumbang di sebagian waktu. Badai itu kemudian merombak sunyi di hutan lain, membuat keributan lain lalu meninggalkan mereka tanpa rasa menyesal dan bersalah. Pohon yang kuat telah tumbang tak berdaya. Kini, pohon tersebut telah mati. Namun, tak lama kemudian munculah lumut dan jamur serta ditemani rayap yang membawa sekawanannya, mencari penghidupan dalam kematian sang pohon.

Langit tiba-tiba menyala. Cahayanya menyorot menampaki awan hitam yang mengukir langit layaknya abstrak yang bergantung diantara langit kala itu. Kemudian, keadaan kembali gelap dan menghitam lagi. Detik berikutnya terdengar guntur yang memecah keheningan hutan. Serpihan permata terus turun membasahi bumi, merembes tanah memaksa tunas,perdu dan rerumputan lahir dan tumbuh tanpa suatu alasan yang jelas. Mereka tak tahu tujuan mereka hidup. Tak seperti manusia yang lehir dalam keadaan penuh beban hidup. Penuh tanggung jawab yang dipikul. Penuh pertanyaan yang harus terjawab. Wajah muramnya menandakan ada dan tiadanya ia sebenarnya.

Jendela-jendela berembun, air terus menetes membasuh muka bumi yang kian lama kian tua. Angin membawa hawa dingin menusuk tulang bagi mereka yang tak sengaja merasakannya atau sebagian mereka yang sengaja mencarinya hanya untuk menumbuhkan kenangan masa kelabu. Hawa dingin berhembus menempus kulit melalui pori-pori,mengakukan sendi, menegangkan otot dan membuat darah malas mengalir. Dalam ruang sendiri sisi hati bertanya kapan hujan berhenti, dan sebagian ada yang ingin hujan terus turun. Kenyataanya, langit seakan-akan mengguyur bumi tanpa henti. Menghidupkan kenangan bagi mereka yang memiliki kenangan, dan menumbuhkan inspirasi bagi mereka yang memiliki inspirasi. Air itu menghidupi mereka yang ingin hidup, dan menyejukan rasa bagi mereka yang memiliki rasa. Dunia dalam hari-hari mereka yang kelam yang disibukan rutinitas. Dan mati dalam rutinitas mereka, menjadi cerita bagi mereka yang masih hidup. Dan mereka yang mati menjadi alasan mengapa yang hidup harus berusaha lebih keras. Tidakkah mereka mendengar suara mereka dari kubur yang senantiasa mengeram dalam penyesalan. Karena, mereka hidup seperti rumput. Tidak mengerti alasan mereka dilahirkan. Kehilangan arah saat meniti tujuan hidup.

Hujan merupakan suatu berkah sekaligus ujian bagi mereka yang menyadari keberadaanya. Tak sedikit orang yang mencaci hujan. Tapi, tak sedikit yang riang gembira ketika hujan turun. Semua di dunia adalah sesuatu yang diharapkan sekaligus bencana bagi mereka yang menyadari. Dan manusia, tidak akan puas atas pemberian penciptanya. Mengapa tuhan menciptakan manusia? Padahal ada tiadanya mereka bumi tetap berputar seperti biasa. Pohon akan tetap tumbuh seperti adanya. Dan hujan akan terus membasahi bumi hingga terang tiba. Dunia akan damai tanpa adanya mereka yang bengis menebas leher sesamanya.

Kadang manusia perlu untuk berjalan diantara kristal-kristal hujan yang jatuh. Agar mereka mengenal dinginnya hujan, dan kerasnya mereka.Meskipun mereka jatuh berkali-kali, mereka selalu ada alasan untuk bangkit. Dan penantian mereka selama kemarau selalu terbayar ketika musim mereka datang. Bukankah Manusia perlu belajar kesabaran dari hujan?. Namun, memang hujan turun tak kenal waktu. Dan pada butir-butir hujan itu, ada cerminan diri manusia. Dan perjalanan diantara rintik hujan merupakan jalan yang diambil beberapa orang. Saat mereka penat dengan hidup. Saat keputus-asaan mulai tumbuh dalam usaha tertentu. Mereka yang kecewa akan keyakinan dan usaha yang mereka lakukan di sebagian waktu. Dan hujan mengguyur mereka dengan dinginnya. Membasahi sekujur tubuh dan mulai tersadar akan nasib baik yang mereka terima. Hujan merupakan kesadaran bagi mereka yang lupa bersyukur.

Melihat daun-daun basah. Basah tergoyang dalam sepi,tertiup angin lirih. Menjatuhkan sisa air yang tersisa dalam serpihan daun. Kadang daun yang jatuh menjadi lebih puitis dari pada seorang yang melankolis. Jatuh ketanah tertiup angin yang kemudian membawanya terbang melayang. Dan hilang. Manusia seharusnya belajar berbicara dengan pohon-pohon di hutan. Atau, berbicara pada daun-daun yang jatuh lalu tertiup angin. Atau, berbicara pada kayu yang telah lapuk termakan waktu.

Mungkin manusia hidup untuk mencari kebahagiaan. Namun, mereka tak mengenal kebahagiaan itu sendiri. Banyak manusia yang bertanya apa sebenarnya ada kebahagiaan di dunia sekarang. Sering kali seorang individu memiliki harta melimpah, ia dapat memiliki semua hal yang kelihatanya diinginkannya. Namun, kenyataannya kebahagiaan tak kunjung ia dapat. Mungkin dunia sekarang tidak untuk kebahagiaan manusia, mungkin juga sebaliknya. Tak sedikit dari mereka yang mencari kebebasan. Mungkin di kebebasan itu mereka menemukan kebahagiaan. Namun, benarkah ada kebebasan itu sendiri?. Apakah manusia terlahir untuk bebas? Nyatanya hidup tidak mengenal kebebasan. Manusia hidup untuk makan dan minum. Karena dengan itu mereka dapat hidup. Hal tersebut merupakan ketidakbebasan dalam kehidupan manusia. Mungkin kebebasan mengenal batas? Atau, mereka hanya sekejap melupakan aturan untuk sejenak merasakan kebebasan. Kebebasan merupakan ruang sendiri dalam pikiran. Tentu saja untuk mereka yang mampu berpikir bebas. Karena, di dunia saat ini hanya sedikit orang yang mampu berpikir di tengah kondisi pendidikan yang memprihatinkan.

Kebanyakan manusia berjalan seakan-akan dengan tujuan dan namun jika mencermati lebih dasar, kebanyakan dari mereka itu terkesan mengapung. Bagaikan sebuah kapal tanpa awak yang terombang-ambing ditengah laut. Atau, layaknya butir air di daun talas. Bukankah manusia hidup dalam pertanyaan-pertanyaan mendasar? Atau kenyataannya mereka pasrah akan jalannya hidup. Individu berjalan dalam ruang sendiri dengan tuntutan yang dibuat-buatnya sendiri. Konsep kemurnian manusia hilang tersapu kepentingan normatif manusia. Namun, ada sebagian dari mereka yang mencari kemurnian manusia. Kadang, memang kepalsuan menjadi penyakit sekaligus kebanggaan mereka yang hidup dalam kebingungan dan kehampaan. Kepribadian bukanlah keaslian. Pergaulan antarmanusia sudah begitu kompleks, dan dinamikanya justru ada juka terjadi pertukaran nilai-nilai antar pihak. Perlu adanya penyadaran atas mencari kemurnian itu sendiri. Walau di sebagian waktu, jatuhnya bulir air dari langit itu tiada yang murni lagi. Tercemar.

Hujan kini menghilang bersama awan hitam yang hilang. Bumi menjadi terang kembali ditemani senja yang kian lama tenggelam dalam malam yang gelap. Begitupun kesadaran manusia yang kian lama kehilangan arah. Karena tuntutan eksistensi dan keadaan pikiran manusia yang terkekang oleh sistem yang mereka bangun sendiri.

Suatu saat ada kalanya hujan akan datang membawa biji-biji kerusakan dari neraka. Memporak-porandakan mereka yang hidup. Menjadi pengingat akan keberadaan otak yang telah mati. Menjadi pembunuh raga yang berjalan tanpa nyawa. Dan jiwa yang melayang akan melihat kerusakan sembari menikmati langit gelap dan halilintar. Tiada yang hidup mulia atau mati syahid. Mereka teracuni kebanggaan dunia yang fana. Kehidupan fana. Dan manusia berjalan pincang di tengah badai mencekam.

Tuhan, aku ingin menjadi detik. Melewati hari-hari dengan langkah sederhana. Tanpa pernah bermimpi membuat sebuah langkah yang mampu melewati gunung. Tanpa pernah bermimpi membuat surga dari beton-beton dan menantang langit. Cukuplah sebuah danau jika aku haus. Sebatang pohon rindang bila aku kepanasan. Dan sesungging senyum gadis desa bila aku kasmaran. Cukuplah itu semua. Jikapun itu dianggap terlalu berlebihan, biarlah nafas menghirup udara pagi di padang rumput yang hijau sehabis hujan.Ada sesuatu yang terasa hampa,saat langit langit semakin menua.Ada sesuatu yang terasa berbeda,saat hujan hujan tertahan diantara mega.

Mencatat KejadianWhere stories live. Discover now