Ini Akhirnya

12 1 1
                                    

Sudah tiga orang yang masuk ke dalam pintu cafe dan membuat lonceng pintu berbunyi. Tapi tak bisa sedikitpun untuk Rani menolehkan kepalanya sekedar mengintip siapa yang masuk, walaupun dalam hatinya dia ingin sekali. Ia ingin untuk memalingkan wajahnya dari lelaki yang ada di depannya. Lelaki yang mewarnai harinya selama lebih dari 3 tahun. Ia terlalu takut untuk menatapnya, ia tak ingin melihatnya walaupun di satu sisi ia juga merindunya.

"inget nggak ... " Rani mencoba membuka mulutnya "kita pertama kali 'nge – date' di cafe ini" lanjutnya.

Raka, lelaki yang duduk di depannya menoleh ke arah kanan dan kiri guna memastikan dan memanggil ingatan di masa lalunya. Menembus lorong waktu dan berjalan tepat 4 tahun lalu saat pertama kali bertemu Rani. Tak ada yang special, hanya pesanan mereka yang tertukar dan berlanjut menjadi obrolan hangat.

"hmm ... sepertinya iya" gumamnya sambil tersenyum kecil. Rani ikut menarik bibirnya dan tersenyum kecil. Tak pernah dalam hidupnya tersenyum sesulit ini.

Rani memegang ujung mugnya, lalu memutar mutarkan jarinya di atas gelas. Matanya tertuju kepada mocchacino yang sudah berada satu jam lebih di atas mejanya, tanpa sedikitpun ia sentuh. Mocchanico yang sebelumnya hangat kini sudah menjadi dingin, entahlah setelah ini dia akan meminumnya atau tidak. Raka pun begitu, tak disentuh sedikitpun minumannya.

"Everytime you hurt me the less i cry

Everytime you leave me the quick of these dry

Everytime you walkout the less i love you

Baby we don't stand the chance it's sad but it's true

Are we too good at goodbyes? Are we too good at goodbye?

Now way you see me cry

Are we too good at goodbyes"

Lagu Sam Smith tertangkap oleh telinga Rani dan membuatnya tersenyum miris, semesta memang tak perpihak kepadanya.

"Ran" Raka memanggil namanya dan membuat Rani menoleh dan melihat ke mata Raka.

"ah, iya?"

"jangan ngelamun"

"siapa yang ngelamun? Katanya kita mau ke trip ke Jogja? Aku lagi bikin plan tau, supaya kita disana nggak garing. Liat nih, aku udah bikin list tempat mana aja yang mau kita kunjungi" Rani memberikan bukunya. Raka mengambilnya lalu segera menarik kursinya dan duduk di samping Rani. Rani menoleh yang tertawa kecil melihat sikap Raka yang selalu manja dan menempel seperti anak kecil. Raka yang mengerti maksud tawa Rani langsung mencubit pipi Rani, gemas.

"jangan ngelamun" Rani menarik tangannya mengusap tengkuk lehernya, sekilas masa lalu manis mereka membuatnya lupa diri.

"maaf aku lagi kurang fokus" Rani mencoba mencari-cari alasan.

"kamu kenapa Ran? Sakit" dalam hati Rani mengutuk pertanyaan Raka. Nggak usah! Nggak perlu sok perhatian. Rani ingin berteriak, namun hanya senyuman yang bisa dia keluarkan.

"nggak kok, aku nggak apa-apa"

"yakin?"

"iya"

Rani mengeluarkan handphone dari dalam tasnya, berharap ada pesan atau telfon dari siapa saja. Kalau perlu ada telfon dari penipu yang mengatakan dia mendapat hadiah seratus juta dari operator telfonnnya.

"kamu nggak nyaman duduk disini sama aku Ran?" tanya Raka sambil melihat ke arah Rani dan sukses membuat Rani terdiam tak bergeming. Seperti maling yang ketangkap basah saat mencuri, Rani tak bisa mengeluarkan kata-kata untuk membela diri.

"bu – bukan gitu Rak, tapi"

"aku berubah?" Rani terdiam lagi mendengar ucapan Raka, bukan karena salah. Tapi karena memang ini yang ingin dia katakan. Rani menundukan kepalanya, air matanya seakan ingin jatuh, banyangan Raka yang dulu terus – menerus berputar di kepalanya.

"ka, aku kangen kamu." Rani tak bisa lagi menipu dirinya, dia nggak bisa bersikap biasa-biasa aja. Rani nggak biasa-biasa aja, dia sakit.

"ka, aku kangen kita"

"maafin aku ran" seperti tau bahwa jawaban itu yang akan keluar dari mulut Raka, Rani hanya diam tak bergeming. Di biarkannya emosi menguasai dirinya, merelakan air mata jatuh di pipinya. Rani mengangguk paham, memang ini akhirnya.

"kita cukup sampai disini" lanjut Raka. Meninggalkan Rani dengan luka yang baru ia buat.

Our EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang