Namaku Iris Thafana. Aku gadis paling populer di sekolah, cantik pula. Tidak hanya cantik, aku juga bakat dalam melukis. Lukisanku selalu dipuji oleh banyak orang. Mereka sangat menyukaiku. Aku selalu menjadi gadis yang sempurna dihadapan banyak pemuda, sehingga banyak yang harus aku jauhi untuk memilih satu yang terbaik diantara mereka. Sampai suatu saat semuanya berubah. Aku mengalami kecekalaan yang tragis. Aku kehilangan sosok ayah dan penglihatan. Tidak hanya itu, aku kehilangan popularitas, teman, kecantikan, dan bakatku. Aku kehilangan semuanya.
Tiap ke sekolah aku selalu ditemani dengan kacamata hitam dan tongkat. Berjalan diantara bisikan-bisikan. Merba-raba dengan tongkat. Untung saja masih ada Nanda yang menemaniku. Ia memang teman yang paling setia. Tidak seperti Abigail yang berteman hanya mementingkan kepopularitasanku. Abigail pergi setelah melihatku seperti ini. Kini ia menjadi sosok gadis terpopuler di sekolah. Ia malah merasuki teman-temannya untuk membicarakan dan merundungku.
***
Saat pelajaran olahraga, aku hanya dapat duduk termenung mendengarkan teriakan, decitan sepatu, pantulan bola yang menyentuh tanah, dan bisikan para gadis membicarakan laki-laki idamannya. Tiba-tiba saja aku merasakan dorongan dari belakang yang membuatku terjatuh ke tanah. Aku hampir menangis saat itu, ini sudah terjadi begitu sering.
"Neng! Bangun, neng!" teriak seseorang yang sangat kuyakini itu merupakan suara Abigail, "jadi begini gadis yang dulu populer, dikenal satu sekolah, disayang guru, senior, junior. Sekarang buta!" lalu mereka semua tertawa, benar-benar tertawa dan aku malah meneteskan air mata.
"Cukup! Ga usah ganggu dia!" teriak gadis lainnya, dan suara khasnya meyakinkanku itu adalah Nanda.
"Pahlawan super datang membantu yang lemah!" ejek Abigail.
"PERGI!" kata Nanda. Aku mendengar mereka berbisik-bisik, tetapi lama-lama bisikan itu mulai menghilang. Sepertinya mereka sudah pergi. Para pemuda yang bermain basket juga sudah menyelesaikan permainannya. Setelah itu, tanganku merasakan genggaman dan itu yang membantuku untuk berdiri.
"Terima kasih, Nanda." Kataku.
"Iya, sama-sama," katanya. Lalu aku merasakan sebuah benda yang diberikan oleh Nanda kepadaku. Bentuknya tabung dan panjang. Aku sangat yakin itu pasti tongkat. Nanda memegang kedua lenganku dan membantuku untuk duduk kembali.
"Nan, sepertinya gue udah ga sanggup menghadapi hal ini. Gue capek, Nan. Capek!" dan akupun mulai menangis. Aku dapat merasakan tangan Nanda mengelus punggungku perlahan, "Gue mau berhenti sekolah!"
Tangannya pun menghilang dari punggungku, "Lu gila, Ris? Kita udah mau lulus, dan lo mau lepas sekola begitu aja?"
Aku terdiam sesaat, "iya, Nan. Mulai besok gue ga mau ke sekolah. lo dukung gue kan?"
Tidak ada jawaban, semuanya menjadi hening. Setelah aku menunggu beberapa detik, Nanda pun menjawab, "Oke, Ris. Gue ga bisa memaksa lo, karena itu adalah hak lo untuk memilih. Gue sebagai sahabat hanya dapat mendukung apapun keputusan lo."
Aku menangis mendengarnya dan merasa berterima kasih sudah mendapatkan sahabat sebaik dirinya. Aku merasakan kedua tangannya mengitariku, memelukku erat, "makasih, Nan!"
"Iya. Jaga diri lo di rumah ya?"
***
Tenyata, aku mengambil keputusan yang salah. Bosan sekali, hidup dalam sebuah rutinitas yang terjadwalkan. Pagi bangun, sarapan, ibu pergi kerja, mendengarkan televisi, radio, atau lagu (sambil berbincang dengan perawatku, Sandra), makan siang, duduk di teras rumah mendengar kejadian disekelilingku, berbincang dengan Sandra sambil menunggu ibuku pulang, makan malam bersama, kadang berbincang dengan ibu (sebagian besar ia selalu sibuk dengan gawai dan pekerjaannya), tidur, dan diulang seperti awal lagi untuk hari kedepannya. Suatu saat aku memng benar-benar bosan dan tidak tahu ingin melakukan apa. Aku tidak bisa melukis lagi. Dari dulu, saat aku bosan, pasti aku selalu melukis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Senja
Short Storysebuah cerita tentang seniman muda yang kehilangan penglihatannya