Rivaldy Ardiantara and The Dare

2 0 0
                                    

Sinar mentari cukup menyengat pagi ini, membuat keringat mengucur begitu derasnya dari pelipis. Jam olahraga telah usai. Rival dan kawan-kawannya berangsur-angsur kembali ke kelasnya yakni X-1.  Sesampainya di ruang kelas, Rival dan beberapa anak lelaki langsung melepas kaos olahraganya tanpa mempedulikan bahwa di kelas itu juga terdapat beberapa siswi perempuan.

Alhasil pekikan histeris terdengar nyaring memenuhi sudut-sudut kelas. Siapa penyebabnya? Tentu saja Rival. Ia sengaja  memamerkan roti sobeknya alias sixpack yang tercetak seksi diperutnya. Beberapa siswi tersenyum malu. Sedangkan Rival dengan santainya duduk di meja bertelanjang dada. acapkali ia mengerlingkan mata, membuat pekikan itu makin menjadi-jadi.

Alan bangun setelah terkapar beberapa menit di lantai kelas karna kelelahan. Ia mendekat dan menepuk bahu Rival. Cowok berbola mata hitam itu menoleh.

"Ke kantin yok! Gue laper, nih!" ajak Alan pada Rival.

"Ganti baju dulu aja biar nanti bisa lama-lama di kantinnya."

"Bener juga. Lagian nanti pelajaran Bu Dira. Gue ga mau disuruh push-up lagi."

Rival, Alan, dan beberapa laki-laki berganti pakaian di dalam kelas setelah memastikan keadaan kelas aman tanpa ada siswi perempuan.

Ketika gairah untuk menyantap opor ayam sudah di ubun-ubun, Rival mempercepat geraknya memakai seragam osis.

Hingga pekikan Ardi tiba-tiba mengalihkan perhatian semuanya.

"Gila Bro!" seru Ardi.

Alan dan Rival langsung menoleh. Sedangkan Ardi tampak heboh memandang layar ponselnya sendiri sambil cekikikan.

"Shit! Gue kira siapa main serobot masuk kelas." keluh Alan.

"Ayo cabut ke kantin Al. Ga usah urusin si Ardi." Rival menarik bahu Alan yang ternyata ikut-ikutan menatap layar ponsel Ardi.

"Wuhu! Mantap itu muka Viko! Gue jamin dia ga berani nongol di kantin seminggu!" Alan tertawa puas melihat video Viko yang dipermalukan di hadapan puluhan orang.

"Yoi bro! Untung dulu muka gue ga separah itu waktu nembak Hanna." balas Ardi tak kalah heboh.

Rival memutar bola matanya melihat dua sahabat karibnya yang asyik menonton video sampai melupakan keberadaan dirinya.

"Yaelah, semua orang juga tau, buat dapetin Hanna itu mustahil. Seleranya mungkin oppa oppa korea yang sering diceritain adek gue tuh." celetuk Alan.

"Ini jadi ke kantin ga si?" Tuntut Rival yang kini perutnya makin keroncongan.

"Bentaran kek! Ini Hanna loh, Val. Bidadari sekolah kita. Masa si lo ga tertarik sama bodinya yang aduhai gini?"

"Tau, tuh. Kepala Rival isinya rumus semua kali!" ejek Ardi.

"Bodoh ah! Gue ke kantin sendirian aja."

Cowok itu memasukan salah satu tangannya pada saku celana. Berjalan meninggalkan kedua sahabatnya yang asyik berceloteh, membahas sesuatu yang menurutnya tidak penting sama sekali.

Tujuannya sekarang adalah opor ayam kantin Bu Runi. Terakhir kali ia menyantap opor ayam adalah minggu lalu. Rival adalah tipikal cowok yang menjaga asupan makanan demi memiliki tubuh yang sehat dan ideal. Baginya, satu porsi opor sama dengan harus berada di atas treadmill tiga puluh menit. Oleh karna itu ia lebih sering makan sayur daripada sesuatu yang berlemak dan berisiko menambah berat badannya.

Kepulan kuah opor menelusup penciumannya. Cowok berkulit putih ini segera menyantapnya perlahan. Ketika opor di mangkuk sudah hampir ludes, Ardi dan Alan muncul dari belakang tubuhnya secara tiba-tiba. Rival hampir tersedak dibuatnya.

"Weh, makan ga ajak-ajak nih." Ardi mengambil duduk di sebelah Rival.

"Ga inget tadi lo asik ngapain sama Alan?"

"Sorry bro. Biasa lah namanya juga cowok."

"Daripada gabut mabar aja yuk!" ajak Alan yang sudah ready dengan Mobile legend-nya.

"Bilang aja lo mau ejek gue yang ga ada hp." Ardi berdecih.

"Oh iya hp lo lagi di bengkel. Ya udah ga usah main ML deh. Enaknya main apa nih?" tawar Rival.

"Gimana kalo main Trut or Dare aja sob? Lumayan daripada bengong." Alan menjentikan jari. Wajahnya tampak bersemangat.

"Boleh juga, tuh." Ardi menyengir.

Rival meletakan sendoknya, bersiap untuk hompimpa.

"Hompimpa alaium gambreng!" ketiganya berhompimpa layaknya anak kecil yang hendak bermain petak umpet.

Rival dan Ardi sama-sama menampakkan punggung tangan, maka otomatis Alan jadi yang pertama ditanyai.

"T or D?"

"Gue milih T aja, deh. Kan masih permulaan." balas Alan.

"Oke, biar gue yang kasih pertanyaan ya?" Ardi meminta persetujuan Rival dan dibalas anggukan kepala.

Ardi berpikir sejenak sampai akhirnya sebuah lampu ide menyala di atas kepalanya.
"Siap ya? Kapan pertama kali lo nonton bokep? Dan sesering apa? Jawab jujur!"

Alan memutar bola matanya, diam sebentar.
"Oke, karna gue laki, gue bakal jawab dengan mantap." ia menepuk dadanya, "pertama kali kelas satu smp. Dan kadang gue nonton dua hari sekali atau seminggu tiga kali."

Rival dan Ardi tertawa renyah mendengar jawaban Alan. Mereka berhompimpa lagi dan kali ini Rival yang kena.

"T or D?" tanya Alan.

Cowok bermata almond itu diam sejenak—berfikir.

"Pilih dare aja, Val. Biar seru." bujuk Ardi seraya menaikkan kedua alisnya.

"Ga mau. Gue penginnya T aja. Buruan kasih pertanyaan. Apa pun itu pasti gue jawab jujur."

"Oke. Biar gue yang kasih pertanyaan—"

"Eh, gue pilih Dare aja, deh. Bener juga kata Ardi. Biar rada seru lah." Rival mengubah pikirannya.

"Nah, gitu dong." Ardi dan Rival melakukan tos ala mereka.

"Yaiyalah, Rival gitu loh. Apa si yang ga bisa gue lakuin." Rival menyombongkan dirinya. Cowok pecinta tantangan itu mantap dengan pilihannya. Lagipula, pikirnya, ini hanyalah permainan kecil.

"Biar gue yang kasih Rival tantangan." ucap Ardi.

"Oke, apa tantangannya?"

"Gue tantang lo supaya bisa jadian sama Hanna!" seru Ardi mantap.

Rival dan Alan tersentak. Mereka membulatkan mata bersamaan. Tak percaya akan apa yang barusan Ardi katakan. Jadian sama Hanna alias jadi pacar Hanna? Bukankah itu terdengar mustahil?
Sungguu baru kali ini Rival mengambil keputusan yang mendatangkan bencana baginya.

"Heh, kasih Dare yang wajar dikit Ar! Jangan ngaco deh." protes Alan.

"Bahkan kalo gue ditantang suruh jogging di ruang guru, itu bakal gue lakuin, daripada jadi pacar Hanna." Rival menatap tajam. Baginya, menjadi pacar cewek paling dipuja di sekolah adalah sesuatu yang membuang-buang waktu.

Sementara Ardi hanya terkekeh.
"Kenapa? Lo takut nembak dia ? Lo takut dipermalukan kaya Viko kemaren? Percuma badan sixpack gini, Val." ia meninju pelan perut Rival.

"Asal lo tau, gue disekolahin supaya pinter. Bukan untuk jadi pacar Hanna." sanggah Rival.

"Santai, Bro. Lagian kenapa si lo benci amat sama Hanna? Dia ga pernah bikin masalah sama lo." lerai Alan.

"Gue tau lo gengsi ngejar-ngejar cewek kan?"

"Tau, ah. Gue balik ke kelas. Pelajaran Bu Dira." Rival mendengus lantas meninggalkan kedua sahabatnya yang terkekeh melihat ekspresi kesalnya.

"Males amat jadi pacar cewek songong bin caper kaya gitu." batinnya.

-DEADLINE-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEADLINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang