Idiot

31 3 0
                                    


Abu-abu. Sampai saat ini kehidupanku tak bernah beranjak dari situ. Semuanya kabur, tidak ada yang jelas. Aku sendiri bahkan bingung dengan semua yang kujalani. Aku tak pernah memutuskan, bahkan untuk sesuatu yang kuinginkan.

Aku terlalu lemah.

Semua alur hidupku telah diatur oleh dua manusia yang kusebut orang tua. Tidak terlewatkan satupun, mulai dari makanan yang masuk ke dalam tubuhku, baju yang kukenakan, sekolah tempat aku menuntut ilmu, bahkan pendamping hidup mungkin juga mereka yang menentukan.

Aku hanya bisa pasrah, karena aku tak lebih dari sekedar boneka. Mainan yang bisa bernapas, namun tidak bisa menentukan kehidupannya sendiri.

"Hari ini Supir Baek tidak akan menjemputmu. Sebagai gantinya, kau akan dijemput oleh putra sulung keluarga Park." Ibu berujar pelan selagi kami memakan sarapan.

Kepalaku mengangguk patuh. Percuma jika aku membantah, toh pada akhirnya mereka akan melakukan paksaan.

Wajahku tersembunyi di balik rambut panjangku yang terurai. Siapakah gerangan putra sulung keluarga Park? Mengapa pula dia harus menjemputku?

-oOo-

Kakiku melangkah lunglai menuju gerbang sekolah. Tepat seratus meter dari tempat tujuanku aku berhenti. Dahiku mengernyit, menatap kerumunan siswi yang berbisik-bisik penuh minat. Beberapa dari mereka tersenyum genit di depan cermin saku selagi membenarkan dandanan wajah.

Bibirku mengulas senyuman kecut. Senangnya menjadi mereka. Terkadang aku juga ingin seperti mereka, berdandan cantik, bersikap ceria, lalu menggoda laki-laki populer dan tampan. Sayangnya tidak mungkin. Sejak kecil aku dididik untuk menjadi wanita yang anggun dan tidak pethakilan. Lagipula, aku adalah orang yang pemalu. Bagaimana mungkin aku bisa bersikap genit kepada lawan jenis?

Semenit hanya berdiri mematung, aku kembali berjalan melewati gerombolan siswi di hadapanku. Aku tak ingin membuang waktu karena mungkin saja laki-laki dari keluarga Park sudah menungguku.

Langkahku berhenti ketika suara seorang laki-laki menyerukan nama lengkapku. Bisa kurasakan suasana di tempat itu berubah hening dan aku tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Kepalaku menoleh ke sumber suara, dan menemukan laki-laki berjaket merah sedang menatapku.

Laki-laki itu sangat tampan—aku bahkan tidak yakin apakah tampan bisa menggambarkan betapa indahnya wajah itu—dengan rambut dicat abu-abu. Dia memasang ekspresi datar dengan tangan terlipat di depan dada. Kedua kakinya saling menyilang, sementara punggungnya menyandar kepada mobil sport berwarna biru metalik.

"Aku?" Aku menggumam pada diriku sendiri. Siapa laki-laki ini?

Tak kunjung mendapat respon dariku, laki-laki itu berjalan menuju arahku. Tepat ketika ujung sepatunya menyentuh ujung sepatu milikku, dia mencondongkan badan hingga wajah kami hanya terpaut beberapa senti saja.

"Ayo pulang. Aku sudah menunggumu." Tangannya mencekal pergelangan tanganku, lalu membawaku menuju mobilnya. Ia mendorongku masuk.

Mataku tak lepas dari sosoknya ketika Park—aku yakin dia adalah putra sulung keluarga Park yang dimaksud Ibu—memosisikan diri di balik kemudi. Bagaimana dia tahu bahwa gadis yang akan dia jemput adalah aku?

"Kenapa menatapku terus?" Suaranya ringan mengalun lembut, memenuhi ruang dengarku. Mobil mulai melaju, menembus jalanan padat kota kami.

Aku melengos, lalu mengalihkan perhatian ke luar mobil. Sepanjang jalan kami hanya ditemani keheningan dan kecanggungan. Aku tak cukup mengenalnya untuk menciptakan obrolan, karena pada dasarnya aku adalah tipe gadis pendiam bahkan kepada orang yang dekat denganku.

A Lonely Alone [pjm]Where stories live. Discover now