invitation

16 1 0
                                    


Ardit tak pernah habis pikir dengan mereka-mereka yang selalu saja memandang Ed dan Ardit adalah dua makhluk aneh.

Aneh? Apanya yang aneh dari mereka berdua. Daun telinga mereka ada dua buah. Sama seperti manusia yang lainnya. Sama seperti binatang-binatang pada umumnya. Kelinci. Kuda, bahkan Anjing. Namun tak sepanjang bentuk telinga para hewan-hewan yang Ed dan Ardit pikirkan baru saja.

Mulut dan mata mereka juga sama. Sama seperti manusia pada semestinya. Mulut mereka sama untuk makan. Bukan untuk mendengar ataupun untuk saluran kencing.

Ardit kembali berfikir. Apakah karena kedekatannya dengan Ed yang membuatnya terlihat aneh?

Pernah suatu kali Ed kesal dibuatnya. Hingga hampir membuat keributan di lapangan tennis gara-gara ia terus saja diolok-olok oleh salah satu senior yang juga kakak kelasnya ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama di Jakarta.

Setia banget sih lo, Ed. Ardit kuliah di Jogja. Lo masih aja ikut kemana dia pergi. Kenapa? Nggak bisa berhenti netek dari Ardit? Atau Ardit yang ketagihan tetek lo karena dia nggak pernah netek dari ibunya?

Pecah sudah emosi Ed kala itu. Ketika masih menjadi mahasiswa tingkat pertama. Beruntung ada Ardit yang tak sengaja lewat dan mendapati keributan yang hampir saja terjadi ketika itu. Ardit manusia yang selalu saja sabar dan juga satu-satunya orang yang mampu meredam emosi Ed. Apapun sebabnya, bagaimanapun persoalannya. Ardit seolah menjadi pawang untuk Ed yang mudah sekali terpancing emosi.

Lo udah gede, Ed. Pinter –pinter  lah ngatur emosi lo. Kalo lo gini terus. Dallas makin gede kepala. Makin jago bikin lo marah dan apa bedanya ketika lo dan dia di SMA. Mau dapet skorsing kaya dulu? Lagipula ini di kota orang. Kita pendatang. Harus jaga sikap dan omongan kita. Kita mahasiswa baru. Ini bukan Jakarta, tempat tinggal kita dulu yang masih bisa seenaknya. Be mature

Saat itu Ed hanya mampu mengangguk saja. Dan memikirkan ucapan Ardit yang selalu saja benar. Meski seumuran, Ardit justru mampu berfikir lebih dewasa daripada Ed yang masih lebih mengedepankan emosi dan juga sikap menggebu-gebunya.

Ardit menatap wajah pria di hadapannya lekat-lekat. Tak pernah ada yang salah dengan hubungan mereka. Selama ini mereka menikmati saja apa yang sering disebut sebagai bromance. Apakah salah, ketika seorang laki-laki dengan seorang laki-laki, kemudian berteman sangat baik karena sudah saling kenal sejak duduk di bangku sekolah dasar sehingga timbul kedekatan yang bahkan orang-orang di sekitar mereka hingga menyalahartikan kedekatan mereka? Apakah juga salah kalau mereka bertetangga sudah lebih dari sepuluh tahun? Salah kalau kemudian mereka dekat karena merasa saling nyaman dan membutuhkan?

Ardit melihat segerombolan cewek-cewek yang sedang duduk di samping meja mereka. Mereka terlihat sangat akrab. Tertawa bersama. Kemana-mana gandengan tangan bersama. Saling bermanja satu sama lain. Bersender di bahu teman sebelahnya. Ke toilet juga bergerombol. Udah kaya mau nganter umroh. Rombongan.

Ardit kembali melempar bola matanya ke arah Ed, pria yang sedang sibuk membaca komik hasil pinjamannya di sebuah rental komik dekat rumah kosnya. Kegiatan yang paling menyenangkan ketika ia bingung menghabiskan waktunya selain berdiam diri di kamar dengan bermain gitar atau sekedar berguling-guling d atas kasur mendengarkan music yang mengalun lirih dari speaker Bluetooth yang telah lama menjadi sahabatnya, dan terlalu lelah melihat tingkah dan atraksi Ed yang selalu saja protes dengan jalan cerita drama korea kesayangannya yang terkadang tak sesuai dengan kemauannya. Imajinasinya.

"Sebutkan apa yang menurut lo bikin orang-orang aneh itu merinding disco lihat lo?" ucap Ed dengan senyum yang mendadak terkembang lebar dari bibir merah Ed. Bukunya ia letakan jauh-juah dari hadapannya sambil tangannya memainkan ujung sedotan.

Boy Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang