Ke Tujuh (sandal jepit)

2.7K 364 96
                                    

Suatu malam, tepatnya sabtu, malam minggu.

.
.

"Mau apa kemari?" seru suara dari seorang gadis yang baru saja menapakkan kakinya di teras rumah. Berkacak pinggang dengan hoodie kebesaran dan celana jeans selutut. Menghadap pada pemuda yang baru saja memasuki pekarangan rumahnya.

Aku bisa melihat rengut kesal dari wajah manisnya yang tanpa polesan make up. Keningnya yang terlihat mulus berkerut samar. Duhh, menggemaskan sekali.

"Bukan urusanmu."

Balasan bernada ketus itu terlontar dari bilah bibir lain milik seorang pemuda. Aku telah mengenalnya cukup lama. Laki- laki berparas bak peri yang sayangnya punya mulut judes bukan kepalang itu selalu tidak punya filter di mulutnya kalau berbicara. Tapi jelas dia tetap saingan nomer wahid dari banyak pemuda desa dalam hal menggaet gebetan.

Orang ganteng mah begitu. Seenaknya.

Aku lagi- lagi melirik si gadis yang kini memutar bola mata bosan. Lantas kembali bersuara, "Enak saja. Ini rumahku, kalau kau ada urusan dengan penghuni rumah ini sama saja itu juga urusanku."

Aku mengangguk setuju. Diam- diam sedikit mendelik pada si pemuda yang menjentikkan lidah untuk kemudian mendengus, "Cerewet. Aku mau ketemu Kyuubi. Mana Kyuubi?" tanyanya.

Menjulurkan leher ke kanan dan ke kiri untuk mencari celah melihat ke dalam rumah dari pintu ruang tamu yang terbuka lebar.

Aku mendengus. Kelakuan kepo pemuda itu sungguh membuatku kesal. Berani sekali mengatai gadis- ku cerewet. Enak saja.

"Kutanya dulu ada urusan apa?" si gadis menyentak.

Manik kelam berotasi malas.

"Kau tahu tidak apa itu rahasia? Tidak boleh ada yang tahu selain aku dan Kyuubi. Termasuk dirimu. Jadi jangan ikut campur. Ini urusan pria."

Beh, mulutnya.

"Chk. Dasar pelit."

"Enak saja mengataiku pelit. Kemarin siapa yang minta ditraktir makan- makan? Gajiku ludes cuma untuk menggendutkan perutmu, dasar tembem."

Wah, minta disunat dua kali anu- nya.

Berani sekali mengatai gadis manis- ku gendut. Kerempeng begitu kenapa dibilang gendut?

"Kuso. Kau mengataiku gendut!? Kurang ajar. Apanya yang gendut? Sai bilang bokongku kecil."

APA!?

Golok. Mana golok?

"Apa!? Brengsek! Berani sekali matanya jelalatan. Kenapa mau pantatmu dilihat lihat orang selain aku? Aku saja belum lihat. Niat selingkuh?"

Hei- hei-

"Ei, siapa juga yang mau? Itu salahnya! Salahmu juga yang tempo hari meninggalkanku pulang lebih dulu. Duh, bicaramu," si gadis menepuk dahinya sendiri frustasi. Aku mendengus dalam diam. Dalam keheningan.

"Kenapa jadi salahku? Salahmu yang tidak cepat pulang. Pantatku sudah panas menunggumu pulang di taman selama dua jam!"

"Wah, wah, mulutmu. Bilang sana sama Kakashi sensei yang mengajar kelamaan. Aku masih ada jadwal sampai sore tahu. Dasar Teme. Kenapa jadi marah- marah padaku? Lagi PMS? Dasar pacar tidak pengertian! Coba mengaku salah sekali saja! Bicaramu ketus terus dari tadi. Kau sayang tidak sih padaku!?"

Si pria memijat pangkal hidungnya sejenak.

"Biasa saja bicaranya. Ludahnya menyembur sampai mukaku nih," sahutnya kemudian dengan ekspresi menyebalkan meski dengan suara lebih tenang dan tak lagi menyentak.

"Biar saja. Memang aku peduli."

Si gadis melengos. Terlihat luar biasa kesal.

"Berani ya sekarang?"

"Memangnya dulu tidak?"

"Sayang-"

"Apa sayang- sayang!? Mau minta cium? Cium nih kakiku. Dasar senior semena- mena. Untung cinta."

Astaga-

"Mencintaimu juga, Calon istri masa depanku."

Huekk.

"Cintaku lebih besar, Teme."

"Cintaku seluas samudera, Dobe Sayang. Tentu lebih besar."

Apaan?

"Tidak bisa. Aku seluas angkasa. Jauh lebih banyak dan lebih besar, Teme."

Hei- hei- bukannya tadi bertengkar? Kenapa akhirnya selalu begini?

"Tidak boleh. Cintaku dong yang lebih banyak. Lihat tidak aku lebih tinggi darimu? Ukuran sepatu juga aku lebih besar."

Apa hubungannya?

"Tidak bisa, Teme. Aku-"

"BACOT! Begitu saja terus sampai aku punya sembilan ekor yang tumbuh di pantatku, Dasar bocah- bocah sinting! Minggat sana kalau mau debat!"

Anjay. Itu abang si pirang.

"Kyuubi, mana sandalku!" pekik Sasuke cepat.

"Huh?"

"Huh?"

MEH.

Baru ingat padaku sekarang??

"Sandalmu ada di rak paling atas. Aku lupa mengembalikannya sore kemarin," pemuda yang kutahu bernama Kyuubi menunjukku malas.

"Ambil saja dan letakkan sandalku di tempatnya."

Kakak laki- laki si gadis kembali melenggang masuk. Tanpa berniat menunggu balasan dari Sasuke, pemilikku, yang mengangguk paham.

"Jadi kemari cuma mau tukar sandal, Teme?" suara si gadis kembali terdengar.

"Iya. Memang mau apa? Mengapelimu? Memang kau mau diapeli? Dimintai cium saja susahnya setengah mampus."

"Oi, belum menikah belum boleh cium banyak- banyak. Boros!"

"Apanya? Di mana- mana pacaran juga begitu. Paling tidak aku harus menciummu belasan kali dalam sehari supaya tidak kekurangan vitamin. Memangnya kau mau aku jadi pesakitan gara- gara kurang kasih sayang darimu!?"

"Mulutmu, Teme. Mulutmu!!"

"Apa?"

Gontok- gontokan saja terus.

Lalu aku di lupakan. Lagi.

Nasib.

Aku cuma sandal yang tertukar.

"Bulan depan kulamar. Siap- siap oke?"

"Aku yang beli cincin."

"Tidak. Dimana- mana yang beli cincin itu yang pria, Dobe. Jangan membantah."

"Aku mau pilih sendiri. Jadi aku yang beli."

"Tidak bisa. Pokoknya aku."

"Aku, Teme-"

"CHIKUSO!!" _Kyuubi murka mode on.

Tamat

Di sini hujan.

Selamat malam. 😪

Saturday NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang