3.

140 20 37
                                    

Hujan baru saja reda ketika matahari keluar dari cakrawala. Menguarkan aroma petrikor pada tanah basah. Ditemani arakan awan awan putih yang bergelantungan di angkasa. Angin berhembus lembut mempermainkan kelopak bunga Lily yang masih basah oleh embun sisa dini hari. Tumbuh tegar diantara rerumputan luas. Sedangkan di sebelahnya kumpulan air berkilauan ditimpa cahaya matahari bagaikan gemerlap bintang disiang hari.

Namun, bukan itu yang menjadi objek keindahan sehingga membuat burung burung di dahan pohon bercicit ria. Di danau itu sebuah perahu kecil tampak berlayar tenang, kendati tak ada arus yang seharusnya menjalankannya. Para ikan ikan lah yang menjadi penggerak haluan.

Di atasnya seorang gadis berbaring jenuh, sedang tangannya menyentuh kilauan air. Tampak menikmati sejuk di permukaan danau meski tak ada segores senyumpun menghiasi wajahnya. Setelah cukup lama termenung, ia beranjak dari perahu ketika telah mencapai dermaga. Gadis itu mengangkat kepala yang dihiasi mahkota dari batuan giok. Ia menarik rambut hitam legamnya yang dianyam itu kesamping leher, memanjang melewati pinggang hingga menyentuh mata kaki. Gaun putih gading dengan sulaman benang berwarna keperakan mengembang seiiring langkahnya yang gemulai.

Gadis itu menjentikan jari tengah dan ibu jarinya bersamaan hingga menimbulkan sebuah bunyi. Beberapa bunga Edelweiss terpetik dengan sendirinya dan berterbangan menuju ke arahnya. Menyelip diantara helaian rambutnya yang dianyam. Ikut menjadi hiasan yang menambah pesona sang gadis.
Segera setelahnya segerombolan kupu kupu menyambut kedatangannya di sebuah kastil megah. Sekali lagi, ia memainkan jemarinya. tumbuhan rambat yang ada di kiri kastil memanjang dan melayapi gagang pintu hingga terbuka tanpa intruksi lebih dulu.

Sang gadis masuk dengan khitmad. Gaunnya menyapu lantai dengan marmer putih menuju sebuah singgasana yang dilayapi bunga bunga. Dengan anggun ia mendudukan tubuh disingasana itu dalam kesunyian yang langsung menyapanya.

"Malangnya nasibku. "

Ann menghembuskan nafas berat. Ia jenuh dengan hari hari semu yang ia lewati. Ia ingin kembali ke kehidupannya yang dulu. Dimana gadis itu hidup bahagia ditempat asalnya. Bukan di puncak gunung ini. Meski indah dan diliputi suasana damai. Percayalah, kalau ini tak semenyenangkan yang terlihat. Mungkin, tempat ini adalah penjara termegah yang pernah ada.

Ia mengenakan mahkota dan tinggal di kastil mewah, ayah ibunya bilang ia harus belajar menjadi ratu dengan cara ini. Tapi Ann tau, mereka berbohong. Tak ada calon ratu yang diperlakukan seperti ini. Ia jelas jelas diasingkan oleh orang tuanya sendiri,  diusir secara halus. Pertunangannya dibatalkan dan ia dilarang kembali ke Nayanika,  tempat asalnya.

Ini semua karena kutukan itu. Ann menatap nanar kehampaan kastil di depannya. Sudah bertahun tahun ia menjalani kesendirian ini. Ia benar benar muak, mengenang semua kejadian manis yang ia alami sebelumnya juga membuatnya semakin merasa terabaikan.

Tapi, ia tak pernah lupa. Masih jelas di memorinya, hari dimana itu semua terjadi.

"Ann... "Panggil Ratu Dania sekaligus ibunya Ann. Sang Ratu menyibakkan sendiri tirai kamar putrinya agar cahaya matahari redup dapat masuk melalui kaca jendela itu.
"Annaphalis, bangunlah"

Gadis itu enggan beranjak dan malah semakin menenggelamkan diri dibalik selimut tebalnya.
"Bukankah ini masih pagi, bunda? "

[3] Speculum (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang