Prolog

43 9 5
                                    

"Kamu tahu, seandainya aku mampu berucap, aku sangat bahagia membaca kata ‘sayang’ tertulis dalam dialog percakapan kita. Tak terperi rasanya kebahagiaan ini. Jika ada orang yang bodoh karena cinta, mungkin aku salah satunya."

*****

Pertanyaan sederhana yang membuatku menjadi perempuan yang paling bahagia di dunia ini karena aku memilikimu. Sampai suatu hari, demi keinginan kamu aku harus meninggalkan kamu.

Tapi katamu "Aku sayang kamu aku tetap sama kamu dalam keadaan gimanapun."

Dengan alasan ini  kamu membujukku untuk tetap tinggal. Awalnya semua biasa saja, ucapan selamat pagi, percakapan random hingga tengah malam masih tetap kita lakukan. Sampai suatu hari aku merasa asing. Kamu berubah, kamu menghilang, Aku tak kuasa sehari tanpa kamu. Sampai pada satu titik, aku mulai menyerah.

Apakah aku terlalu berlebihan mencintaimu? Atau aku yang salah mengekspresikan perasaanku padamu? Apa kamu bosan?
Dengan ribuan pertanyaan yang singgah di kepalaku, aku memberanikan diri untuk bertanya padamu.

"Apakah ada yang salah denganku?" Kamu menjawab "tidak".

Aku diam saja. Mungkin memang caraku mencintaimu salah sehingga kamu lebih memilih menghilang tanpa kabar. Atau, sekarang aku bukan prioritas. Kamu sibuk. Pikiranku selalu meyakinkan demikian. Lama-lama, aku mulai terbiasa oleh keacuhanmu. Aku hanya sedia saat kamu siap menghampiriku. Aku selalu ada saat kamu membutuhkanku. Aku tak berani mengganggumu dengan chat manja yang biasanya. Aku bahkan terlalu takut.
Ah..tunggulah, mungkin jarak memang mengajarkan aku untuk dewasa.

Di suatu kesempatan, kamu benar-benar acuh. Bahkan saat aku ingin datang ke rumahmu, kamu sama sekali tidak ingin menemui.
Kamu tahu? Rasanya sakit. Aku selalu menunggu kehadiran kamu. Padahal sehari sebelumnya, kamu berkata, "Aku akan menjemputmu untuk makan siang". Sampai malam, aku dirundung resah berkepanjangan. Benarkah tidak ada pertemuan lagi? Aku beranikan lagi mengetik sebuah pesan. "Tidak jadi ketemu?" Sedang kamu hanya menjawab, "Maaf, aku nggak bisa."
Singkat, padat, jelas.

Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi melakukan hal yang sama, memintamu menemuiku meski sebentar. Aku tidak siap dengan penolakan, terlalu sakit.

Namun, kamu mulai mendekat saat aku berusaha menjauh. Memberiku perhatian lagi, menanyakan hal remeh temeh lagi, mengucapkan selamat pagi lagi, dan memanggil kata sayang lagi.

Aku seperti berada di sebuah hubungan yang tak terdefinisikan saat itu. Seketika juga, aku luluh oleh perhatianmu. Kamu tahukan, tak banyak orang yang dengan sukarela mendengarkan isi kepalaku yang terlampau banyak ini, sedangkan kamu salah satunya. Mungkin itu yang selalu membuatku takut kehilangan kamu.

Aku mendekat lagi padamu meski sahabatku berkata, "Kamu gila ya? Kamu mau sakit hati lagi?" Aku acuhkan mereka. Aku tahu, kamu masih menyayangi seperti sebelumnya. Perasaan ini masih sama.
Nyatanya, kali ini bukan keacuhanmu yang membuatku sakit. Kamu mulai membandingkan aku dengan dia, seseorang yang aku bahkan tak ingin menulisnya. Seseorang yang pernah kamu kagumi sepenuh hati sebelum mengenalku. Seseorang yang bahkan aku tidak ingin mendengarnya.

Aku menyimpannya dalam-dalam. Tak mampu aku ceritakan pada siapapun, karena aku telah mengabaikan perkataan sahabat-sahabatku.
Ya sudah. Mungkin aku harus benar-benar pergi.

Aku mencoba lagi menjauh darimu. Melupakan semua kenangan tentang kita berdua. Semua telah kembali pada posisinya. Aku kembali diam, membawa kepingan hatiku. Semua seperti kembali sedia kala. Persamaan nya hanya kita sama-sama berpijak di atas planet yang sama, di bawah langit yang sama. Tak ada percakapan lagi, tak ada kabar.

Alisha Khaira Wilda.


"Maaf sayang aku harus melepaskanmu."

EventuallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang