"Delivery order."
Ninda mengangkat wajahnya dari layar komputernya. Pura-pura kaget akan kehadiran Satrio. Pura-pura, karena sejak tadi Ninda sudah memperhatikan Satrio. Dan ketika Ninda sadar bahwa Satrio akan menuju ke kubikelnya, Ninda pura-pura sibuk dengan komputernya.
"Oh makasih. Pizza ya, Mas?" canda Ninda menanggapi candaan Satrio sebelumnya.
"Tip-nya, Mbak?"
Setengah terkekeh Ninda mencari-cari sesuatu yang bisa membuat Satrio tertawa. Lalu, setelah mendapat potongan kertas kecil di mejanya, Ninda taruh di tangan Satrio yang terjulur di depannya.
"Uanglah, Mbak, masak kertas sih."
Ninda kembali terkekeh menahan gugup yang sedari tadi menderanya.
"Nggak punya uang nih, Mas."
"Oh nggak usah uang nggak apa-apa. Mas Satrio cukup ini aja," ucap Satrio sambil menunjuk pipi kanannya.
Ninda tahu apa yang dimaksud Satrio. Meski itu hanya candaan, tapi hal itu tentu memicu kuat hati Ninda untuk bergetar. "Ih apaan sih, jijay," ucap Ninda menutupi gugupnya. Dia memilih untuk meraih kotak makan yang tadi dibawa Satrio dan menaruhnya di laci meja. Sambil menunduk dia menutupi wajahnya sendiri yang bisa dipastikan sudah bersemu merah sekarang.
Tawa renyah Satrio terdengar dan kian lama kian menjauh. Ninda yakin laki-laki itu pasti sudah kembali ke kubikelnya sendiri yang tepat berada di depan kubikel Ninda.
"Mas Sat, thanks ya."
"Oke sama-sama," jawab Satrio sambil mengacungkan ibu jarinya.
Ninda tidak tahu sedari kapan dirinya mulai bisa berinteraksi secara lebih dengan Satrio. Dia baru sebulan berada di kantor barunya ini. Kantor pertamanya, karena Ninda baru lulus dari kuliah S1-nya di Singapura. Dan kebetulan ditempatkan di divisi yang sama dengan divisi Satrio berada. Marketing.
Ninda juga tidak tahu kapan lebih tepatnya Satrio mulai menarik di matanya. Tubuh tinggi semampai yang pastinya cocok disandingkan dengan Ninda yang memiliki tinggi 165 cm. Badannya kecil, tapi tidak terlalu kurus juga tidak terlalu berotot. Kulit wajahnya putih yang dihiasi beberapa bekas jerawat di bagian rahang yang mulai samar bahkan tidak mengurangi keelokkan paras Satrio.
Sayangnya, ah sudahlah Ninda sedang tidak ingin membahas sesuatu yang membuatnya kehilangan semangat untuk berkarya. Tapi, mau bagaimanapun juga Ninda harus terima kenyataan itu. Apalagi saat Catlin datang menghampiri kubikel Satrio sambil berkata, "Sat, ditungguin Siwi di luar."
"Oke, suruh nunggu bentar ya, Lin."
Dan sebelum Satrio benar-benar menghampiri Siwi yang menunggunya di luar, laki-laki itu masih sempat mengusap kepala Ninda.
"Mau titip sesuatu?"
Ninda menggeleng sambil menunjukkan kotak makan yang diberikan Satrio beberapa waktu lalu. "Kan udah lo bawain ini, Mas."
"Oke, selamat makan ya."
Ninda masih bisa melihat dari pintu ruangan yang terbuka lebar. Di sana ada Btari Siwi Maheswari yang tengah tersenyum ke arah Satrio yang tengah berjalan juga ke arahnya. Satrio merangkul pundak Siwi dan bayangan mereka mulai hilang ditelan jarak. Ninda mengulas senyum miris. Memang apalagi sih yang lebih sakit dari mencintai seseorang yang sudah mempunyai seseorang lain di hatinya. Dan Ninda bodoh karena masih bertahan.
°°°°°
"Gimana enak nggak masakan Ibu gue?" Satrio menghampiri Ninda yang baru saja menaruh kotak makan kosong ke tempat cuci piring di pantry.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kedua [PINDAH TAYANG DI INNOVEL]
General FictionNinda sudah terlalu lelah mengharapkan sosok yang tidak pernah mengharapkannya. Ninda tahu perasaannya tidak berbalas, tapi Ninda enggan untuk berpindah. Berpindah ke tempat yang lebih nyaman. Lalu saat semuanya makin terasa semu bagi Ninda, dia put...