Pertemuan Kedua

91 4 0
                                    

Minggu.

Hari istimewa yang kehadirannya selalu Randy diidamkan. Sayangnya, hari seperti itu hanya datang sekali dalam seminggu, sungguh disayangkan. Kalau bisa, Randy ingin menukar semua hari sibuknya dengan hari mager macam ini. Bodo amat, orang dia emang mageran. Kan sudah dibilang, tanpa belajar pun UNnya tidak kurang dari 8.5 rata-rata setiap mapel.

Kurasa otak jeniusmu salah milih tempurung kepala Ran.

Berasa jadi pangeran mahkota seharian, Randy menyamankan posisinya pada tumpukan bantal di kepala ranjang, menaikkan kakinya dengan pose songong dan senyuman culas andalan di depan LCD bergambar Angry Bird Rio. Mirip raja-raja jahat di film kolosal Indosyar.

Bagaimana tidak, seharian tadi dirinya hanya guling-guling tidak jelas di atas king size, baca webtoon, nge-game, baca komik shounen, dengerin musik keras-keras pakai speaker baru (karena speaker kesayangannya almarhum gara-gara Mi-chan ngompol sembarangan).

Dan yang paling penting, bebas dari jeratan tugas dan rantai-rantai PR yang menyiksa lahir batin, ocehan -nina bobo- guru sejarah yang lebih mirip menimang bayi daripada mengajar murid SMA, juga bebas dari tatapan Pak Budi -yang mirip santet kol kol kol dari Russia di anime Hetalia- hanya karena dia terlambat dua setengah menit dari selesai diputarnya lagu Indonesia Raya.

Aah... akhirnya Minggu~
Nikmat mana yang kau dustakan?

Well, bebas tugas sekolah belum tentu bebas dari tugas negara yang wajib dilakukannya. Boleh lah dia jadi pangeran seharian, tapi apa daya jadi pangeran kalau Sang Ratu telah berdaulat. Raja saja kembang kempis hanya karena dihadiahi 'pelototan cantik' istrinya, apalagi Sang Pangeran. Mana mungkin Sang Pangeran berani menolak apalagi membantah. Hmm, dicoret dari kartu keluarga mungkin.

Nasib jadi anak pertama, jadi kakak cowok lagi, kudu kasih contoh yang bener buat adik-adiknya.

Yeah, kegiatan menjengkelkan ditengah-tengah surga dunia yang dirasakannya; menemani ibu belanja di pasar tradisional.

Kayak anak cewek, kan?

Memang. Tapi, siapa peduli?

Tangisan Inez terdengar mirip raungan bayi macan dari lantai bawah. Ia mendesah pasrah. Ibunya pasti kewalahan jika harus menggendong adiknya ke pasar, bawa belanjaan persediaan buat seminggu, belum lagi harus menghadapi kelakuan adiknya yang super manja dan punya hobi nangis jejeritan.

Biasanya sih Randy hanya diajak untuk menemani ibunya berbelanja, lebih tepatnya dijadikan babu angkut untuk membawa barang. Tapi kali ini, Randy lah yang harus belanja.

Dan di sinilah dia, celingukan memegang selembar kertas bertuliskan nama-nama barang yang –Ya Allah banyak banget yang harus dia beli. Nasib bocah nyasar.

Sosis, bakso, dan nugget.

Di manakah dia harus mencari ketiga makanan cepat saji itu. Berjalan asal kesana kemari. Tapi tetap tidak ketemu. Hmm, seingatnya Randy sudah melewati los bawang dan bumbu dapur tiga kali.

Nyasar juga kau, Ran. Gunakan otak jeniusmu, Sayang.

"Le, nggolek opo, tho,  kok mubeng-mubeng wae. Rene, meh njaluk tulung opo?" (Nak, nyari apa? Muter-muter terus. Ke sini, mau minta tolong apa?)

Suara tua nan bergetar mengalun lembut, membuat Randy yang fokus pada kertas di tangan, mengalihkan pandangan ke sumber suara.

Seorang nenek tersenyum kalem menatapnya sendu. Mata tuanya tetap terlihat indah walaupun dihalangi oleh keriput karena usianya. Randy balik tersenyum, mendadak ingat pada eyangnya yang sudah lama ia rindukan.

"Pesenanipun ibu, Mbah. Kula bingung, maklum, mboten apal daerah peken, makane nyasar," jawabnya sembari menyelonjorkan kaki di dekat kios bawang. (pesanannya ibu, Nek. Aku bingung, maklum, nggak hapal bagian pasar, jadinya nyasar)

"Pasar cilik ngene kok nyasar, Le. Meh nggolek opo tho?" Nenek tua itu terkekeh mendengar jawaban kramanya. Awut-awutan.  (Pasar kecil gini kok nyasar, Nak. Mau cari apa, sih?)

Kecil apanya. Untuk ukuran pasar, Pasar Pagi Kaliwungu memang lumayan luas baginya, atau karena Randy yang merasa kurcaci karena buta arah.

"Bakso, sosis, kaliyan iwak, Mbah. Tasih tebih nopo mboten nggih?" (Bakso, sosis, sama ikan, Nek. Masih jauh nggak ya, kira-kira?)

"Adoh, penggokan kui jek mlaku ngiwo, bar kui nengen. Ning kono ono kabeh sing kok golek. Tapi Simbok rak isoh ngeterke, rak ono sing jogo los-an," jelasnya sembari menunjuk celah paling timur dekat penjual sayuran.
(Jauh, belokan itu masih ke kiri, abis itu ke kanan. Disana ada semua yang kamu cari. Tapi Simbok gak bisa nganter, gak ada yang jaga kios ini.)

Randy bangkit, menyalami nenek tersebut sopan, kemudian membenarkan posisi kantong-kantong kresek di tangannya.

"Matur nuwun, Mbah. Monggo." (Terima kasih, Nek. Mari.)

Baru saja Randy ingin melangkah, plastik hitam berisi jeruk mendadak sobek. Isinya jatuh bergelimpangan mirip korban tsunami, menggelundung cantik di tengah jalan sempit. Bahkan ada yang masuk ke kolong kios sampingnya.

"Waduh!"

Randy mendesah pasrah. Meletakkan kembali bawaannya di dekat meja kayu kosong, kemudian memungutinya satu-satu.

Sabar, Ran, Sabar.

"Lan! Mreneyo, kancani sinang kae nggolek belanja– Ya Allah, Le, mbok ati-ati nggowone, ndak kowe diseneni ibumu!" (Lan, sini, temenin anak itu nyari belanja. Ya Allah, Nak, hati-hati bawanya, nanti kamu dimarahin ibumu!)

Pekikan nenek penolong samar-samar didengarnya. Randy masih fokus mencari buah jeruk yang tersebar di berbagai penjuru.

Satu, dua, tiga-

Mampus, ilang satu. Duh, ilang kemana lagi jeruknya. Bisa disidang, nih, kalau nggak lengkap!

"Ini jeruknya, Mas. Tadi jatuh di dekatku, makanya tak ambil."

Randy mengangguk cepat, masih menghitung ulang. Kemudian menerima uluran jeruk di depannya.

Alhamdulillah, pas, komplit, lengkap, genap. Yes, gak jadi disidang!

"Makasih–" Mendadak ucapannya terhenti  saat mengadahkan kepala, menatap lurus manik kecokelatan pemuda di depannya tidak percaya.

Di hadapannya, Arlan berdiri. Senyuman manis yang tadi disunggingkannya memudar, berganti dengan raut muka tak terbaca; terkejut dengan ekspresi yang tak bisa Randy artikan.

Ya, Arlan Ardiansyah.

Sosok yang beberapa hari lalu dipukulinya  saat kesetanan, kemudian ditinggalkan pergi begitu saja dengan kondisi mengenaskan.

Well, pertemuan kedua yang (tidak) diharapkan.

.
.
.

TBC

Nah loh nah loh
Makasih yang udah baca😘


Kendal, 15 Maret 2018

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TAMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang