6

1.6K 205 81
                                    

[6]

Event Horizon

"Jangan, jangan naik komidi putar, sayang. Sudah kita kembali saja."

Dia terlena. Tapi ada larangan yang masih teringat. Dulu dia begitu kukuhnya ingin naik wahana itu. Ketika senyum si penjaga, dan gandengan tangan Jimin yang membawa langkahnya semakin dekat, dia sadar kalau dia tak seharusnya begini.

"Tidak, tunggu." tambah satu tangan yang menahan, Jimin menoleh dan berhenti. Padahal, mereka hanya dua-tiga langkah lagi sampai di tepian komidi putar. "Bukan aku yang ikut denganmu, seharusnya kau yang ikut denganku."

Jimin menatapnya dengan sirat kebingungan yang kentara. Tanpa ambil pusing, Yoongi menarik tangan lelaki itu untuk mengajaknya berlari—meninggalkan wahana.

"Hei!"

Dia bisa dengar, tapi dia tak mau dengar teriakan penjaga itu. Tubuhnya yang kecil dan ringkih menubruk kumpulan orang, masuk ke dalam desak-desak tak sabar. Ribut sekali. Sudah begitu panas terik benar-benar menyengat. Dia terus menunduk mencari celah kaki untuk ambil langkah, sedang tangan Jimin masih dia genggam. Sesekali diliriknya lelaki itu, masih di belakangnya ikut berlari. Lalu pandangnya lurus ke depan, ke kanan ke kiri, mencari jalan keluar atau tempat yang lebih terbuka. Tapi lama-lama wajah-wajah manusia itu terlihat berbeda. Banyak dari mereka yang terlihat seperti binatang. Wajah sapi, wajah babi, wajah monyet. Yoongi menemukan celah lebar untuknya menyelip. Dia akhirnya bisa bernapas lega setelah bebas dari kerumunan. Digenggam erat jemari Jimin untuk meyakinkannya bahwa lelaki itu masih bersamanya. Ya, Jimin masih bersamanya, tapi mata itu tidak terarah padanya. Pada kerumunan. Menatap keanehan yang terjadi. Seperti dirinya tadi, mungkin kepala-kepala binatang itu juga terlihat oleh Jimin.

Manusia setelah mati terkadang menampakkan sifat aslinya semasa dia hidup. Buruk-baik sifat itu menjadi bentuk mereka kini. Sedang Jimin, karena belum terlalu lama berada di garis batas, wujudnya masih sempurna sebagai manusia. Yoongi syukuri itu. Dia memandang punggung Jimin lamat. Kenangan masa lalu membuat hatinya lemah. Sering dia datang ke tempat-tempat yang asing, tapi tak pernah dia merasa begitu mudahnya terbujuk. Mungkin karena yang lain urusan orang lain, dan yang ini seperti dikait-kaitkan dengan dirinya sendiri. Bobrok sudah.

"Jimin. Ayo."

Lelaki berambut abu itu menoleh. "Kemana?"

"Pulang ke tempatmu."

"Di mana?" tapi ada kerut di dahinya.

Yoongi mendengus. "Aku akan cari jalan ke sana."

Sempat dia lepas, tapi tangan itu digenggamnya lagi. Kali ini lebih kuat, supaya Jimin tahu kalau dia sungguh-sungguh. Tapi, menatap jari-jari itu membuat Yoongi gusar.

Keteguhan hati. Dia kehilangan itu. Jiminlah penyebabnya—atau kenangan masa lalunya tentang seseorang yang juga hilang dari kehidupannya—tapi Jimin jugalah yang harus dia bawa pulang ke dunia. Yoongi mengeritkan giginya, kesal pada diri sendiri. Saat matanya menatap Jimin, ada resah yang menular di sana.

"Kenapa?" lirih lelaki itu.

"Setiap melihat wajahmu aku hanya teringat pada seseorang," ucapnya jujur.

"Seseorang yang mirip denganku? Atau aku?"

"Seseorang yang mirip denganmu," Yoongi membeokan pertanyaan Jimin yang pertama. Tanpa mau membuka lebih lebar tentang apapun, dia mengulum senyum tipis yang perih. Bahkan raut bingung itu sama terlihat.

Percakapan mereka diselingi keheningan yang panjang dalam tatapan. Salah satu dari mereka menyelami, mencari tahu, dan mencoba memahami apa yang tak bisa dibaca sama sekali. Satunya hanya bertanya-tanya. Yoongi menatap mata itu dengan kenangan yang berputar-putar sampai membuat perutnya sakit. Sedang Jimin, entah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 10, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Last Train: Horizon [minyoon/minv ff]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang