Hati ini masih menunggu,tak mau beranjak dari harapan yang saling menggebu,tentang kehadiranmu yang semu.
-Paralangit Dirgantara-Siapakah dirimu? yang bersembunyi di balik malam dan buat hatiku tak karuan.
-Lavenda Arquila Prasthala-
🎈
🎈
🎈
"Cantik" ucap anak laki-laki itu sambil menunjukkan senyum manisnya pada Laven kecil. Anak laki-laki itu memberikan flower crown pink nya pada Laven. "Makasih" balas Laven malu-malu. Mereka terlihat akrab padahal baru saja berkenalan. "Mau jadi sahabat aku?" tanya anak itu dengan mata berbinar-binar. Laven mengangguk setuju lalu tersenyum tulus.
Mereka bergandengan tangan menuju abang-abang penjual es krim di sudut taman kecil itu. "Bang,beli 2 es klim dong" ucap anak laki-laki itu cadel. Abang es krim itu pun tersenyum simpul seraya bertanya,"Mau rasa apa adik kecil?". "Yang vanilla sama stlobeli bang" jawab Laven cadel. "Oke,ini vanilla dan ini stroberi" kata abang es krim itu sambil menyodorkan es krim vanilla untuk anak laki-laki itu dan stroberi untuk Laven. "Uangnya ada di Mama. Nanti abang ngomong aja sama Mama Laven" ucap Laven lucu sambil menunjuk Mamanya. Abang penjual es krim itupun mengangguk.
Laven menggandeng tangan anak laki-laki itu dan menariknya menuju ke kursi taman dekat lampu taman. Laven berniat jail kepada teman barunya itu. Ia mencolek es krimnya sendiri dan menempelkannya di pipi mulus nan chubby anak laki-laki itu. Anak itu memberenggut lucu seraya berniat membalas colekan Laven. Namun anak itu kalah cepat dengan Laven,Laven berlari kencang memutari taman dengan gelak tawa senang.Anak laki-laki itu mengejar Laven tak kalah cepat. Namun saat Laven berlari menyebrang taman satu ke taman yang lain,suara deruman mobil dan sorot lampu depan mobil itu menyilaukan mata Laven. Lalu sepersekian detik kemudian terdengar suara jeritan. "Laven..awas!" pekik anak laki-laki itu.
Brukk.
Jangan lupa baca,vote,sama comment!. Happy Reading All.
8 Januari 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
FORELSKET
Teen FictionGimana rasanya hancur sehancur-hancurnya? Lalu gimana rasanya kehilangan? Saat semua terasa baik-baik saja, mengapa seolah mengingatkan tentang pahitnya kenyataan? Tentang kenyataan dan merelakan Bisakah semuanya kembali seperti semula?