Acara perpisahan di Madrasah Tsanawiyyah tempat Dilah sekolah berlangsung khidmat. Dilah dan Faqih mewakili teman-teman mengikuti prosesi wisuda. Tamatlah si putih biru dongker menemani Dilah selama dua tahun di sekolah itu.
"Hore!! Aku pemenangnya." bisiknya dalam hati.
Sambil menatap Faqih, sahabatnya. Semenjak Dilah masuk ke sekolah Tsanawiyah, posisi Faqih memang bergeser. Gelar juara kelas direbut Dilah, saat pertama Dilah masuk sekolah, di kelas 8. Walaupun demikian mereka tetap bersahabat. Dilah menyebutnya Sahabat, tapi saingan.
"Mah, aku mau lanjut ke pesantren di Tasik." ungkap Dilah.
"Biaya asrama di pesantren itu mahal, Nak." keluh Bu Riri.
Dilah pun kecewa dan masuk kamar.
Dilah paling suka pelajaran-pelajaran agama. Bahasa Arab dia jagonya, bahkan pelajaran kepesantrenan yang masih berhubungan dengan bahasa Arab, seperti Nahwiyyah, Shorof, dan I'rob selalu di atas 90. Sering pula dapat nilai sempurna, 100.
Pun hafalan Alquran dan Hadis, tak pernah dia rasa susah. Selalu terdepan kalau guru menyuruh menalar Alquran atau Hadis. Tak perlu waktu lama untuk menghafal, semua ayat dan matan hadis baik pendek maupun panjang dia lahap.
Maka impian terbesarnya adalah masuk pesantren Ustad Sidik Amin di Benda, Tasikmalaya. Namun, keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan sepertinya akan menjadi benteng yang menghalangi citanya.
Dilah masih tersungkur di kamarnya. Dalam lamunannya masuk pesantren impian. Setidaknya, Dilah ingin masuk Madrasah Aliyah Negeri di Bandung. Dua sekolah itu yang berputar-putar di otaknya.
"Allahu akbar.. Allahu akbar..!!
Suara adzan bersahut-sahutan di langit yang mulai gelap.
"Dil, sudah magrib. Salat dulu, kita makan malam!" ajak Bu Riri.
Tanpa suara, Dilah keluar kamar menuju kamar mandi. Ekspresi wajahnya masih terlihat kecewa. Namun, salat adalah kewajiban. Dia akan tahan makan seharian kalau sedang marah begitu. Namun salat tetap harus. Dosa kalau sampai meninggalkan salat. Bu Riri pun pasti mengomelinya.
Setelah salat Magrib, hatinya mulai cair. Wajahnya pun berubah menjadi sejuk dan lebih tenang.
"Duduk sini! Mamah mau bilang sesuatu." pinta Bu Rini.
Dilah pun duduk di samping ibunya.
"Apa yang hendak mamah sampaikan?" tanya Dilah dalam hati.
***
"Dilah, untuk bisa sekolah di tempat yang kamu impikan perlu biaya yang tidak sedikit." buka Bu Rini memecah hening.
Seperti biasa, Dilah hanya diam seribu bahasa.
"Mamah dan bapak bukan tak sayang padamu, Nak. Namun, kita haris realistis" tambah Bu Rini.
Dilah menunduk tak berdaya. Perlahan air matanya menetes basahi pipi chuby-nya.
Bapak malah menggerakkan mesin jahit. Bukan tak peduli. Namun begitulah karakternya. Talk less, do more. Terkadang hasil peluhnya tak seberapa dibanding kerja kerasnya.
"Kalau lanjut ke Madrasah Aliyah Negeri, bagaimana? tanya Dilah sungkan.
Dilah menyeka air mata di pipinya. Di binar matanya ada secercah cahaya.
"Itu di mana, Pak? tanya Bu Rini ke Bapak.
Kalau masalah jalan-jalan di seantero Bandung memang bapak jagonya. Bisa di sebut bapak itu peta Bandung berjalan. Bagaimana tidak, walaupun lahir di Cilacap, sedari belia Bapak sudah merantau ke Bandung. Berpindah-pindah dari kontrakan ke kontrakan seputar Bandung.
"Itu daerah Cijerah." jelas Bapak singkat.
Bapak meneruskan kembali pekerjaannya. Riuh kembali suara mesin jahit bermerk Butterfly.
"Dilah, kamu dengar kabar temanmu, Ros?" pancing Bu Rini.
"Tidak." sahut Dilah sambil menggeleng.
"Tahun kemarin, Ros ikut tes masuk Madrasah Aliyah Negeri dan lolos. Namun, karena tak mampu membayar biaya masuk. Ros akhirnya masuk Madrasah Aliyah Swasta." jelas Bu Rini panjang lebar.
"Istikhorohlah, Nak! Minta petunjuk-Nya! Sambil kami ikhtiar mencari sekolah terbaik untukmu" imbau Bu Rini mengelus kepala putri sematawayangnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilah
Fiksi RemajaCerita ringan seputar persahabatan dan petualangan seru di putih abu-abu