#1

1.7K 61 0
                                    

"Haura, kita jalan yuk?" ucap Syammiel di seberang sana. Ia menelponku yang sedang santai di flat.
"Ke mana, Syam?"
"Udah, nanti juga kamu tahu kok. Mau ya? Aku jemput nih, oke?"
"Ih maksa. Belum juga bilang iya."
"Tapi, mau kan? Ya kan?"
"Hmmm... Gimana ya?"
"Ish! Tinggal bilang iya aja kok susah banget sih." Syammiel mulai kesal. Nada bicaranya mulai berubah. Dan, aku malah terdiam seraya membayangkan bagaimana ekspresi wajah Syammiel ketika sebal saat itu.
"Haura Azalea?" Syammiel memanggilku dengan menyebut nama panjangku. Tampaknya, sedari tadi ia tengah menungguku bicara.
Tapi, aku malah terdiam tanpa kata dan terus memikirkan hal lucu tentangnya. Aku menahan tawa seraya melamunkan Syammiel bila sedang kesal. "Eu... Iya, iya. Ayo."
"Chotto matte kudasai ne," ucap Syammiel. Lalu, telpon pun terputus.
Aku pun beringsut untuk mengganti pakaianku dengan long coat berbahan tebal dan menghangatkan. Tak lupa aku pun memakai jilbab, syal, dan sarung tangan. Kutahu, udara di luar sangatlah dingin dan salju masih saja menghujani Jepang. Namun, aku harus tetap beraktivitas seperti biasa walaupun dinginnya udara terkadang membuatku malas untuk beranjak dari atas kasur.
"Oh, iya. Besok kan aku ada workshop di Tokyo bersama penulis-penulis asal Jepang. Hmmm, lebih baik aku naik kereta cepat aja deh," gumamku seraya membuka pintu flat lalu menyusuri koridor.
***
Aku berdiri mematung di tepi jalan depan bangunan flat yang kutempati. Dari sana aku bisa melihat rumah-rumah bergaya tradisional Jepang dan jejalanan yang tertutupi oleh butiran-butiran salju. Aku menatap arloji hitam yang melingkar di pergelangan tanganku lalu berkata, "Baiklah. Aku tunggu dia lima menit lagi."
Selang beberapa detik, tiba-tiba ada seseorang yang menutup mataku dengan kedua tangannya. Ia terkekeh geli.
"Syammiel, jangan becanda deh." Aku mengerucutkan bibirku beberapa senti. Ah! Jail sekali dia ini.
"Taraaa!" pekik Syammiel seraya menunjukkan sebuah boneka teddy bear besar berwarna pink. "Ini buat kamu," lanjutnya. Ia masih menutupi wajahnya dengan boneka itu lalu menggesernya ke kanan. Sehingga, wajah Syammiel jadi terlihat di samping teddy bear.
"Wah! Doumo arigatou, Syammiel-san...," ucapku seraya tersenyum senang. Aku menerima pemberiannya itu dengan suka cita. Mataku pun kini dihiasi binar-binar, setelah semalaman menangis.
"Haura...," panggil Syammiel lembut. Ia menatapku lamat-lamat. Ada keseduan di bola matanya nan teduh.
"Iya...," jawabku seraya tersenyum. Aku menyembunyikan sesuatu di balik senyumanku itu. Ya, kesedihan.
Tapi, Syammiel bisa membaca apa yang kusiratkan lewat sorotan mataku itu. Ya, Syammiel tahu tanpa perlu kujelaskan.
"Matamu sembap. Kamu nangis ya semalem?"
Aku tersenyum lebar. "Hehe. Iya, Syam. Aku capek soalnya...." Aku berjalan dan meninggalkannya di belakangku.
"Kenapa? Kamu lagi ada masalah, ya?" Syammiel mengekor lalu menyeimbangkan langkahnya dengan langkahku.
Aku dan Syammiel menyusuri jalan di sebuah taman. Jejalanan itu kini tertutupi oleh salju yang kian menebal. Salju bagai menjadi lantai nan putih bersih. Salju pun bak hujan yang mengguyur bumi. Butiran halusnya jatuh dengan penuh kelembutan. Dan, bumi dengan ikhlas menerima tancapan dinginnya.
"Eu... Kita bicarainnya jangan di jalan gini, Syam. Bisa-bisa kita kejedot tiang atau pohon nanti," selorohku seraya mempercepat langkah kakiku. Aku agak terkekeh dan agak menjauh darinya. Aku berlari kecil seraya memeluk boneka yang Syammiel berikan padaku. Ah!
Entah mengapa aku begitu bahagia saat itu juga. Apa ini karena boneka teddy bear? Atau... karena Syammiel?
"Tunggu, Ra. Jangan lari!" teriak Syammiel di belakangku. Ia pun berlari di atas hamparan salju. Dan, ia tak menyadari bahwa aku sedang senyum-senyum sendiri seraya mendekap erat teddy bear pemberiannya.
***
"Aku kenal dia bukan hanya sehari dua hari aja. Aku udah sewindu lebih mengenal dia. Dan, selama itu pula aku terluka karena perasaan yang kupendam ini. Aku pun menelan bulat-bulat rasa pahit ini sendiri."
Aku mulai bercerita pada Syammiel tentang dia. Ya, sahabat kecilku, Adam Ahmad Fauzan namanya. Pikiranku pun melangit ke masa silam tepatnya saat aku masih di bangku Sekolah Dasar. Hatiku pun jadi luluh-lantak lagi dan lagi. Sukmaku dihunjam lara yang tak terperi.
"Sewindu itu waktu yang sangat lama, Ra. Dan, kamu mengubur lukamu itu bersama harapan-harapan yang terabaikan?" Syammiel menatapku tak percaya. Namun, mau tidak mau ia harus memercainya. Sebab, apa yang kuutarakan adalah fakta. Dan, perihal aku menyimpan luka selama sewindu pun itu adalah realita yang kujaga dan kusimpan selama ini.
"Iya. Mungkin, kata orang itu namanya cinta monyet. Namun, lama-kelamaan rasa itu kian tumbuh seiring dengan berputarnya waktu. Aku pun malah terbiasa dengan terpaan perih yang sewaktu-waktu bisa membunuh semangatku kapan saja dan di mana saja." Aku memainkan kakiku pada salju yang sengaja kududuki. Aku pun tak menatap Syammiel yang berada di sampingku. Karena, entah mengapa aku sedang tak ingin menatap sesiapa pun. Bahkan, langit biru yang kusuka pun enggan kupandangi. Entahlah. Mungkin, langit di hatiku sedang mendung dan cuaca mood-ku sedang buruk.
"Iya, kamu memang terbiasa merasakan luka dan perih itu. Tapi, tanpa kau sadari hatimu lambat-laun merapuh dan hancur lebur karena ulahmu sendiri." Syammiel menatap lurus ke depan. Entah apa yang jadi objek penglihatannya. Yang pasti, yang tengah ia lihat adalah pohon oak yang dihinggapi bulir-bulir salju nan putih.
"Kau terlalu egois, Haura. Kau pertaruhkan kebahagiaanmu hanya demi dia yang tak tahu bahwa kau mencintainya. Kaukorbankan perasaanmu sendiri hanya untuk terlihat tegar di hadapannya meskipun itu sangat menyakitkan," batinnya.
"Aku terlalu mencintainya. Aku terlalu berharap bahwa ia akan menyambut cintaku. Tapi, terkadang realita tak seperti apa yang kita harapkan. Aku pun harus menerimanya walau perih meradang." Aku menenggelamkan wajahku pada teddy bear yang kupeluk. Air mataku pun memburai begitu derasnya.
"Setiap yang diawali dengan kata 'terlalu' itu tidaklah baik, Haura... Seharusnya, kau bisa membandingkan mana senyuman tanda cinta dan senyuman tanda persahabatan," ucap Syammiel. Ia menoleh ke arahku yang sedang terisak lirih.
Ya, aku salah. Aku telah salah mengartikan setiap senyuman dan perhatiannya kepadaku. Aku telanjur... mencintainya dalam-dalam. Aku telanjur terpelanting pada bahtera harapan yang menyesakkan. Dan, kini aku jatuh dalam ketidakberdayaan untuk melupakannya." Hujan membasahi pipiku. Tapi, kali ini berbeda. Hujan itu berasal dari sudut-sudut mataku yang sendu. Hujan itu bernama air mata tanda kesedihan. Kesedihan yang telah kutimbun selama sewindu. Ya, sewindu. Sewindu aku mengenalnya. Dan, sewindu pula aku memendam perasaanku yang diiringi segerombolan luka.
"Aku tak bisa membayangkan bagaimana kau bisa menjalani hari-harimu. Kau pasti berjuang mati-matian agar terlihat tegar di hadapan sahabat kecil yang kau cintai itu. Kau pasti bersusah payah untuk menahan luahan luka yang kaurasa tiap kali melihatnya jatuh hati pada seseorang. Kau... ternyata punya hati yang kuat, Haura...." Syammiel merangkul pundakku lalu menyandarkan kepalaku pada bahunya.
"Apakah aku bisa melupakan Adam?" tanyaku seraya masih berlinangan air mata.
"If you think you can, so you can." Syammiel menepuk-nepuk pundakku. Ia berusaha untuk menenangkanku yang tengah terluka. Broken.
Aku pun terdiam dalam senyap. Bibirku tak mengucap sepatah kata pun. Lidahku serasa kelu. Rasanya, aku mati rasa. Tapi, aku jelas-jelas merasakan pilu yang tak terkira dalam hatiku. Perasaanku membuncah riuh bak dalam karnaval luka paling meriah. Sukmaku hampa laksana dilemparkan ke dalam labirin nan gelap-gulita tanpa cahaya.
"Aku sempat menetap cukup lama dan terus bertahan bersama luka ini. Namun, pada episode terakhir lukaku ini, aku ingin benar-benar berdamai dengan lukaku. Aku mau belajar ikhlas tanpa perlu membencimu. Dan, aku akan belajar untuk melupakan kenangan pahit dan luka-luka yang kaugoreskan selama sewindu ini." Aku membatin dan menangis di pundak Syammiel.
Saat itu, aku benar-benar tak peduli pada salju yang turun menjamah kulitku. Pun, aku tak menggubris rasa dingin yang seharusnya membuatku menggigil kedinginan.
Aku hanya ingin menumpahkan keseduan yang selama ini kubendung di sudut-sudut hati. Berharap rasa pilu itu memudar dari langit-langit qalbuku.
"Entah apa perasaan yang kini tengah membuncah dalam hatiku. Yang kutahu, aku hanya ingin menemaninya saat terluka dan selalu ada di sampingnya." Syammiel tercenung seraya mengelus kepalaku.
***

Jomblo Until Akad #KyFa (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang