Mia terbangun di sebuah kursi. Tangan kakinya terikat, tak memungkinkan ia untuk ke mana-mana. Keluh tertahannya terdengar saat merasa punggung yang dipukul terasa ngilu. Kepalanya bergerak menelisir ruangan, mencari biang kejadian, Re Hwa. Namun ruangan yang nampaknya sebuah pondok tak terawat itu lengang, tidak ada siapa pun kecuali dia. Menoleh ke jendela, Mia bisa melihat matahari yang mulai tinggi. Entah berapa lama ia pingsan.
Ada sesak yang terasa saat ia menarik napas dan teringat Jungkook yang tidak diketahui keadaannya. Masih teringat jelas suara tembakan tadi malam. Mia mendongak, mencoba menahan air mata yang hendak menetes. Ini jelas salahnya karena meninggalkan Jungkook. Seharusnya dia tak melakukan itu. Ya, seharusnya.
Kriett ....
Suara engsel berkarat memecah hening. Mia cepat menoleh, dan sebuah senyum dari Re Hwa langsung menyambut. Gadis berambut pirang itu seolah tak bersalah saat melambaikan tangan ke Mia yang emosinya hampir meledak. Andai tangan dan kakinya tak terikat, Re Hwa pasti sudah dihajarnya.
"Hai, Kak. Mau sarapan?" Re Hwa menyodorkan cup mie instans setelah dia menarik kursi dan duduk di depan Mia. "Aku bisa menyuapimu," lanjutnya ramah.
"Apa hatimu sudah mati? Bagaimana mungkin kau bisa menawari makan ke wanita yang suaminya baru kau bunuh!" Mia menumpahkan amarah. Dia terlalu benci dengan basa-basi memuakkan yang Re Hwa lakukan.
Gadis di depan Mia itu mengangguk-angguk, santai menyuap mie ke mulut. Tampaknya dia benar-benar tak merasa bersalah. Hingga mie itu habis dan Re Hwa menaruh cup-nya sembarangan di lantai yang kotor, baru pembicaraan dilanjutkan. Kali ini lebih serius dan langsung ke inti permasalahan.
"Jadi, kau mau memberi tahu kenapa melakukan semua ini?" Mia menatap benci saat memulai percakapan.
Re Hwa menjilat bibir. "Karena aku tidak suka kau bersama Jungkook, Kak. Aku benci melihatmu bahagia dengannya, sedangkan aku merana karenamu."
"Hah?"
Perlu jeda beberapa lama bagi Mia untuk mencerna apa maksud Re Hwa. Sejenak dia teringat beberapa bulan waktu kebersamaan mereka saat di SMA. Memang sebentar, tapi kenangan langsung memberi gelitik singkat di hati saat mengetahui arah pembicaraan.
"Hwa, jangan bilang kau ...." Mia menggantung kalimatnya. Ada rasa jijik yang perlahan muncul.
Re Hwa menarik napas dalam. "Aku benar-benar menyukaimu, Kak. Bukan hanya sekedar candaan seperti anggapanmu."
Mia kehilangan kata-kata. Anggapannya beberapa detik lalu benar. Ya Tuhan ... bagaimana mungkin?
"Sejak pertama kali melihat Kakak, aku langsung merasa yang tidak biasa. Padahal aku normal! Aku memiliki kekasih! Aku bisa bercumbu dengan mereka! Tapi kenapa Kakak selalu hadir dalam bayanganku? Apalagi saat Kakak tersenyum dan menyemangatiku. Aku seperti jatuh dalam lubang yang salah, tapi aku menikmatinya. Sampai aku tahu Kakak kuliah dan akhirnya menikah dengan pria brengsek itu. Hatiku hancur, Kak!" Re Hwa menyeka sudut matanya yang berair entah sejak kapan. "Sejak itu aku memutuskan pindah ke sini. Tapi siapa sangka, kemarin saat menjemput Bibiku yang datang dari Korea, aku malah melihat kalian yang sangat mesra. Aku benci pemandangan itu. Susah payah aku mengubur sakit hatiku selama bertahun-tahun, berpacaran dengan banyak pria dan berharap bisa melupakan bayanganmu. Tapi semuanya hancur dalam beberapa menit! Aku sungguh benci dengan pria yang beruntung mendapatkanmu! Aku benci dia! Jadi aku membunuhnya!"
Mia bungkam seribu kata. Kenyataan yang terjadi sungguh menohok, membuatnya bingung harus bersikap bagaimana. Selama beberapa bulan di SMA, dia memang cukup dekat dengan Re Hwa. Tapi hanya sebatas senior dan junior, setelahnya mereka saling tak berkirim kabar karena kesibukan ujian akhir bagi kelas tiga. Sungguh, dia tak menyangka bahwa Re Hwa memiliki ketertarikan sendiri padanya dan mengakibatkan ini semua terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
24 HOURS
FanfictionApa jadinya jika bulan madu yang seharusnya diisi dengan hal manis justru terisi dengan kengerian yang mencekam? Berhasilkan Mia dan Jungkook menghadapinya dalam waktu 24 jam?