Ke Delapan

3.3K 367 142
                                    

Aku mendengarnya.

Derit suara pintu yang dibuka pelan dan suara langkah yang menyusul memasuki ruangan. Aku mendengarnya.

Aku tidak tuli untuk mendengar suara gesekan sepatu yang beradu dengan lantai ruangan. Lantai keramik yang terasa dingin menusuk kulitku.

Menggerakkan jari- jari yang terasa kebas dan ngilu. Aku memaki dalam hati karena tak bisa berbuat banyak untuk meredakan letih dan sakit di sekujur tubuh.

Suara langkah terdengar semakin dekat. Mengirim sentakan kuat pada degupan jantungku yang kini menggila.

Brengsek.

Aku merasa seperti pecundang yang ketakutan di bawah kaki seorang berandal jalanan yang hampir tiap hari beradu gulat tiap kami bertemu meski hanya untuk main- main.

Dan sekarang. Aku bagai tikus got yang siap dimutilasi entah oleh siapa. Aku tak bisa menahan gemetar pada tubuhku. Segala prasangka paling buruk melintas begitu saja dibenakku. Tentang bagaimana diriku beberapa saat lagi dan bisakah aku kembali pulang ke tempat yang kusebut rumah.

Nafasku nyaris tercekat kala aroma kopi dan asap rokok menyerbu indra penciumanku. Terasa begitu pekat hingga aku mengira jarak antara kami hanya beberapa jengkal saja.

Lalu sentuhan samar yang menyeret di sepanjang leher hingga tulang selangkaku membuatku terkesiap pelan.

Jari- jemari kasar dan terasa dingin lantas bermain- main di tengukku. Selama beberapa saat.

"Kau gemetaran," bisikan lirih terdengar.

Aku mengumpat dalam hati. Merasa begitu idiot karena nyaliku menciut hanya karena mendengar gumam lirih suara beratnya yang bahkan tak mampu membangunkan Akamaru ketika tertidur.

Aku ingin pulang. Sumpah.

Keringat dingin semakin membuat basah kedua telapak tanganku yang terkunci di balik punggung.

"Jangan takut, Sayang."

Bisikan kembali terdengar. Aku beringsut mundur meski pada akhirnya tak beranjak sedikitpun karena dinding yang menahan punggungku.

"Kau cantik," lagi. Hanya berupa bisikan lirih yang sialnya tak mampu aku kenali siapa pemilik suara dan nafas berat ini.

"Siapa kau?" desisku memberanikan diri.

Tersentak pelan kala ujung jemari kasar kembali mengusap leherku.

Aku ingin melihatnya. Tapi gelap pekat tak juga beranjak dari pandanganku.

Wangi maskulin merebak samar di sela aroma hujan dan tanah basah yang menusuk penciumanku. Aku nyaris mengenali bau ini kalau saja entah siapa di hadapanku tidak tiba- tiba mengusap pipiku lembut.

"Coba tebak," balasnya dengan nada main- main. Masih dengan bisikan.

"Aku tidak tahu," balasku.

Tolong.

"T- tolong," bisikku lirih. Dengan gemetar di bibir aku kembali melanjutkan. "Tolong buka ikatannya."

Kekehan pelan terdengar.

Dan aku bersumpah bahwa aku juga mendengar suara detak jantungku sendiri. Aku benar- benar takut dan cemas.

"Aku- a, aku ingin pulang," bisikku nyaris seperti bocah yang hendak menangis.

"Tidak boleh. Aku ingin kau di sini saja bersamaku," balasnya cepat.

Meneguk ludah kasar. Aku berpikir sejenak.

Aku ingin dia melakukan sesuatu agar aku merasa sedikit lebih baik. Jika hari ini aku mati, paling tidak aku ingin melihat siapa manusia biadab yang telah menculikku saat ini.

Saturday NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang