Part 1

81 0 0
                                    

(Cerita ini merupakan lanjutan, dari cerita berjudul Jaran Goyang)

Sudah seminggu berlalu, sejak 'tragedi' bersama Paijo. Dan tepat sebulan, setelah kuterima SMS dari Wiwin.
Meski menyisakan sedikit trauma, hidupku sekarang sudah kembali normal.

"Normal gundulmu..!" ucap makhluk kecil di pundakku, "sekarang statusmu jomblo, pengangguran dan banyak hutang."

Kuperhatikan makhluk kecil itu dengan teliti dan seksama.
Ukurannya kecil, warna serba hitam, dan membawa tongkat seperti garpu. Dia sekarang sedang berdiri di pundak kiriku.
Sesaat ku amati wajah makhluk itu.

"Udah kecil, hitam, berwajah jelek pula," begitu kesan pertamaku.

Setelah kuperhatikan lagi lebih seksama, sepertinya wajah jeleknya begitu familiar.
"Hmmm... wajahnya mirip dengan wawan. Iya benar! Wajahnya sama denganku, bukan mirip lagi," batinku setelah yakin.

"Aduh, lucunya! Biarpun kecil, tapi imut. Biarpun hitam, tapi terlihat manis. Udah gitu cakep pula," begitu kesan keduaku.
.
"Kamu itu, siapa?" tanyaku heran, "seenaknya saja berdiri di pundak orang. Sudah gitu, meng-copy wajahku pula."
"Aku adalah kamu Wan, aku selalu bersamamu," jawab makhluk itu.
"SKSD....! Kenal aja kagak!" bantahku. 
"Hahaha. Terserah, kau mau percaya apa tidak," jawabnya sambil terkekeh.
Diacungkan tongkatnya yang seperti garpu itu, tepat di depan wajahku.
"Iya, aku percaya," putusku dengan terpaksa.

Makluk itu pun menurunkan tongkatnya.
Sepintas, tongkatnya
mirip aksesoris tokoh devils dalam film barat.

"Namaku, Hitam. Selama ini, aku selalu ada dalam dirimu," ujarnya, "jadi aku juga tahu, gimana sakit hatimu."

"Terus, jika kamu tahu. Aku harus bilang, woww gitu?" ledekku sebal.
"Kamu harus membalas perbuatan Wiwin, jangan cuma diam!" sarannya, sambil kembali mengacungkan tongkatnya.
.
"Vedevah.....! Sok tahu makhluk jadi-jadian ini," batinku.
"Terima saja saran Mbah Jarwo. Kamu harus pakai jurus ke-2, Semar Mesem," saran Si Hitam lagi.
Aku terdiam ragu, antara takut dan membenarkan saran Hitam. 

Di tengah kebimbanganku, tiba-tiba muncul sosok yang lain.
Kali ini dia berwarna serba putih, ukurannya sama dengan Si Hitam. Dia berdiri di pundak kananku dan memiliki sepasang sayap.
Ternyata tidak cuma ukurannya yang sama, wajahnya juga sama dengan Si Hitam.
"Wajahnya sangat tampan," gumamku dalam hati.

"Jangan dengarkan dia, Wan!" ucapnya lantang. "Hitam ada buat menjerumuskanmu."

Kemudian mereka berdua berdebat, saling beradu argumen. Mirip emak-emak saat menawar harga di pasar.
.
.
Aku cuma diam melihat mereka berdua, masih terus berdebat di pundak kanan-kiriku.
Setelah capek berdebat, mereka berdua lalu selonjoran.
Masih di pundakku.
"Vangke... dikira pundakku ini jemuran apa," geramku.

Setelah kufikirkan dengan seksama, argumen dari Si Putih lebih masuk akal.
"Mending kamu cari kerja dulu, Wan. Soal Wiwin, bisa kau fikir belakangan. Selama janur kuning belum melengkung, masih ada peluang untukmu," ucap Si Putih berargumen.
"Benar kata Si Putih, sekarang aku harus cari kerja dulu. Soal Wiwin, bisa belakangan. Kalaupun nanti janur kuning sudah melengkung, masih bisa di setrika atau diserong," putusku pada akhirnya.

Setelah yakin, segera kucari tali
Ku ikat Si Hitam dengan tali itu, lalu kutaruh dia di gantungan pakaian. Akupun keluar dari kamar kost, bersiap mencari pekerjaan. Masih ditemani sama Si Putih, yang berdiri di pundak kananku.

Gara-gara ritual kemarin. Aku nggak masuk kerja hampir sebulan, hal itu membuatku dipecat. Makanya, sekarang aku jadi pengangguran.

Aku berjalan menyusuri kota, berharap ada lowongan pekerjaan yang cocok. Hari sudah mulai sore, tapi aku masih belum menemukan loker yang sesuai.
"Sabar, Wan. Jika belum dapat hari ini, masih ada hari esok", hibur Si Putih padaku.
"Kalau besok nggak dapat juga, masih ada esoknya lagi kan? Begitu saja terus, sampai kiamat!" jawabku jengkel.

Karena hari sudah mau magrib, kuputustan untuk kembali ke kost-an. Saat sudah sampai di depan kost-an, tiba-tiba seorang pemuda menghampiriku.
"Mas Wawan, ya?" tanyanya.
"Iya, benar. Ada perlu apa?" tanyaku balik.
"Ini Mas, cuma mau ngasih undangan," jelas pemuda it, kemudian dia pamit.

Aku tidak membuka undangan itu. Cukup melihat nama di depan amplop, aku sudah tahu apa isinya.
"Dari siapa, Wan?" tanya Si Putih.
Tidak ku jawab.
Aku segera bergegas masuk ke kamar kost. Langsung menuju gantungan pakaian.
Segera kubuka tali ikatan Si Hitam, lalu ganti mengikat Si Putih dengan tali itu.

Malam itu juga, aku menyusun strategi bersama Si Hitam. Tujuannya sudah jelas, mau sabotase acara di undangan tadi.
Undangan resepsi pernikahannya Wiwin.

Bersambung.
(Parodi hitam dan putih, setan dan malaikat)

Ditinggal RabiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang