Hujan

51 0 0
                                    

Malam itu hujan deras, petir bergemuruh keras mengguncang alam, kilatan cahayanya menakuti semua ciptaan Tuhan, terkecuali aku yang dengan tegarnya menerobos malam dan hujan. Sebenarnya aku takut dan ketakutan yang paling aku takuti adalah kau. Sejam yang lalu kau bilang sakit tapi kau keras kepala untuk tetap mendaki.
" Ini musim hujan dan kamu sakit. Nanti kalau semakin parah di puncak, bagaimana?", aku dengan egoisnya menahanmu untuk tidak pergi mendaki. "Kasihan teman-temanku, aku sudah merencanakannya sebulan yang lalu dan sekarang harus berangkat", kau selalu begitu, memikirkan teman-temanmu tanpa peduli dirimu sendiri. Kupercepat langkahku melawan deras hujan, payung tak bisa kuandalkan agar bajuku tak basah, toko-toko sudah banyak yang tutup, tujuan satu-satunya adalah indomaret. Obat masuk angin, obat demam, minyak kayu putih, roti dan beberapa snack sudah kulist semua dalam otakku. Hujan mulai terang ketika aku keluar dari indomaret, ada sedikit lega setidaknya kau bisa mengambil barang-barang yang sudah kubeli ini untuk bekal mendaki.
"Mbak..... sebentar", aku menahan mbak-mbak pengurus yang kurang dari sepuluh detik lagi gerbang pondok dipastikan terkunci. Aku bersyukur sangat karena Tuhan selalu melindungiku. Aku tak peduli dengan jilbabku yang nggeliur karena air hujan, aku langsung ambil handphone dan kirim pesan agar kau  mengambil bekal dariku sebelum berangkat mendaki, tapi tak ada balasan. Aku kirim pesan 10 kali dan masih tak ada jawaban. Rasanya tak bisa dideskripsikan, aku khawatir kesehatanmu. "dia marah?, apa aku salah?", semua pertanyaan itu menuduhku. Tiba-tiba notif whatssappku menyala, ada voice note darimu. Kuunduh dan kuklik tombol play. "Jangan nyuruh-nyuruh aku. Aku gak mau disuruh. Siapa kamu?", aku diam dan air mataku keluar tanpa kuminta. Ada sakit di hati. Perih yang tak bisa diungkapkan. "Tega", kata itu keluar lirih. Mungkin kalau kau mengirim pesan via chat bukan voice note, hatiku masih baik-baik saja. Sayangnya, kau mengirim via voice note dan aku bisa melihat dan mendengar bagaimana ekspresimu. Kau marah. Selama ini aku tak pernah mendengar nadamu seperti itu kepadaku. "Hati-hati", tiba-tiba jariku tanpa kuminta menulis kata itu dan mengirimkannya kepadamu.

Mataku berat untuk terbuka, seperti ada yang menghalangi. Dan aku sadar, mataku bengkak akibat menangis tadi malam. Aaah jadi malu kalau ketahuan nangisan. Kubuka handphone berharap ada kabar darinya, entah itu sekedar kata pamit atau huruf "Y", tapi nihil tak ada satu kabarpun darimu. Sialnya pemberitahuan terakhir dilihat dioffkan, aku merutuki mengapa aku kasih tahu bagaimana cara memprivasi last seen dan read notif kepadanya. Aku bermain kira-kira dia pulang dari gunung, sekarang hari sabtu, bisa diperkirakan senin dia pulang dan harus pulang karena harus kuliah.
Malam senin, dan khawatirku mulai datang. "Dia sudah pulang?, dia sudah turun?, dia sakit?", dan belasan pertanyaan lain. Chatku dari sejam yang lalu belum centang dua, bisa diartikan belum ada signal atau baterainya habis. Jadi artinya dia belum pulang. Aku spam pesan sampai 7 kali, belum lagi pesanku via SMS 5 kali, belum juga terkirim.

Jarum jam menunjukkan pukul 10 dan belum ada kabar. Akhirnya pesanku centang dua, tapi tak dibalas. Ada tulisan online di kolom chatmu, tapi tak ada balasan. "Apa kabar?, aku khawatir", aku yang harus mengalah, mengemis kabarmu untuk kesekian kali. "Sudah pulang", hanya dua kata yang kau kirim. Harusnya kau berikan kabarmu tanpa harus aku mengemis dulu bukan? Tak ada yang memberatkan untuk mengetik satu atau dua kata untuk berkabar.

PAMITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang