Fakta Tentang Nata

17 3 0
                                    

"Ran?"

Dada Ran bergemuruh dengan hebatnya. "Kak Deva? Ngapain di sini?"

Deva menggelengkan kepalanya pelan. Ia masih menatap Ran dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Jika dilihat, Ran ini sebenarnya mirip dengan adiknya. Ya, adiknya yang sudah lama meninggal dunia.

"Ran, kita perlu bicara"

Yaya mengerti maksud Deva. Ia pamit dan keluar dari ruangan itu. Ran mengangguk mengerti setelah selesai mendengar Deva berbicara. Deva mengambil gitarnya dan mulai memainkannya dengan indah. Meskipun Ran merasa ada yang berbeda dengan apa yang didengarnya tadi, tetapi Ran tetap menikmatinya. Akhirnya Ran dapat menemukan Aldebarannya.

"Kalian ngapain tadi?" Tanya Yaya yang rupanya masih berada di luar ruangan menunggu Ran. Dia tidak mungkn meninggalkan Ran. Apapun bisa terjadi kan?

Ran tersenyum dengan mata yang masih berbinar-binar. "Akhirnya aku ketemu sama Aldebaran, Ya. Ah, seneng banget aku. Dan satu hal lagi" Ran memberikan jeda bicaranya dan mengambil napas. "Aku duet sama dia"

Yaya bersorak ikut senang. "Akhirnya ketemu juga sama Aldebaran yang ternyata Kak Deva. Bener kan aku? Kalo sebenernya Kak Deva itu Aldebaran"

*

"Kamu itu apasih? Baru masuk mau langsung ngajak aku ribut ya?"

Nata menatap sekitarnya karena tak berniat mendengarkan celotehan Ran. Sebenarnya Ran datang pagi-pagi sekali untuk mengerjakan tugas yang belum ia kerjakan di rumah. Tentu saja dengan bantuan Oca yang menjadi imam untuk tugas fisika kali ini. Ran tampak menyalin tulisan di buku Tari yang sebelumnya Tari sudah menyalin buku Gea dengan tergesa. Gea tentu saja sudah menyalin jawabannya dari buku Oca pagi-pagi sekali. Ran buru-buru namun tiba-tiba Nata sengaja menyenggol tangannya berulang kali dan menghasilkan coretan tak beraturan di buku Ran. Siapa orang yang tidak kesal saat sudah tergesa dan diganggu? Jika ia punya waktu mungkin ia akan langsung memukul Nata bertubi-tubi dengan tasnya. Lima menit lagi bel akan berbunyi dan pelajaran dimulai. Tetapi Ran masih menyelesaikan setengahnya. Ia merutuki dirinya yang bangun terlambat pagi ini karena semalam dia menghabiskan serial drama koreanya.

"Mampus dah gua mampus" Tangan Ran masih sibuk menulis, namun mulutnya terus mengucapkan sumpah serapah.

Tari mendekat ke meja Ran hendak mengambil bukunya. "Ran, sorry. Bukunya kuambil ya"

Ran menghela napasnya. Ya, mau bagaimana lagi? Ia tidak boleh egois karena sebenarnya ini adalah kesalahannya.

Bu Astuti memanggil nama teman-temannya satu per satu. Sampai saat ini belum ada yang maju karena tidak mengerjakan tugas fisika itu. Ran berani bertaruh jika mereka semua pasti juga mengerjakan tugas itu di sekolah. Hanya saja memang nasib sial sedang menimpa Ran saat ini karena ia datang paling akhir. Nama Ran kali ini disebut. Ia sudah gemetaran setengah mati, karena ia tahu bagaimana mengerikannya kemarahan ibu guru yang satu ini.

"Mana tugas kamu?" Bu Astuti memandang Ran dengan wajah datarnya yang lebih didominasi oleh air muka marah.

Ran mengangkat kepalanya sebentar kemudian menunduk lagi. "Maaf, Bu. Saya belum selesai"

Tangan Bu Astuti meraih bolpoinnya, kemudian menekan ujungnya. Suara gesekan antara ujung bolpoin berisi tinta dengan kertas bertuliskan nama Faranisa memecah suasana kelas yang hening. Di kertas itu kini terdapat silang bewarna merah yang cukup besar. Semua siswa tak ada yang berani berkutik. "Kamu berdiri di depan menghadap ke teman-temanmu. Kedua tangan diangkat. Kamu sudah memakai deodorant kan?"Nada intimidasi benar-benar terdengar mengerikan. Bahkan orang yang mendengarnya saja bisa mengira bahwa itu adalah suara film thiller.

Rahasia SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang