15.

49 17 30
                                    

Iring iringan ombak saling berkejaran menciptakan irama alam, harmoni antara ketenangan dan kegelisahan berkelidan menjadi satu. Ann menyelipkan anak rambutnya yang lolos dari anyaman ke belakang telinga, meski telah berulang kali dipermainkan angin laut yang kian menderu dihadapan lautan pasang yang membentang luas.

Disisi lain, Ray tersenyum Kelu. Kejadian malam ini mengingatkannya lagi pada peristiwa hari itu saat ia mencoba menyelami samudera untuk pertama kalinya dan tanpa sengaja menuntunnya menemui seekor naga kecil. Benar kata orang orang, kalau kesempatan tak datang dua kali. Sejarah tidak mungkin berulang. Ia tak akan mendapati Naga kecil yang berterbangan menghampirinya lagi. Ray harusnya tau kalau perjalanan ini akan berbahaya. Ia seharusnya tak mengikutsertakan Aaragog dalam pusaran lubang hitam kematian yang membayanginya.

"Maaf karena menyuruh kalian pergi meski ini telah larut dan laut sedang pasang," kata Jolla masih tak enak hati.
"Tapi, kalian memang harus berangkat sekarang sebelum kehilangan jejak Violin."

"Kau benar, kita harus segera menemukan Violin sebelum gadis itu pergi terlalu jauh."ucap Ray setuju.

Ann berdecak kesal seraya menggerutu.
"Kenapa dia bersikap kekanak-kanakan sekali"

"Jika kau yang dewasa, seharusnya kau bisa menahan diri untuk tidak meladeninya"jawab Ray yang terdengar sarkas di telinga Ann.

"Ann, sampaikan pada Violin aku minta maaf dan katakan aku juga memaafkannya" kata Jolla mencoba menahan kata kata balasan yang akan dikeluarkan Ann pada Ray yang  bisa saja membuat perdebatan mereka kian panjang. Gadis itu terlanjur malas untuk berbicara lagi dan lebih memilih untuk mengangguk saja.

"Aqua Airial" ucap Ray setelah mengeluarkan tongkat sihirnya. Itu mantra pertama yang dapat didengar dengan jelas oleh Ann, sebelumnya ia hanya seperti mendengar Ray yang sedang bergumam ketika mengucapkan mantra.

Suhu tubuhnya berubah seketika saat mereka memasuki kedalaman laut. Meski air itu tak sedingin aslinya karena efek sihir Ray yang membuat sekelilingnya menjadi lebih netral, Ann tetap saja merasa menggigil karena tak lagi terbiasa dengan suhu dingin semenjak ia meninggalkan puncaknya.

"Bernafaslah"kata Ray melihat gadis disebelahnya yang bersusah payah menahan nafas.

Ann mengerutkan kening skeptis mendengar Ray dapat berbicara di dalam air. Sejenak ia melupakan fakta bahwa Ray adalah penyihir. Ia mencoba menarik nafas pelan pelan dan benar saja bahwa tak ada air yang merembes sedikitpun masuk ke hidungnya.

"Kemana kira-kira Violin pergi?"

"Apakah ia akan pulang?"Ann balik bertanya.

"Itu artinya, kita harus menyusulnya ke selatan," Ray melihat sekeliling seakan mencari penunjuk arah.
"dimana Selatan itu?"

Ann tersenyum miring mendengar pertanyaan Ray.
"Ikut aku"katanya seraya mengajak pemuda itu ke permukaan sebelum menyelam semakin jauh.

"Ada apa?"tanya Ray setelah menyembulkan kepalanya di atas air laut yang bergelombang dan mendapati Ann sedang menatap lurus ke langit berbintang yang menghambur seperti taburan gula.
"Indah sekali"

"Itu dia, rasi bintang polaris, selalu menunjuk ke arah utara," Ann mengarahkan telunjuknya ke sebuah gugusan bintang yang membentuk pola.
"jika kita sedang menghadap ke utara, itu artinya selatan ada disana."lanjut Ann seraya berbalik badan.

"Woow, dari mana kau tau?"

"Alam adalah sahabatku, Ray"

"Apa tidak ada bintang selatan?"

"Ada, tapi cahayanya lebih redup," Ann terkekeh sebelum melanjutkan kata katanya.
"seperti Violin."

Ray memutar bola matanya. Kata kata Ann barusan membutnya teringat alasan kenapa gadis itu begitu membanggakan sang bintang Polaris. Karena dia berasal dari Utara.

[3] Speculum (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang