Chapter 2.

28 4 0
                                    

It's A Dream


Ada suara menggema dari sebelah kananku. Atau dari belakang?

Membuka mata kulihat seekor Naga merah besar yang pernah kulihat dalam sebuah film. Tingginya melebihi rumahku.

Naga itu meraung menggeram dan mengibaskan sayapnya dekat denganku. Hembusan angin membuatku sadar aku sedang menapak diatas awan.

Astaga!!

Aku diatas! Di langit! Melayang!!

Aku menatap naga merah di depanku. Argon, muncul dalam benakku.
Aku yakin pernah melihat Argon sebelum ini.

Perlahan aku mendekat dan mengarahkan tanganku. Argon menundukan kepalanya, hembusan angin panas dari hidungnya menyentuh telapak tanganku.

Seketika aku terbangun, ia melihat ke arah pergelangan tanganku. Panas. Gatal. Tak tahan dengan rasa gatal dan panas, aku berdiri menghampiri wastafel. Memutar keran dan membiarkan pergelangan tanganku terkena air.

Sebuah lambang naga merah kecil sebesar kuku jempolku. Aku mendesah, kulitku termasuk kulit sensitif mungkin semalam aku menggaruknya sampai luka seperti ini.

Aku berjalan menuju kulkas dan mengambil yoghurt strowberry. Sambil meminumnya aku mengingat kembali kejadian kemarin. Ada sesuatu, aku yakin dalam gua itu. Jelas suara Sonya bahkan postur tubuhnya juga sama. Aku merinding. Mungkin itu hantu. Lebih baik lupakan saja.

Berjalan menuju sofa, mataku tertuju amplop biru yang kuterima semalam. Semua biaya yang kuperlukan sudah di sediakan jika ini benar. Aku tidak perlu bekerja paruh waktu jika di terima di SMA biasa.

Aku mengambil amplop biru itu hendak membawanya ke kamar, saat seseorang mengetuk pintu.

Knok, knok.

"Tea, sudah bangun belum?" Suara bass laki-laki terdengar. Aku berjalan dan membuka pintu.

"Ari, Jessi kalian sedang apa?" Anak tertua Ayawombe Ari, lebih tua dariku 8 tahun, berdiri menggendong Jessi di pinggulnya. Jessi tampak terlelap digendongan Ari.

Ari adalah anak Ayawombe, wanita yang  mengasuhku dari bayi, kami sudah seperti saudara. Dengan perawakannya yang tinggi banyak orang mengira Ari berusia 30 tahun, apalagi mata coklatnya terlihat selalu serius sejak kematian Aya.

Ari tersenyum iseng melihat penampilanku. Aku tau apa yang dia liat, rambutku selalu naik mengembang seperti rambut singa jika tidak aku kepang.

"Apa?" Tanyaku ketus. Ari memutar bola matanya, kaos merah polosnya terlihat kusut di genggam Jessi.

"Hey, aku hanya mampir sebentar. Harusnya aku tau sang Teana Bad Mood jam segini. Oh, tapi aku nggak peduli" tawa Ari.

Aku mendengus.

"Well.... Aku mampir sebentar karena sepertinya besok sudah mulai sekolah, jadi lebih baik persiapkan saja" kata Ari.

Aku menatapnya terkejut.

"Kau kan sudah tua Ri? Memang kau mau SMA lagi? memang sudah ada kabar? Liat dimana?" Kali ini giliran Ari yang mendengus.

"Bukan aku bodoh, jangan bilang kau juga tidak dapat surat biru itu?" Ari melongok ke dalam rumah melihat setiap sudut.

"Atau tidak ya? Aku tau itu... Hahh... Perempuan bodoh sepertimu mana mungkin di terima" cengir Ari melebar saat melihat pelototan mataku.

Dengan cepat aku menaril amplop dan menamparnya ke muka Ari.

"Ouwch, hey!! Hentikan, Jessi bangun nanti" Ari menepis tanganku. Amplop birunya masih tertempel di wajah Ari dan aku tertawa melihatnya.

"Hehehe.. Aku juga dapat ya! Tapi aku curiga, masa surat itu datang tiba-tiba. Aku ga daftar Ri." Ari mengambil amplop dan melihat logo depan cetakannya. Kemudian dia nyengir lagi.

Anambas AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang