Chapter 1.

21 3 0
                                    

"Miss Harissle, Selamat anda telah diterima di Anambas Academy." Suara seorang wanita yang tidak kukenal terdengar dari pesan suara handphone.

Oke. Terdengar mencurigakan

Aku mengecek pesan suara di handphoneku. Ada 3 pesan masuk dan semuanya berisi pesan yang sama. Satu hal yang pasti.

Ini PENIPUAN.

Karena aku sangat yakin Anambas Academy bukan sekolah yang aku daftar. Terakhir aku mendaftar ke sekolah menengah atas di Bali. Hasilnya sudah pasti belum kuterima karena belum seminggu dari hari aku mendaftar.

Mendesah, aku mengantongi hpku dan mulai berayun di taman. Menunggu memang bukan hal yang paling aku sukai. Aku sudah membayangkan akan mulai sekolah dan bekerja, keluar dari pulau kecilku.

"Teana!" Panggilan seseorang membuatku menoleh. Seorang perempuan sebaya denganku melambaikan tangannya. Rambut pirang, mata biru langit dan rambut bobnya membuat Sonya memiliki pesona yang tak aku miliki.

Aku balik melambaikan tanganku.

"Sonya!" Sonya beralih berlari menjauhi taman.

"Hei!!! Mau kemana?" Teriakku. Kakiku tergerak berlari mengikuti Sonya. Arah yang dituju Sonya jalan yang berbahaya, batu-batu karang kecil di pinggir pantai merupakan perbatasan yang dilarang dilewati oleh penduduk desa kami. Di balik batu karang itu ada sebuah gua yang berbahaya. Kata beberapa orang kampung kami, sudah beberapa orang masuk dan tidak kembali.

Sonya terus berlari, ke arah pantai. Melewati batas batu karang kecil yang mengitari  gua dan masuk. Aku terengah-engah, keringat mulai membasahi bajuku.

"Sonya it's dangerous!!" Teriakku.

Aku mulai panik. Banyak orang yang sudah masuk ke gua itu tidak pernah kembali. Bagaimana aku akan menjelaskan pada paman Charles dan bibi Sophie, jika anak mereka tidak kembali? Bagaimana aku bisa mengahadap Celvin, kakak kembar Sonya?

Tanpa sadar langkahku sudah mencapai mulut gua. Terdengar suara cekikikan yang biasa kudengar dari Sonya. Mungkin dia masuk tidak terlalu dalam.

"Sonya..." Bisikku pelan, mengeluarkan hpku untuk menerangi  jalan masuk ke gua.

"Hey.. come out now.. it's dangerous.." Bisikku sedikit lebih kencang. Suara tetesan air terdengar lebih jelas semakin dalam aku melangkah.

Entah berapa lama aku mencari Sonya sambil memanggil namanya.

Bayangan biru berada di depanku. Aku berjalan cepat, Sonya. Bayangan biru itu bergerak mendekatiku.

Aku berlari, Sonya pasti ketakutan jika berlari juga-

"Akhhh!!!!" Teriakku. Berjongkok, seluruh tubuhku merinding. Sensasi panas, dingin, membuat lututku lemas.

Bukan Sonya tapi kelelawar.
Banyak kelelawar yang terbang keluar ke arah mulut gua.

Dengan teriakan terakhir aku menguatkan kakiku dan berlari secepat mungkin keluar dari gua. Aku terus berlari, keluar dari gua. Melepas sandal jepitku, dengan telanjang kaki aku berlari lagi.

Lebih baik biar orang dewasa saja yang mencari Sonya. Aku tidak bisa masuk ke gua itu lagi. Mataku berair memikirkan Sonya. Kuusap sembari berlari.

Rumah paman Joe ada di ujung rumahku. Mungkin hanya paman Joe yang berani mencari Sonya, aku berbelok memutar arah menuju rumah paman Joe, melewati taman sebagai jalan pintas, sampai kulihat Sonya dan Celvin sedang duduk di Taman di tempat ayunan tadi persis sebelum aku pergi.

What the...

Aku menghentikan lariku, dengan nafas terngah-engah aku menunjuk Sonya.

"You.. S-Sonya!! Hah.. hah.." Tanpa sadar aku berjalan mendekat. Celvin dan Sonya menoleh bersamaan.

Celvin kakak kembar Sonya dengan mata biru dan rambut coklatnya tersenyum. Perbedaan Celvin dan Sonya hanya pada rambut mereka. Sonya selalu mengatakan bahwa Celvin adalah kesayangan kakek mereka Thomas, maka dari itu Celvin mewarisi rambut Thomas.

Celvin berdiri dari ayunan yang dia duduki. Membuatku menyadari tinggi badanku 153cm kalah dengan 168 miliknya. Aku mendongak menatap Celvin, kemudian Sonya.

"Tapi tadi kau kedalam gua, bukan?" Tanyaku masih kehabisan nafas.

"What are you talking about T? You said so yourself it's a dangerous place?" Sonya menjawab.

Kami bertemu 10 tahun yang lalu saat paman Charles dan bibi Shopia berlibur kemari. Sejak saat itu Sonya dan Celvin mahir berbahasa Indonesia. Bukan berarti mereka sering menggunakannya. Karena mereka sering menggunakan bahasa Inggris untuk membuatku kesal. Well, usaha mereka tidak sia-sia, membuatku menjadi mahir dengan bahasa mereka juga.

"Oh hell, tapi aku yakin melihatmu Sonya, kau memanggilku saat aku duduk disini. Kemudian berlari menuju pantai dan masuk ke gua!! Apa kau sudah gila!!!" Ucapanku semakin tinggi.

Celvin menatapku bingung, begitu juga dengan Sonya.

"Tapi kami baru sampai T.. baru 10 menit yang lalu.. kami bertemu Paman Joe tadi, dia yang memberi tahu kami kau ada di taman." Jawab Sonya. Tunggu...

Aku menyadari sesuatu.... Sonya tidak pernah memanggil namaku dengan lengkap. Sonya yang memanggilku tadi, memanggil namaku. Aku mengusap lenganku yang berkeringat, merinding.

Teana Mrya Harrisle.

Sonya selalu mamanggilku T, karena terlalu panjang katanya. Perlahan aku berjalan menuju ayunan di sebelah Sonya.

"Lupakan saja kalau begitu." Ujarku serak. Terlalu banyak teriak dan ketakutan.

Aku mulai mengayunkan ayunan dan mulai mendengarkan Sonya bercerita.
.
.
.
.

Langit sudah gelap saat kami sudah selesai mengobrol. Celvin dan Sonya kembali ke rumah kecil mereka yang sejak dulu dibeli paman Charles.

Akupun juga pulang ke rumah. Sebuah rumah kecil berwarna hijau muda, pintu yang kucat sendiri dengan warna putih, jendela kayu masih terbuka untuk mensirkulasi udara.

Aku membuka pintu rumah saat kakiku menginjak sesuatu. Sebuah amplop biru tua yang terlihat mewah berada di bawah persis di depan pintu rumah. Posisi dimana saat kau membuka pintu pasti akan terinjak.

Aku mengambilnya sembari membuka pintu. Kunyalakan lampu, mengunci pintu kembali dan duduk di sofa.

Tulisan berwarna emas, Anambas Academy, tercetak di bagian depan.

Dengan cepat, aku menyobek satu sisi amplop dan mengeluarkan isinya. Sebuah surat, buku kecil berwarna hitam, dan sebuah kertas panjang- tunggu, bukan kertas panjang tapi tiket pesawat atas namaku. Dan bukan buku nota hitam, tapi buku rek bank dan ada seperti kartu identidas terselip di covernya. Semuanya atas namaku.

Nominal di dalamnya lebih dari cukup untuk membeli 1 pulau kecil. Astaga, pikirku sambil membuka surat.

Dear Miss Harissle,

Dengan bangga kami menerima anda sebagai siswa Anambas Academy, berikut kami sertakan segala akomodasi yang sudah seharusnya menjadi milik anda.

Lokasi sekolah : Pulau Anambas

Segala sesuatu sudah kami persiapkan.
Kami mengharapkan yang terbaik dari anda.

Dearest,

Monica
Headmistress

Aku merosotkan tubuhku pada sofa. Mengambil buku tabungan hitam.

Lemora

Sepertinya itu nama bank ini. Aku memejamkan mataku. Berlari 2 jam penuh membuat tubuhku lelah. Tidak terasa ternyata selama itu aku mencari Sonya.

Perlahan kantuk mengalahkan kesadaranku dan akupun terlelap.
.
.
.
.


A.N : chapter sebelumnya tidak sengaja kehapus dan... Ga ada memory backup. Jadi aku tulis lagi sekalian aku edit..

Saran dan komen akan sangat membantu untuk meningkatkan bahasa. 🙏😁

Selamat membaca

Anambas AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang