----------
"Teruntuk hatiku yang tak bertuan, bersabarlah. Di ujung sana, ada seseorang yang tengah bermusafir menujuku yang hatinya menghening."
----------
💌💌💌
Pagi itu, Aku tengah menggerek koperku yang berwarna hitam di pelataran airport Jepang. Seminggu setelah acara workshop kepenulisan di Tokyo, aku memutuskan untuk flight ke Indonesia. Karena, Aku ada job lain di kota Bandung, kota kelahiranku. Kerja sekaligus untuk refreshing.
"Indonesia, I am coming," pekikku girang dalam hati. Aku masih berjalan membelah lalu-lalang para penumpang pesawat yang rata-rata bermata sipit dan berpostur tinggi. Lalu, tiba-tiba saja tanganku serasa ada yang menahan. Dan, benar saja.
"Haura," ucap pria berkulit putih itu. Ia tampak tersenyum manis seperti biasanya. Dan, di tangan kanannya ada sebuah koper berukuran sedang. Sepertinya, ia juga akan bepergian dari Negeri Sakura ini. Di leher jenjangnya pun tergantung kamera SLR yang selalu ia bawa ke mana pun. Bukan hanya karena ia seorang fotografer, tapi ia juga memang suka mengabadikan momen-momen tertentu dengan lensa kameranya.
"Hei! Syammiel," tuturku seraya tersenyum simpul. Mataku penuh dengan binar-binar bak gemintang. Lesung pipiku pun terlihat jelas di kedua pipiku. Ah! Entah mengapa aku merasa senang saat bertemu lagi dengannya. Perhaps, because he is a humble boy.
"Kamu mau ke mana?" ucapku dan Syammiel berbarengan. Alhasil, pipiku pun memerah. Aku dan Syammiel jadi salah tingkah dan merasa gugup selama beberapa jenak.
Pria bermata teduh itu tersenyum simpul lalu berkata, "Kamu pulang ke Indonesia?" Lantas, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket bomber-nya.
"Iya, Syam. Kalau kamu? Mau pulang ke Indonesia juga?" tanyaku seraya menatap matanya sekejap. Lalu, kutundukkan pandanganku ke bawah. Sebab, aku tak ingin berlama-lama menatapnya. Bukan karena aku takut jatuh hati padanya. Sungguh bukan. Tapi, karena kutahu itu adalah zina mata dan aku harus gadhulbashar. Ya, menundukkan pandanganku.
"Nggak, Ra. Aku mau ke singapore dulu. Ada job lagi. Hehe." Syammiel tertawa renyah. Hidungnya yang mancung pun terlihat lebih memesona di wajahnya yang agak berbentuk oval.
"Oooh, gitu ya. Good job, Syam. Semoga lancar, ya...." Aku tersenyum manis lalu melirik ke arah jam digital berukuran besar yang terpampang di salah satu dinding airport itu.
"Oke, Haura. Thanks, ya? Kamu juga. Semangat dan teruslah berkarya!" ucap Syammiel.
Aku mengangguk pelan seraya tersenyum.
"Come on! We should go," ucap seorang pria bule seraya menarik lengan Syammiel.
Alhasil, Syammiel pun mundur perlahan. "Haura, aku duluan, ya? See you again," serunya seraya menoleh ke arahku yang kini ada di belakangnya. Jarak pun mulai merenggang antara aku dan Syammiel. Dan, ia pun lenyap ditelan lalu-lalang orang-orang yang siap untuk masuk ke dalam burung besi.
***
Sebelum pesawat lepas landas menuju tempat tujuan, aku menulis sesuatu dulu pada scrapbook-ku. Lalu, kusobek sehelai kertas itu dan kutempelkan pada kaca jendela airline.
"Jomblo until akad. Bismillah."
Itulah yang kutulis pada selembar kertas itu. Aku memotretnya dengan kamera ponselku. Kemudian, kusimpan ponsel, scrapbook, dan penaku ke dalam tas selempangku. Karena, pesawat akan segera flight ke Bandara Soekarno Hatta.
Detik selanjutnya, aku menatap ke luar jendela. Apa yang kulihat?
Ya, aku melihat awan-awan putih dengan jelas. Rasanya, aku berada dekat sekali dengan gumpalan-gumpalan awan yang sering kuikuti itu. Benakku pun melesat jauh ke dalam angan. Aku terhanyut dalam imajinasiku sendiri. Larut dalam dunia fantasi yang begitu sering kusinggahi.
"Aku pernah berpikir untuk tinggal diantara hamparan mega itu. Tapi, kutahu itu mustahil. Aku pasti akan jatuh ke bumi. Karena, aku hanyalah insan biasa. Aku bukanlah peri yang bisa terbang. Pun, bukanlah bidadari dari negeri khayangan. Aku hanyalah seorang putri di mata Ayahku. Putri yang bermimpi untuk terbang mengelilingi dunia."
Langit-langit benakku kian dijejali hal-hal tentang Ayah, pahlawan dalam hidupku. Pun, Ibu, bidadari tak bersayapku. Kurasa, rindu telah menyergap ruang hatiku yang hampa. Rindu itu datang tiba-tiba seperti cinta. Tapi, kali ini rasa rindu itu melebihi rindu-rindu yang pernah ada. Dan, entah mengapa aku ingin sekali meneteskan air mata.
"Ayah, Ibu... ada banyak hal yang belum kuceritakan pada kalian. Tentang perjalananku ini dan tentang perasaanku. Kuharap... Ayah masih bersedia menyediakan bahu Ayah untuk putrimu ini. Dan, kuharap... Ibu mau menghibur putrimu ini yang tengah bersusah hati," batinku berkata.
Lambat-laun, air mataku pun meleleh. Pipiku jadi basah dan aku segera menyekanya. Benakku pun masih digelayuti oleh rindu yang menggebu-gebu. Dan, sukmaku masih diselimuti oleh rasa hampa yang kian menjadi-jadi, tak terperi.
"Teruntuk hatiku yang tak bertuan, bersabarlah. Di ujung sana, ada seseorang yang tengah bermusafir menujuku yang hatinya menghening. Yakinlah bahwa ada titik pertemuan setelah penantian yang melelahkan. Percayalah. Allah pasti akan menuntun langkahnya. Allah pasti akan mempertemukanku dengan si dia yang masih dirahasiakan oleh tabir-Nya."
***
"Assalamu'alaikum, Ayah, Ibu...," ucapku seraya memasuki ruang keluarga yang terlihat lengang.
Ibu pun langsung menghampiriku dan berhamburan untuk memelukku, putri sulungnya. "Haura, kamu sehat kan, Sayang? Ibu tuh khawatir banget tau sama kamu. Gak henti-hentinya ibu doain kamu dari sini."
Seperti biasa, Ibu selalu berlebihan padaku. Tapi, begitulah ia menunjukkan rasa perhatiannya padaku. Kecerewetannya adalah bukti cintanya yang tulus dan mulia untukku. Dan, cintanya adalah cinta tanpa balas jasa. Cinta yang benar-benar tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Sebab, ia telah berjuang untukku. Untuk menjagaku selama berada dalam rahimnya sampai saat ini.
Aku tersenyum simpul menatap mata sayu wanita paruh baya itu. Ia adalah ibuku, bidadari tak bersayapku. Ia memang tidak bergaun, tapi ia memakai pakaian gamis ala ibu-ibu rohis. Ia memang tak memiliki sepasang sayap, tapi ia mampu memberikanku kasih sayang yang tak kudapatkan dari sesiapa pun. "Alhamdulillah, Bu. Haura sehat kok. Ibu gak usah khawatir," tuturku yang masih dalam pelukan hangatnya. Itu adalah pelukan rindu darinya.
"Gak khawatir gimana? Orang kamu susah banget makan. Sekali makan paling cuma tiga sendok," timpal Kak Genta. Ia adalah kakak pertamaku dan ia sudah memiliki satu anak yang sangat menggemaskan. Anisa Kalila Lutfia namanya. Buah hatinya itu begitu lucu dan mirip sekali dengan Ayahnya, Kak Ferdi.
Terkadang aku mengajak Anisa untuk bermain ke taman yang ada di ujung jalan sana. Dan, terkadang aku menjaganya saat Kak Genta sedang sibuk mencuci popoknya.
Aku mendelik ke arah Kak Genta yang tengah mengompori Ibu dengan timpalannya yang merupakan fakta.
"Bener tuh kata Kakakmu itu, Sayang... Kamu tuh susah makan banget. Apalagi di negeri orang?" Ibu menambahkan seraya melepaskan pelukannya.
"Nggak kok, Bu... Aku makan-makan kok di sana. Tapi, ya... makannya agak dikit sih. Sekalian ngirit budget juga...," celetukku seraya tersenyum lebar.
"Ya elah, De. Uang kan ada. Kok super ngirit banget sih kamu? Tubuh kamu tuh butuh asupan. Lagipula, kamu kan sering mikir buat nulis," sambar Kakak keduaku yang tiba-tiba datang dari arah dapur.
"Bukan ngirit sih, Kak. Tapi kan aku biasanya makan sedikit. Dan, itu udah habit yang mutlak. Kalo kebanyakan mah perutku gak muat." Aku berdalih untuk membela diriku sendiri. Sementara, Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menatapku dan kedua kakakku yang tengah mempermasalahkan hal yang sepele.
"Udah, udah! Haura, mending kamu ke kamar aja deh. Ada kejutan buat kamu." Ibu melerai seraya mengelus-elus pundakku.
"Surprise apa, Bu?" tanyaku seraya mengernyitkan sebelah alisku. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang barusan dikatakan oleh Ibuku.
"Udah... lihat aja ke kamar, De," ucap Kak Genta seraya menyeringai evil.
Aku pun melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam kamar. Setelah aku benar-benar berada di dalam kamarku, aku pun terpelongo seraya menatap kasurku. "Ibuuu! Kak Gentaaa!" teriakku.
***
Aku menghela napas panjang di salah satu sudut cafetaria yang sedang hitz-hitznya di kota Kembang. Saat itu, aku sedang mengobati kepenatan yang kurasakan setelah pulang dari negeri sakura lalu menandatangani seribu novel dari pihak penerbit.
"Huft!"
Rasa lelahku bukanlah pertanda bahwa aku tak menikmati profesiku sebagai penulis. Namun, aku hanya mengekspresikan perasaanku saja yang galib sebagai manusia biasa. Aku juga bisa menangis, terluka, bahkan jatuh hati. Ya, karena aku pun punya hati. Dan, terkadang alur kehidupanku jauh lebih rumit dari cerita yang kubuat dalam novel-novelku.
"Makasih, Teh," tuturku pada seorang pelayan yang baru saja mengantarkan pesananku. Lalu, aku terperangkap lagi pada imajinasiku sendiri.
Kuedarkan pandanganku ke arah kaca jendela besar yang ada di sebelahku. Kulihat ada beberapa orang yang berlalu lalang di beranda cafe. Kendaraan pun hilir mudik bagaikan angin yang sekadar berlalu, melintas.
Aku menyecap matcha latte yang kupesan tadi. Aku memang menyukainya, sama seperti hujan dan senja. Aku suka.
Detik-detik pun terus berganti menjadi menit. Tanpa terasa matcha latte-ku pun sudah habis mengiringi lamunanku yang beterbangan entah ke mana. Aku makin tejerembab dalam ilusiku sendiri. Dan, tanpa kuminta tiba-tiba saja langit-langit benakku dihinggapi oleh pria bermata teduh itu. Ya, Syammiel Hussain.
Throwback!
Saat itu, Syammiel dan aku tengah skying di tempat ice skating yang cukup populer di Jepang. Syammiel mengajakku ke sini. Ia ingin menghiburku setelah acara workshop kepenulisan itu. Aku pun berharap, "Semoga kesedihanku karena Adam takkan berkepanjangan. Dan, kuyakin bahagiaku kan terbit 'tuk menerangi hatiku yang lama telah temaram."
"Udaranya dingin banget," ucapku seraya memasang sepatu skating pada kaki kanan dan kiriku. Kala itu, aku mengenakan sweater tebal, scarf, sarung tangan, jilbab berbahan tebal, dan penutup kepala yang bentuknya agak seperti helmet. Sebab, musim salju masih berlangsung di negeri Sakura itu. Dan, temperatur udaranya sangatlah dingin. Entah berapa celcius.
"Ya iyalah dingin, Ra. Kan masih winter. Tapi, kamu suka kan?" ucap Syammiel. Ia sudah siap untuk bermain skating di atas hamparan lantai ice yang cukup luas.
"Suka bangeeet, Syam. This is my first time I visit this place."
"Aku suka kalau kamu tersenyum, Ra."
"Apa, Syam?"
"Aku suka kalau kamu tersenyum." Syammiel menatapku yang tengah duduk manis. "Eh! Gimana? Udah siap main ice skating?" sambungnya.
Aku mengangguk, tapi tersenyum ragu. "Udah, tapi aku gak bisa, Syam...."
"Udahlah, ayo! Kamu bukan nggak bisa, Ra... tapi belum bisa aja...." Syammiel mengulurkan kedua tangannya padaku. "Yuk! Ntar aku ajarin."
"Beneran ya ajarin?"
"Iya, iya... Tenang aja, Ra. Aku ajarin kok," ucap Syammiel.
Aku pun menerima uluran tangannya. Namun, saat aku beranjak untuk berdiri tetiba saja kakiku meleset. Hampir saja aku terjatuh, tapi Syammiel dengan sigap menangkap tubuhku. Syammiel dan aku pun bersitatap selama beberapa detik. Mataku dan matanya yang berwarna jingga kini saling bertemu pada satu titik. Aku menatap iris matanya dan ia pun menatap iris mataku, lamat-lamat.
Entah mengapa waktu serasa berhenti untuk berputar. Orang-orang di sekitarku dan Syammiel pun serasa membeku bagai patung yang tak bisa berkutik apapun. Ah! Mengapa detik-detik ini terasa begitu indah dan berbeda?
"Eh! Maaf," pekik Syammiel seraya membantuku untuk berdiri. Ia tampak sedikit gugup.
"Emmmh... Thanks, Syam." Aku pun tak kalah gugupnya dari Syammiel. Hatiku pun sontak berdebar-debar tak menentu. Detak jantungku memacu lebih cepat. Entah penyakit apa ini. Aku belum bisa mendiagnosanya sendiri. Sebab, aku takut akan perasaan itu. Perasaan yang dua tahun silam telah mengoyakkan kerajaan qalbuku. Perasaan itu benar-benar buatku terdampar di pulau keseduan yang teramat luas. Pilu dan lara pun menggelepar di mana-mana, di bilik-bilik hatiku yang mulai membeku.
"Bisa kita mulai?" tanya Syammiel.
"Bisa, Syam. Ayo! Aku pengen bisa nih," ucapku antusias. Sesegera mungkin kutepiskan rasa traumaku pada cinta yang bertalian dengan kata 'pacaran'. Kusingkirkan ingatan-ingatan pahit itu dari langit-langit benakku. Sebab, memikirkannya sama saja dengan memanggil luka itu kembali. Lantas, kapan hatiku bisa sembuh jika aku terus menerus tenggelam dalam lautan masa lalu?
Detik berikutnya, aku masih belajar berdiri dan berjalan di atas papan ice skating. Syammiel pun masih menggenggam kedua tanganku. Berkali-kali aku terjatuh ke lantai yang berbahan es itu. Namun, pada akhirnya aku pun bisa berdiri tanpa bantuan dari Syammiel.
"Tuh kan kamu bisa. Aku bilang juga apa... Kamu tuh pasti bisa, Ra. Kamu hanya perlu mencoba dan lebih berani aja buat belajar," ucap Syammiel seraya tersenyum menatapku. Kemudian, ia berlari dengan cepat di atas sepatu skating-nya. Ia sudah beberapa kali bermain ice skating, tapi di tempat yang berbeda. Jadi, tak heran jika ia sudah semahir itu berjalan dan beraksi di area ice skating.
Aku mengulum senyuman di bibirku yang berwarna pink. Aku menatap Syammiel yang berada jauh di depanku. Pria bertubuh jangkung itu tampak riang saat beraksi dengan sepatu skating-nya. Kulihat ia sedang tersenyum ke arahku.
"Haura, ayo sini! Susul aku!" ucap Syammiel setengah berteriak.
Aku pun mengiyakannya dan berusaha untuk mengimbangi langkahnya itu. Sebenarnya aku belum benar-benar bisa bermain skating di atas lapang es ini. Tapi, aku berusaha untuk melawan rasa takutku untuk terjatuh. Dan, benar saja akhirnya aku pun kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh.
Sontak, Syammiel berteriak lalu menghampiriku. "Haura!"
"Sssh!" Aku meringis kesakitan. Sepertinya ada yang tidak benar dengan kaki kananku. Rasanya benar-benar sakit dan tak tertahankan lagi. Air mataku pun meleleh perlahan-lahan.
"Haura, sini aku bantu." Syammiel tampak cemas. Ia mengulurkan tangannya padaku dan membantuku untuk menepi ke sisi area ice skating itu. Ia pun membantuku untuk duduk di kursi yang dekat dengan rak khusus sepatu skating.
"Thanks, Syam," tuturku seraya tersenyum tipis. Setelah itu, aku pun meringis lagi. "Sssh," desahku.
Syammiel mengangguk seraya tersenyum. "Kita pulang aja yuk? Tapi, kamu bisa jalan gak?" tanya pria bermata teduh itu. Ia duduk di sebelahku dan menatapku. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam longcoat-nya.
Aku berpikir sejenak lalu berkata, "Aku bisa kok. Insyaa Allah." Aku pun berusaha untuk bangkit tanpa bantuan dari Syammiel. Namun, nihil. Aku hampir saja terjatuh lagi ke atas lantai es yang jelas-jelas dingin itu. Tapi, Syammiel berhasil menahanku agar tak terkapar ke hamparan es yang bisa membuat siapapun menggigil bila menyentuhnya langsung dengan jari-jemari.
"Tuh kan... belum bisa. Kaki kamu tuh keseleo, Ra. Harus diurut dulu ini mah."
"Hah? Diurut? Aku gak mau!"
"Kenapa? Kamu gak mau sembuh, ya? Atau kamu mau terus-terusan dipapah sama aku? Hehehe." Syammiel tertawa renyah seraya menatapku yang tengah bersidekap.
"Idiiih! Apaan sih kamu, Syam? Aku cuma gak mau aja. Pasti sakit nanti." Aku tak menatapnya. Aku masih melipatkan kedua tangan di depan dadaku. "Emangnya di jepang ada tukang urut, ya?" tanyaku seraya berdalih.
"Ya ada lah, Haura... Udah ya, jangan bawel. Ayo aku antar kamu ke byouin deket sini!" ucapnya. Lalu, ia pun memapahku untuk berjalan ke rumah sakit yang jaraknya tak begitu jauh dari tempat ice skating ini.
.
.
.
"Haura?"
"Haura?"
Genta tampak kesal pada adik kandungnya itu. Sebab, Haura masih saja terdiam dan menggubris kehadirannya. "Haura?" tanyanya sekali lagi. Kali ini ia berusaha mengusik Haura dengan cara menepuk pundaknya agak keras. "Ra!"
"Engh! Kak Genta...." Aku memekik. Lamunanku pun buyar sebuyar-buyarnya. Kini konsentrasiku pun beralih pada Kak Genta dan rasa kesalku padanya.
"Hayooo! Kamu lagi ngelamun, ya? Ngelamunin apa hayo?" Kak Genta menggodaku seraya mencolek daguku.
"Ish! Apa-apaan sih, Kak? Nggak kok," sergahku. Aku menampiknya.
"Makanya, De... jangan ngejomblo mulu. Cari pacar sana! Biar gak ngelamun terus."
Aku mengernyit. "Lha? Kok malah bahas itu sih? Males banget," batinku. Aku pun terhenyak dalam lamunanku lagi. Tapi, kali ini aku melamunkan hal yang paling menyebalkan bagiku. Yakni melamunkan tentang pacaran alias hubungan yang haram dan tidak dibenarkan dalam agama Islam.
Kak Genta menyeringai. "Tuh kan ngelamun lagi... Ayolah, De. Cari pacar gih! Atau... mau kakak cariin, ya?" tuturnya.
"Nggak, Kak. Pokoknya nggak. Pokoknya aku akan tetap teguh pada pendirianku ini. Jomblo until akad. Titik!" ucapku tegas. Aku dan hatiku menolak untuk pacaran and everything about that.
"Huuu! Dasar! Semoga istiqamah ya jomblo fii sabilillah-nya. Semoga Allah cepet-cepet mempertemukan kamu sama jodohmu itu. Aamiin yarobbal 'alamiin," ucap Kak Genta. Ia mengelus-elus pipiku yang kini memerah.
"Aamiin yarobbal 'alamiin," ucapku seraya tersenyum simpul. Aku begitu berharap akan hal itu. Kuharap Allah akan segera mempertemukanku dengan jodohku pada saat yang tepat. Pun, saat aku siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga dengan landasan iman dan cinta yang benar-benar karena-Nya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jomblo Until Akad #KyFa (REPOST)
SpiritualSudah terbit. Ini hanya cuplikannya saja. 😉 Pesan sekarang juga untuk baca novel "Jomblo until Akad" 🥳🥳 DM @awanteduh23 yaaa