Dasar Menyebalkan

79 5 0
                                    

"Masih aja suka dengerin Aldebaran nge-gitar. Kamu nggak bosen, Ran?"

Gadis yang dipanggil 'Ran' itu menoleh kemudian menggeleng sambil menampilkan deretan giginya yang rapih.

"Kamu tau nggak, Ran? Tadi aku denger, Nata diskors seminggu. Katanya sih karena berantem sama anak kepsek sampai itu anak patah tangannya"

Ran menutup aplikasi video di ponselnya. Tampaknya topik ini menarik perhatiannya.

"Sebenernya aku sih nggak begitu peduli ya. Tapi aku sih dukung sepenuhnya kalau Haris digebukin sama Nata. Biar dia tau rasa, Ya. Ayahnya cuma kepsek aja sombongnya minta ampun. Gimana kalo jadi anak presiden? Tapi kalo Nata diskors, mungkin hari-hari ku akan lebih damai dan tenang dari biasanya, sih"

Yaya menatap Ran jengah. Ia sudah tahu bahwa sahabatnya dan Nata memang seperti tikus dan kucing. Yang pasti sejak pertemuan mereka yang pertama, tak pernah ada kata akur bagi keduanya.

"Nah ini dia bocah yang baru aja nggebukin anak kepsek. Hebat banget ya dia. Anak kepsek aja dihajar. Uuh jadi takut" suara mengejek itu tiba-tiba memecah keheningan yang tercipta di ruang itu. Dia Sam, salah satu ketua geng yang ada di sekolah. Sam memang membenci Nata. Baginya, Nata hanyalah sampah. Tetapi anehnya, Nata tak pernah sekalipun membalas perbuatan Sam, padahal semua orang yakin bahwa ia bisa.

Nata melenggang dengan santai ke belakang kelas. Ia seperti tak mendengar sedikitpun apa yang dikatakan Sam. Matanya menatap lurus dan tajam. Tatapannya menunjukkan ada begitu banyak rahasia yang tersimpan dan tak ingin diungkapkan. Tangannya meraih tas hitam dengan sedikit warna kuning, kemudian berbalik dan pergi. Hal itu membuat seisi kelas hanya terdiam dan menyisakan aura dingin yang mencekam.

"Duh kok ngeri banget sih auranya si Nata. Beda banget gitu. Mencekam" suara itu kali ini datang dari Yaya. Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil mengusap lengannya. 

Ran menepuk pelan pundak Yaya. Sebenarnya ia juga sedikit takut dengan aura 'tak biasa' dari Nata. Biasanya Nata akan mengganggunya seharian hingga berakhir dengan dihukum bersama. Tapi hari ini, Nata tidak melakukan apapun yang membuat dirinya kesal. Harusnya ia bersyukur, karena hidupnya hari ini akan berlalu dengan tenang.

Bel istirahat pertama baru saja berbunyi. Bu Rasti masih setia duduk di kursi kebesarannya sambil membolak-balikkan lembaran buku. Para siswa mulai berbisik-bisik, mempertanyakan mengapa Bu Rasti tak kunjung keluar dari kelas mereka. Ran mendengus sebal sambil menoleh ke belakang sekali. Biasanya jika ada guru yang terlambat keluar seperti ini, hanya Nata yang berani memberikan kode bahwa jam pelajaran sudah berakhir. Ah, sebenarnya bukan sebuah kode. Lebih tepatnya tindakan langsung, karena dia akan berdiri dan berkata, "Permisi, Bu. Maaf mengganggu. Tetapi saya sudah sangat lapar" Ucapnya dengan lantang.

Terkadang, Nata juga berkata bahwa ia sudah ingin pingsan karena kehabisan cairan, atau ia sudah ingin memakan bekal dua telur mata sapinya yang katanya kembar siam. Padahal selama ini, Nata tidak pernah sekalipun membawa bekal. Hal itu tak jarang mengundang bolpoin berbulu merah muda milik Bu Rasti ke kepalanya.

Namun mulai hari ini sampai seminggu ke depan Nata diskors. Itu artinya Bu Rasti akan terus memperpendek waktu istirahat mereka.

"Biasanya kalo ada Nata kita nggak perlu cari cara ngusir itu guru" celetuk Ardit di belakang Ran.

"Lagian itu guru, kok suka bener ya datang telat. Terus jam istirahat kita yang dipotong. Itu kan nggak adil banget" Sambung Yaya sambil mencoret-coret halaman paling belakang buku tulisnya.

Ran ikut mendengus sebal. Dia memang benci dengan matematika. Rasanya ia benar-benar muak jika ada pelajaran itu. Ditambah lagi mata pelajaran itu diajar oleh Bu Rasti yang dikenal galak.

"Baiklah anak-anak, Ibu rasa cukup untuk hari ini"

*

"Ya, tunggu bentaran. Aku piket dulu. Tinggal buang sampahnya aja kok" Ucap Ran sambil menumpahkan sampah yang ada di sekopnya ke dalam tempat sampah.

"Iya-iya. Lagian tumben banget sih kamu yang buang sampah. Biasanya kamu kalo udah selesai nyapu langsung melipir aja"

Ran mendengus sebal dengan tangannya yang masih sibuk memasukkan sampah lainnya.

"Ini sih harusnya tugasnya si Nata. Cuma kamu kan tau kalo dia lagi diskors. Untung aja cuma seminggu, jadi minggu depan aku nggak perlu buang sampah begini"

Ran sudah selesai dengan masalah membereskan sampah-sampah itu. Sekarang hanya tinggal membuangnya ke tempat sampah utama di belakang gedung.

"Terus kenapa harus kamu yang ngambil alih tugasnya Nata? Kenapa nggak Farel aja?" Tanya Yaya saat mereka sudah berada di dalam angkutan kota.

Ran menoleh ke arah Yaya. "Nah itu dia, Ya. Tadi sih mereka langsung ngasih tugas itu ke aku karena mereka semua harus buru-buru. Aku sih iya-iya aja. Langsung keluar aja gitu dari mulutku"

Yaya mengernyit. "Loh tumben banget kamu mau kalo disuruh buang sampah ke belakang. Dan biasanya kamu itu suka banget nyanggah. Nggak nerima gitu aja. Aneh banget sih"

Gadis itu hanya mengedikkan bahunya. Ia tidak ingin memikirkan hal itu.

Dua sahabat itu sudah berada toko buku langganan mereka. Mencari sesuatu di antara rak-rak buku. Hingga tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar toko.

"Ada apaan sih, Ran?"

Ran menggeleng tidak tahu. Ia menaruh buku yang tadi ia pegang, kemudian melangkah keluar.

Manik matanya membulat sempurna saat seseorang yang ia kenal tersungkur di trotoar jalan. Sudut bibirnya berdarah.

"Ran, itu Nata!"

Tanpa berpikir panjang Ran langsung menuruni tangga di depan toko dan berlari ke arah terjadinya kegaduhan itu.

"Nat, kamu nggak papa?" Ran ikut berjongkok di depan tubuh Nata. Nata menatap Ran sebentar, namun sedetik berikutnya ia menarik Ran ke belakangnya.

"Kamu jauh-jauh dari sini. Sana pergi"

Nata maju kemudian menerjang orang yang tadi memukulnya. Ia melayangkan tinjunya ke arah perut. Hanya dengan satu pukulan, lawannya sudah tersungkur tak berdaya.

Mata laki-laki itu menatap tajam ke arah Nata, kemudian beralih ke belakangnya. Ia berdiri dengan cepat dan berlari menjauhi Nata dan Ran.

Nata meraih jaketnya dan berjalan ke arah Ran. Ia mengangkat jaket itu dan memakainya.

"Jangan gede rasa kamu. Aku nggak mau ngasih kamu jaket"

Ran mendengus sebal kemudian mendorong Nata.

"Aku nggak gede rasa. Kamu itu apa-apaan sih? Apa masih kurang habis nggebukin Haris? Kayaknya hobi kamu berantem ya"

Nata sedikit terperanjat. Namun sedetik kemudian senyum mengejek terukir di bibirnya.

"Kamu takut aku kenapa-napa? Tenang aja. Aku kuat kok"

Ran mencibir, tetap memasang wajah kesalnya demi menyembunyikan rasa malunya. "Apaan sih? Nggak usah gr deh"

"Loh usah dong. Kalo emang bener ya nggak papa" Nata melipat tangannya di dada sambil tersenyum puas. Menjahili Ran adalah kebiasaan yang menjadi kesukaannya kini.

Ran memberengut. "Udah ah"

Baru beberapa langkah Ran menjauhi Nata, ia menoleh menatap Nata tajam.

"Kenapa berhenti? Pengen banget aku kejar ya?"

Ran berbalik dan berjalan cepat kembali ke tempat Nata berdiri. Kaki kanannya mengayun. Iamenendang tulang kering Nata. 

"Aduh. Dasar menyebalkan" Nata memegangi kakinya yang baru saja mendapatkan tendangan dari Ran. Sial.

Orang di sekitarnya menatap Nata aneh sambil sedikit terkekeh. Nata memperbaiki posisinya, menegapkan tubuhnya dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. 

"Duh, sakit banget tuh kecoa terbang kalo nendang"

-

31 Desember 2017

Rahasia SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang