5

941 164 13
                                    

[5]

Event Horizon

Ada terik panas yang mencumbunya kala dia membuka mata. Langit biru membentang, berawan sedikit. Matahari di atas ubun-ubun. Fatamorgana tanah bergelombang yang menjadi bagian dari pemandangan nun jauh di sana mengingatkannya pada nuansa musim panas; meski tak ada dengung serangga hutan. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, lantas menggunakan tangannya untuk melindungi mata yang belum sempurna menangkap cahaya. Semua nampak begitu menyilaukan, meski potret keramaian mulai menggantikan kabur yang dia lihat.

Di hadapannya ada banyak orang berlalu-lalang, kesana-kemari. Wahana-wahana menjulang nampak gagah di separuh langit yang dia pandang. Ada bianglala, roller coaster dan lainnya. Yang tak biasa dari nuansa taman hiburan dan musim panas itu adalah, kesunyian yang begitu nyata. Tak ada sebibirpun yang bergerak mengucap kata; bahkan sekedar menggumam. Semua yang ada di sana bungkam seperti boneka berjalan, seperti robot—ah tidak, bahkan robot pun bisa bicara jika diprogram. Semakin ditelisik, tatapan mereka begitu kosongnya. Tubuhnya bergerak tapi tidak dengan yang lain. Seolah tak berjiwa. Tapi, jika Yoongi telah tiba di garis batas, bukankah itu artinya mereka adalah jiwa-jiwa yang tersesat?

Dia mencoba memerhatikan lebih seksama pada situasi di tempat itu. Termasuk wahana yang ada. Dia berpikir, mungkin ada alasannya kenapa dia sampai di tempat itu. Mengapa garis batas tak seperti yang pernah dia datangi dahulu. Pernah, dia masuk terlalu jauh sampai ke bagian yang begitu gersang; tanah tandus, pohon mati, dan ada bintang-bintang yang seperti menggantung dibawah bulan. Langitnya berwarna ungu seperti nebula. Tempat itu aneh, dan tak banyak orang di sana.

Kali ini, satu bagian lain dari garis batas itu menjadi tempatnya berdiri. Dia melihat ke bawah, pada bayangnya yang hanya nampak sedikit di bawah kaki. Matahari benar-benar berada di tengah-tengah langit. Lalu kembali pada taman hiburan itu, dia sadar kalau ada seseorang yang harus dia temukan segera keberadaannya.

Lantas, menantang terik matahari dia berjalan, bergabung di antara keramaian, masuk ke dalam kerumunan orang yang tak jelas arah langkahnya.

"Jimin..." satu nama itu dia rapal, dengan mata menyapu apa yang bisa dia lihat. Satu tangannya memegangi rosario yang terkalung di lehernya sekilas, lantas dia menggumamkan doa—atau harapan, atau sebagai pegangan dari kebingungan yang mulai meliputi pencarian itu.

Walau tak padat mendesak, terlalu banyak orang untuk dilihat wajahnya satu persatu. Apalagi taman hiburan itu tak nampak sempit, luas sekali. Hanya saja dia tak yakin kalau di ujung sana, yang dekat dengan garis meridian masihlah dapat dia jangkau. Karena terkadang batas itu justru tak jelas sampai mana ketika dia memijakinya.

Yoongi memerhatikan setiap lelaki yang ada di sana. Dia susul langkah gontai mereka, lalu berhenti hanya untuk memastikan itu Jimin atau bukan. Semua keadaannya sama, kosong, berjalan tanpa tujuan.

Ada aturan yang berlaku di garis batas itu. Orang yang tersesat di sana takkan lagi punya ingatan tentang masa hidupnya setelah 24 jam. Mereka akan melupakan identitas dan segala hal yang berhubungan dengan dirinya; sama sekali, tak bersisa. Maka dia mengingat kapan dia bertemu dengan Taehyung, kapan lelaki itu memberitahunya waktu kematian Jimin. Ini belum sampai 24 jam dan dia masih punya waktu. Sebelum semua terlambat, dan dia tak bisa menyelamatkan satu jiwa yang tersesat itu.

Kakinya terus ia langkahkan menyusuri taman hiburan. Lelah dia rasa, terik matahari itu sama sekali tak meringankan. Awan yang tak bergerak itu membuat langit tetap biru, tak ada senja atau apapun. Dia sedikit merasa putus asa ketika dia sudah benar-benar dalam keadaan lelah luar biasa. Tapi taman hiburan itu tak ada habisnya untuk disusuri. Seolah-olah memang dia tetap kembali ke tempat yang sama. Tapi tidak. Tidak begitu. Karena jauh di sana ada sebuah komidi putar yang tak pernah dia lihat sebelumnya.

The Last Train: Horizon [minyoon/minv ff]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang