Alexia Yohanna

8 0 0
                                    

Hanna turun dari mobil. Tak lupa ia mengucapkan terimakasih pada Andre—kakaknya—yang telah bersedia mengantar Hanna selamat sampai di depan SMA Cendekia. Ia buru-buru memasuki gerbang sekolah. Beberapa siswa menyapanya hangat.

"Hai, Hanna!"

"Hai!" balas Hanna dengan langkah dipercepat.

Hanna sadar betul teman-teman sekelasnya pasti sedang gelisah menunggu dirinya, atau lebih tepat menunggu contekan PR. Sudah pukul 06.50. Lima belas menit lagi sebelum guru killer masuk dan menarik paksa pekerjaan teman-temannya. Hanna memutuskan berlari menuju kelas.

"Hanna!" teriak Lia.

Sialan! Sudah tau Hanna sedang buru-buru malah Lia memanggilnya.

"Kenapa?"

"Biasa. Viko nunggu lo di koridor utama. Buruan sikat!"

Viko benar-benar pantang menyerah dan tak tau malu. Padahal semalam Hanna sudah memblokir kontak teleponnya. Tapi ia masih saja berharap jadi pacar Hanna.

Seringai mengerikan tercetak di bibir Hanna. Tanpa babibu Ia menarik Lia menuju koridor utama.

Benar saja, koridor utama sudah menjadi tempat paling ramai sekarang. Setidaknya puluhan siswa itu tidak mau melewatkan tontonan kedelapan dalam seminggu ini. Tunggu saja sampai Hanna beraksi.

Hanna menyisir kerumunan dan kini ia sudah berdiri di hadapan Viko dengan malas.

"Cepet! Mau ngapain lo nyari gue?" ketus Hanna.

Viko bungkam. Ia berlutut dan menjulurkan sebuket bunga mawar di hadapan Hanna. Kerumunan itu menjadi makin riuh dengan siulan dan ejekan sana-sini.

Hanna masih tidak berkutik. Dia melipat tangan di depan dada dengan sinis.

"Han, lo mau jadi pacar gue kan?" ucap Viko dengan mata berbinar.

"Pede bener lo, Vik!" teriak cowok di belakang.

"Yaelah paling berakhir di tempat sampah tuh bunga! Kaya ga tau aja Hanna gimana," ejek yang lain.

"Kalo Hanna nolak si, fix! Dia itu lesbi."

Lia ikut menertawakan tingkah bodoh Viko. Semua orang juga tau Hanna ratunya nolak jadian.

Eits, tapi mereka salah, sepuluh detik kemudian Hanna mengambil bunga itu dengan senyum manis yang dipaksakan. Senyum Rio makin melebar diiringi degup jantung yang makin kencang. Viko makin yakin kalau dirinya akan diterima jadi pacar Hanna. Tapi tunggu dulu, Hanna menerima bunga itu lalu ia mengambil ponsel dari saku rok.

Cekrek! Hanna memotret bunga itu  lantas ia upload ke instagram dengan caption "Yash! bunga kedelapan dalam seminggu. Duh, ribet ya jadi cewek most-wanted. Makasih Viko, tapi sayang, Hanna bukan orang mati."

"Viko yang malang. Maaf ya Hanna kembaliin bunganya. Hanna itu bukan orang mati yang perlu dikasih bunga." Hanna menampilkan wajah iba, "jangan sedih gitu, dong. Ditolak Hanna ga ada remedialnya kok."

Skakmat! Viko mati kutu ditertawakan puluhan orang di koridor itu. Siswa laki-laki tertawa puas melihat Viko dipermalukan. Sedangkan para siswi mengerucutkan bibir melihat tingkah Hanna yang makin hari makin menyebalkan.

Tapi Hanna tidak ambil pusing. Toh, ini hidupnya sendiri. Ia dengan santainya melenggang pergi bersama Lia dan Dira.

Tontonan menarik kedelapan dalam seminggu itu telah usai. Semua tau, lima menit ke depan, foto memalukan Viko akan segera terpampang di timeline media sosial. Menjadi bahan candaan sampai tontonan selanjutnya terjadi.

***

"Yohanna?" panggil Bu Anis dari balik pintu kelas.

"Ada apa bu?" sahut Hanna yang hampir tertidur di kelas usai pelajaran Fisika.

"Ada latihan OSN matematika hari ini. Udah ditunggu Bu Dena di perpustakaan."

"Oh, iya, Bu. Maaf saya lupa."

Dengan langkah setengah diseret Hanna beranjak dari kursinya.

"Mau kemana, Han?" tanya Lia.

"Mau menyelamatkan dunia! Maklum, titisan blender woman. " seru Hanna lantas mengerling.

"Wonder woman kali! Dasar garing!" Lia. mencebikan bibir, ini kesekian kalinya Hanna melucu tanpa berhasil membuatnya tertawa.

"Ya emang gue garing. Pipi lo tuh yang basah! Bekas iler!" Hanna menjulurkan lidah. "Udah, ah, gue mau pergi. Anak pinter mah sibuk."

Lia mendengus kesal. Tak lama kemudian tubuh Hanna sudah menghilang di belokan depan kelas.

Dialah Alexia Yohanna, cewek most-wanted yang terdengar mustahil dimiliki bahkan oleh cowok paling ganteng sekalipun. Tubuh jenjang ideal plus body goals yang diimpi-impikan semua wanita komplit ada pada dirinya. Tak kalah unggul, ia juga pintar dan berprestasi. Tipikal gadis yang paling bangga dengan status jomblonya. Sudah tak terhitung berapa cara dan berapa laki-laki yang berusaha menaklukan hatinya, tapi semua ditolak mentah-mentah dengan cara paling memalukan.

Memangnya masih ada cowok yang ngungkapin cinta dengan tulus?

***

Tok tok tok

Bi Weni muncul membukakan pintu lalu mengambil tas Hanna dan meletakannya di meja belajar.

"Mba Erika keluar kota lagi, Dek."

Bi Weni memang biasa memanggil Hanna dengan sebutan Adek, dan memanggil Erika dengan sebutan Mba.

Hanna menyeringai mendengar celetuk asisten rumahnya tersebut, "Bibi ga usah repot-repot kasih tau Hanna. Tiap hari juga mamah gitu. Keluar kota lah, rapat penting lah, sibuk ini itu. Sampe lupa kalo punya anak dua."

Hanna sudah terbiasa dengan keadaan rumahnya yang dominan sepi tiap hari, hanya ada dia dan Bi Weni. Kedua orang tuanya sibuk berkutat dengan pekerjaan. Sedangkan Andre kuliah di luar kota, sudah otomatis ia pasti jarang berada di rumah.

Hanna melepas ikat rambutnya lantas membuka pintu kamar. Ruangan yang dominan berwarna krem itu menjadi satu-satunya tempat paling nyaman dan saksi bisu keluh kesahnya selama ini.

Ia duduk di ranjang, mengelus puncak kepala patung manekin laki-laki yang ia panggil Davin. Patung itu sudah lama ada di kamar Hanna, hasil meminta dari butik milik keluarganya.
"Gue capek dengan ini semua, Vin." setetes air mata membasahi pipi Hanna.

Gila? Tidak juga. Hanya saja Hanna sudah terbiasa membicarakan semua keluh kesahnya dengan manekin itu. Katanya lebih baik curhat sama patung daripada sama orang lain yang belum tentu akan mengerti dan menyimpan rahasianya.

"Hanna, hentikan," ucap Andre parau dari balik punggungnya. Huh, Hanna mulai lagi berbicara dan menangis seperti itu.

Sedetik kemudian tangis histeris memenuhi ruang kamar. Andre memeluk adiknya sekuat tenaga, mencegah Hanna memberontak dan melakukan yang tidak-tidak. Dia juga lelah memikirkan derita adiknya.

"Ikhlaskan, Hanna!"

-DEADLINE-

DEADLINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang