"Bu, nanti sore aku mau otw ya?" ucapku seraya menghampiri Ibu yang tengah memotong wortel di dapur bersama Kak Genta.
"Mau ke mana?"
"Mau ke kafe, Bu. Di sekitaran Bandung ini kok."
"Emangnya mau ngapain? Mau ngelamun-ngelamun lagi kayak kemarin, ya, De?" celetuk Kak Genta. Ia membuka kartuku. Karena, kemarin aku tak sengaja dipergoki olehnya di cafe.
"Apa? Kamu ngelamun kenapa, Sayang?" ucap Ibu seraya menatapku. Spontan ia melepaskan pisau yang sedari tadi ia genggam.
"Aku...-" ucapku terpotong. Aku bingung harus menjawab apa. Sebab, memang benar aku tengah melamun saat itu. Melamunkan seorang Akhii. "Ah! Bisa berabe nih," batinku.
"Haura ngelamunin cowok kali, Bu... Mungkin, dia udah pengen punya pacar," ceplos Kak Genta sejadi-jadinya. Padahal, aku benar-benar nggak mood untuk membahas masalah pacar dan apapun yang menyangkut hal itu.
Soal aku yang memikirkan Akhii itu, itu kehendak hati dan pikiranku. Aku tak bisa menolaknya. Itu di luar kendaliku.
Aku menatap tajam ke arah Kak Genta. "Apaan sih, Kak? Kan aku udah bilang kalo aku gak mau punya pacar." Aku merasa dongkol pada kakakku yang satu ini. Kak Genta memang paling cerewet dan super protektif padaku. Apalagi soal cowok. Itu benar-benar membuat hatiku terbakar oleh api kekesalan. She is my annoyed sister.
"Tuh, Bu... Ibu denger sendiri kan? Berarti Haura maunya langsung dikhitbah terus nikah deh. Kan jadinya kekasih halal dan sah tuh... Bukankah begitu, Adikku sayang?" Kak Genta menggodaku lagi dengan celotehannya yang membuat pipiku memanas. Hatiku pun jadi berdebar-debar tak keruan. Dan, memang itulah keinginan hatiku. Penuturan Kak Genta memang benar.
"Bu... Liat tuh, Kak Genta godain aku terus ih. Aku risih, Bu... Aku juga gak mau bahas masalah ini...." Aku merengek pada Ibuku seraya merangkul pinggangnya. Bibir tipisku pun agak maju beberapa sentimeter.
"Genta, udah deh jangan mulai... Jangan godain adikmu terus. Lagipula, Haura kan masih muda. Karirnya pun baru dimulai." Ibu mengelus-elus bahu Kak Genta dengan lembut dan penuh kasih sayang. Senyuman pun terukir indah di wajahnya yang mulai dihiasi keriput-keriput. Ia memang sudah merenta. Jelas saja, sekarang ia sudah mempunyai satu cucu dari Kak Genta, Kakak pertamaku.
"Ya udah deh, iya... Kamu kan masih dua puluh tahunan ya, De? Mending kamu fokus sama karir aja dulu," saran Kak Genta untukku. Ia pun pasrah dan tak lagi meneruskan unek-unek di dalam hatinya yang masih kelewat banyak.
"Jangan lupa juga sama introspeksi diri, muhasabah. Itu juga penting banget, Sayang...," tambah Ibuku seraya tersenyum simpul ke arahku.
"Iya, Bu... Ibu dukung aku kan buat terus jomblo until akad?" Aku menaruh daguku pada bahu Ibu. Aku memeluknya dari belakang.
"Iya, Sayang... Ibu dukung kamu kok. Apapun itu asalkan di jalan kebaikan."
"Ibu emang paling ngertiin aku deh. Ter the best pokoknya. Muaaach!" Aku mencium pipi kanan Ibu lalu menjulurkan lidah ke arah Kak Genta. Kemudian, aku berlari meninggalkan Kak Genta yang tampak sebal padaku.
***
Pukul 16.30 WIB.
Aku berjalan tergopoh-tergopoh di depan cafe yang menjadi tempat meeting-ku dengan pihak management. Aku melirik arlojiku lalu masuk ke dalam kafe yang sedang nge-trend di kota kembang itu.
"Assalamu'alaikum? Maaf aku telat, Guys," ucapku lalu duduk di kursi yang masih kosong.
Semua orang yang semeja denganku kini fokus pada satu titik yaitu aku sendiri. Sementara, aku tak menyadarinya karena aku sedang mengatur napasku yang masih tersengal-sengal.
"Jam berapa ini?" nada Mas Bimo agak menaik. Pria berkumis tipis itu adalah manajerku. Ia berumur tiga puluh tahun dan sudah mempunyai dua orang anak. Ia adalah orang Jawa asli. Lahir dari keluarga yang berada alias kaya dan berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Afwan, Mas... Aku telat." Aku menundukkan pandanganku dan menatap sepatu converse yang kupakai. Aku pun tak sempat melihat wajah-wajah yang akan mengikuti acara meeting hari ini, karena aku dirundung rasa bersalah. Ini adalah kali pertama aku terlambat dalam urusan pekerjaanku ini. "Arght! Mengapa aku seceroboh ini? Mengapa aku tak menggunakan waktuku sebijak mungkin? Arght! Astaghfirullahal 'adzim...," batinku berkata.
Tiba-tiba saja aku mendengar gelak tawa dari Mas Bimo. "Hahaha." Pria berkacamata itu memandangiku seraya tersenyum lebar. "Becanda kali, Ra...."
Alhasil yang lain pun ikut tertawa menatapku.
"Hah? Apa ini lucu?" gumamku dalam batin. Aku pun mengarahkan pandanganku pada Mas Bimo yang kini tengah menyeruput kopi luwaknya.
"Gapapa kali, Ra... Loe kan cuma telat lima menit," kata Mbak Calista.
Wanita berambut pirang itu adalah consultan-ku. Ia itu blasteran Lombok dan Inggris. Pantas saja jika matanya berwarna biru dan kulitnya sangatlah putih -- sebagaimana para turis yang datang untuk berlibur ke Indonesia. Ia pun ramah dan peduli pada sesama partner-nya. Pun, kepada anak yatim.
Seperti waktu ia, aku, dan pihak management-ku berkunjung ke salah satu Panti Asuhan di bilangan Kota Tua Jakarta. Ia sangatlah penyayang pada anak kecil. Tapi, sayangnya ia adalah non-muslim. But, it is never mind. Perbedaan itu indah. Dan, aku belajar banyak hal dari Mbak Calista, especially about tolerance to each others.
Aku pun tersenyum menatap Calista lalu ke yang lainnya. Dan, tiba-tiba saja tatapan mataku berhenti pada seorang pria yang jelas-jelas kukenali. Aku terkesiap. "Syammiel?"
"Hei, Haura...," sapa pria berketurunan Arab dan Bali itu. Ia tampak tersenyum simpul padaku. Hidungnya yang mancung pun terlihat amatlah jelas di mataku.
"Lho! Kalian udah saling kenal?" tanya Mas Angga. Ia menatapku lalu beralih ke Syammiel.
"Udah, Mas," jawabku dan Syammiel berbarengan.
Mas Bimo menatap ke arah Angga, Calista, Yudha, Koh Aji, dan Mbak Yuki. Mereka saling berpandangan. Pun, ada yang terheran-heran seraya menaikkan kedua bahunya---tanda tak tahu apa-apa.
"Eh! Jadi gimana nih, Guys?"
"Gimana apanya, Mas?"
"................." Mas Bimo menjelaskan panjang lebar perihal meeting kali ini. Ia berbicara dengan begitu lancar, komunikatif, dan dengan gaya bahasanya yang Jawa medok. Pokoknya sensitif banget sama huruf 'b,d,j'. Dan, itu membuatnya terkesan lucu tapi tetap dalam jalur-Nya. He's humorous, but humble.
"Oh... Jadi, mulai sekarang Syammiel jadi partner kita, Mas?" kata Yuki.
Wanita karir berumur dua puluh lima tahun itu tampak serius dengan perbincangan saat meeting kala itu. Ia adalah salah satu designer cover novel-novelku. Ia berasal dari negeri sakura, Jepang. Pantas saja jika matanya sipit, tubuhnya pun bak artis jepang, dan kulitnya putih bersih. Ia pun cukup dekat dan akrab denganku. Sebab, ia adalah wanita yang enak diajak curhat dan ngobrol apa saja. Wawasannya pun cukup luas. Jelas saja, karena ia adalah lulusan mahasiswi di Universitas ternama di Jepang. She is an intellect girl.
"Iya, Yuki-san. Mulai sekarang Syammiel bakalan jadi fotografer pribadinya Haura. Mulai dari motoin karya-karyanya, launching-nya, and everything about that."
"Oke, fix ya? Gimana, Syammiel? Kamu bersedia?" tanya Yudha. Ia adalah salah satu staf yang bekerja di salah satu publisher yang menerbitkan novelku. Ia bermata cokelat dan berperawakan gagah. Ia sepertinya rajin nge-gym. Soalnya, tubuhnya kekar dan sispact. Wajahnya pun tampan dan rupawan kayak Rio Dewanto, aktor Indonesia yang suka ber-acting di film laga dan film-film ber-genre lain. Handsome!
"Ya. Saya bersedia, Mas." Syammiel melengkungkan senyuman mautnya itu. Matanya penuh dengan binar-binar. Dan, binar-binar di sorotan matanya itu sama dengan binar-binar yang kulihat di bawah hujan salju di Jepang. Ya, aku pernah melihatnya.
Mendengar persetujuan dari Syammiel, aku hanya tertunduk seraya memainkan jilbab dengan jemariku. Aku tak mencuri-curi pandang pada Syammiel. Karena, aku tahu itulah zina mata. Dan, aku sedang belajar untuk menghindarinya.
"Haura?" tanya Mbak Calista. Ia berhasil membuyarkan lamunan dan kebungkamanku.
Aku menoleh padanya lalu berkata, "Iya, Mbak."
"Kok diem aja sih?"
"Nggak kok, Mbak. Aku cuma lagi mikir aja."
"Mikirin apa loe, Ra?" timpal Mas Angga.
"Ini... kemarin malem kan Mas Bimo nge-WA aku, kalau kita ini bakal ada acara camping bareng gitu... Sekalian refreshing. Ya kan, Mas?" Aku melirik ke arah Mas Bimo yang tengah mengaduk-aduk luwak coffee-nya.
"Oh, itu toh... Jadi gini, Guys. Minggu depan kita bakal camping bareng di daerah sini. Kita juga bakal ngadain candle light dinner dan adventuring gitu, gimana?" Mas Bimo bertutur begitu. Alhasil, aku dan semua yang semeja denganku pun ikut fokus pada pria berdarah Jowo itu. Kami menghargainya yang tengah berbicara serius, but tetaplah dengan gayanya yang santai.
"That's good idea!" seru Angga.
Setelah semuanya kompak dan menyepakati planning itu, kami pun makan-makan lalu pulang ke rumah masing-masing. Sementara, Angga, Yudha, dan Aji pulang bersama ke basecamp-nya yang sama. Tiga Sekawan itu memanglah CS-an. Ke mana-mana hampir selalu bersama. Terkecuali ke tempat-tempat tertentu saja.
***
"Apa ini adalah bagian dari skenario Allah?" tanyaku dalam hati. Kala itu, aku sedang bersantai dan duduk di ayunan yang ada di halaman rumahku. Dersik angin pun menerpaku. Buatku sedikit menggigil kedinginan dan merekatkan jaket parka-ku yang berwarna biru. Tapi, entah mengapa ada selaksa tanya yang berdatangan ke bilik-bilik benakku. Hatiku pun dibuat bimbang karenanya.
"Kan kulibatkan Engkau dalam setiap urusanku. Pun, dalam perkara hati yang begitu meresahkan ini. Semoga aku bisa terus bersabar 'tuk menanti jawaban dari setiap doa-doaku. Dan, kuyakin... rencana-Mu adalah yang terbaik dan terbaik untukku, hamba-Mu yang fana dan berlumuran dosa ini."
Air mataku berlinang dari sudut pelupuk mataku yang sendu.
Kutatap sang rembulan yang menyabit di antara gulitanya malam. Kurasakan betapa heningnya malam ini. Sunyi-sepi merebak di sekelilingku. Hanyalah sayup-sayup angin yang sekadar melintas lalu pergi menyisakan rasa dingin.
Sama persis seperti sang senja. Ia hadir dengan sejuta pesonanya nan indah, pun memukau. Lantas, ia pergi dan menjelma menjadi gelap-gulita bersama malam.
Ya, aku tahu. Senja datang hanya sekilas meskipun dengan auranya nan bertaburan warna. Indah dan memesona. Tapi, mungkin Allah menakdirkannya seperti itu.
Senja tercipta untuk menyambut malam yang kelam dengan sejuta rona yang bertebaran di kaki langit. Tapi, entah mengapa aku begitu menyukainya.
"Aku adalah sang pecandu senja. Yang merasa bahagia saat magenta merupa. Dan, aku bersyukur saat aku masih bisa melihat keindahannya dengan kedua bola mataku. Sungguh itu adalah nikmat yang tak terkira dari-Nya," batinku.
Aku sungguh-sungguh bersyukur pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Allah masih mengizinkanku 'tuk melihat betapa indah dan agungnya ciptaan-Nya. Dan, kesenyapanku ini bukanlah sekadar kesenyapan semata, yang sia-sia dan tak berarti apa-apa. Namun, jauh di lubuk hatiku... aku bertasbih memuji kemahabesaran-Nya. Dan, aku bertafakur dalam diam. Dalam naungan syukur yang tak terperi.
Dalam balutan sakinah dan bahagia bersama hati yang sepi. "Tapi, sungguh tak apa-apa. Kutahu... aku tak sendiri. Allah ada untukku dan menemaniku. Maa fii qalbii ghairullah." Kuseka air mata yang masih memburai dan membasahi pipiku. Lantas, aku mengambil scrapbook dan pena yang kutaruh di atas meja. Scrapbook itu adalah buku catatan harianku, diary-ku.
Dear Akhii,
(Rahasia Ilahi)
Dariku yang terpenjara sepi
Tak apa-apa jika hatiku tak bertuan
Tak apa-apa jika aku ditelan kehampaan yang menyakitkan
Aku... akan terus berjalan, bertahan
Mengelana 'tuk menggapai impian
Duhai, aku ada di sini...
Kunanti dirimu di pelataran dermaga penantian
Aku di sini bersama rindu yang datang bergantian
Dan, kutunggu dirimu dalam balutan sendu yang tak tertahankan
Sebab, kita tak kunjung bersua dalam temu
Dan, aku kian dipeluk rindu yang membelenggu
Duhai kamu yang entah di mana...
Aku terhanyut di sungai keseduan
Aku terdampar di pulau tegar yang paling terpencil
Hingga asaku menggigil
Namun, kupinta pada-Nya...
Kokohkanlah benteng tabahku
Kuatkanlah karang sabarku
'Tuk menantimu di atas bahtera pilu
'Tuk menunggumu tanpa ragu
Setelah kutuliskan rentetan kata-kata yang melarung dalam hatiku dan kini merupa menjadi sebuah puisi, kusimpan lagi diary-ku di atas meja yang berada di samping ayunan yang sedari tadi kududuki.
Kemudian, ponselku berdering tiba-tiba dengan sebuah lagu berjudul 'Laskar Pelangi' yang dinyanyikan oleh grup band Nidji. Aku sangat suka lagu itu, karena liriknya begitu menginspirasi dan membangkitkan semangatku lagi 'tuk meraih mimpi. To chase my dream. To hug my dream.
"Assalamu'alaikum? Lea...," ucap seseorang di seberang sana.
Aku terkesiap selama beberapa detik. Aku mengenal suaranya. Bukan hanya sekadar mengenal saja, tapi lebih dari itu. I know his voice.
Aku masih tak percaya dengan apa yang kudengar saat ini. Entah mengapa hari ini aku mendapatkan banyak kejutan dari Tuhan. Dan, malam ini aku benar-benar terkejut dengan kejutan itu.
"Lea?"
"Emmmh, iya, wa'alaikumussalam warohmatulloh." Aku pun tersadar dari lamunanku. Aku masih menatap nanar ke arah lampu yang berpijar di ujung jalan sana.
"Apa kabar, Lea sahabatku?"
Sahabat? Ya, yang sedang menelponku adalah Adam Ahmad Fauzan, sahabat kecilku. Lea adalah panggilan khususnya untukku. Dan, ini adalah kali pertama ia mengabariku setelah perpisahan di masa SMA.
Entah apa yang terjadi padanya, aku pun tak tahu. Padahal aku sudah mencari tahu tentangnya, tapi nihil. Ia bagai hilang ditelan bumi. Dan, sejak saat itu hari-hariku terasa sepi dan hampa. Tapi, aku sadar bahwa aku harus tetap berjalan meskipun tanpanya. Life must go on, with or without him.
Perpisahan telah menyekatku dan dirinya. Benteng bernama jarak pun membentang sejauh-jauhnya. Dan menara hampaku kian menjulang saja, hingga mencakar langit.
Ah! Aku tak tahu apa yang terjadi dengan diriku dan dirinya. Yang pasti... ada bulir-bulir rindu yang kian menumpuk di sudut-sudut hatiku. Dan, rindu itu ada untuknya.
"Dia datang lagi padaku setelah pergi tanpa pamit. Dia kembali lagi setelah menyisakan sejuta tanya dalam benakku." Aku membatin lagi. Hatiku masih dihinggapi ribuan tanya yang entah apa jawabnya. Tapi, di sisi lain aku merasa bahagia karena aku bisa mendengar suaranya lagi.
"Kabar baik, alhamdulillah. Kalo loe gimana?" jawabku setelah bungkam selama beberapa jenak.
Ya. Adam dan aku memang biasa memakai kata 'loe-gue' kalau sedang ngobrol, apa pun topiknya. Adam sangat komunikatif, atraktif dan ekspresif dalam berinteraksi. Pantas saja jika aku nyaman berbincang-bincang dan curhat padanya. Tak jarang aku pun sering ketiduran malam-malam saat ditelpon olehnya.
Entah kenapa begitu banyak topik pembicaraan saat aku berbicara dengannya. Apalagi kalau bertemu langsung. Adam memang intelektual sekali dan rajin membaca juga. That's why, ia berwawasan luas dan pandai sekali mengungkapkan pendapatnya.
"Alhamdulillah, gue juga baik-baik kok di sini."
"Di sini? Emangnya loe lagi di mana, Dam?" tanyaku dalam hati. Entah mengapa lidahku menjadi kelu dan aku jadi sulit untuk bicara. Bibirku serasa dilem rapat-rapat, padahal tidak. Dan, kusimpan pertanyaanku itu ke dalam memoriku. Mungkin, suatu saat aku akan berani untuk mengungkapkannya langsung pada Adam. Atau ia sendiri yang akan menceritakannya langsung kepadaku. Someday.
Hening.
Aku tak merespons apa-apa. Padahal, aku ingin sekali untuk bilang, "Syukurlah kalo loe baik-baik aja" pada Adam.
"Eh! Rumah loe gak pindah kan?"
Aku menahan tawa seraya membekap mulutku sendiri. Adam ini ada-ada saja. Ia memang humoris dan berjiwa pelawak. Aku pun sering dibuat tertawa sampai terpingkal-pingkal oleh lelucon ataupun ceritanya. Tapi, itu dulu saat masa-masa indah di putih abu-abu.
"Ya, kagak lah, Dam. Emangnya rumah gue bisa lari ama jalan-jalan apa? Ya, nggak atuh... Rumah gue masih di tempatnya. Loe inget kan alamatnya?" ucapku.
Aku mulai terbiasa ngobrol lagi dengannya. Dan, aku sedikit menyingkirkan lukaku yang masih menganga dan belum sepenuhnya kering. Karena, bagaimanapun juga aku harus mulai terbiasa dengan lukaku. Jika tidak... aku pasti akan ditelan oleh perihnya durja yang berkepanjangan. Dan, aku tak mau hal itu terjadi.
Aku tak ingin Allah murka padaku jika aku terlalu terpuruk dalam kesedihanku. Aku tak ingin terus begini. Terus dipasung oleh perasaan yang tak seharusnya sedalam dan seberlebihan ini.
Ia itu fana. Aku pun fana. Dan, cinta yang kini kurasakan padanya adalah cinta yang fana pula. Aku tak mau terlena pada keindahannya. Aku tak mau...
Maka, lebih baik begini saja. Aku akan belajar 'tuk berdamai dengan hatiku. Hingga kubiarkan hatiku menghening. Dan, kuikhlaskan hatiku yang telanjur terluka oleh ulahku sendiri. Yang mencintainya tanpa batas tepi.
"Besok gue main ya ke rumah loe. Boleh kan? Sekalian silaturahmi."
"Iya, boleh kok boleh. Ettt! Tapi, jangan ngabisin makanan yang ada di kulkas gue, ya? Awas loe, Dam!" ancamku seraya tertawa kecil.
"Sudah terlalu lama aku begini. Ya, begini dan tak perlu kujelaskan sekarang... Sampai aku jadi jarang mendengar gelak tawanya lagi. Maaf, Lea...," batin Adam berkata lirih.
"Pelit banget sih loe. Tapi, ya udahlah gapapa. See you tomorrow, Lea...." Itulah kalimat penutup dari pembicaraan antara aku dan Adam malam itu. Lantas, aku masuk ke dalam rumah.
"Mungkin... lebih baik pertanyaan itu kukubur saja dulu dalam hati. Biar saja aku yang terus bertanya-tanya dan kau yang kelak akan menguak jawabannya." Kuempaskan tubuhku ke atas kasurku nan empuk. Kutatap langit-langit kamarku yang dihiasi hiasan bintang-gemintang dan bulan sabit. Aku terhenyak dalam renungan.
Bahwa; tak setiap tanya harus dijawab saat itu juga.
Kadangkala kita harus menunggu dulu 'tuk temukan jawabannya. Kendatipun perlu waktu yang cukup lama, tapi kupercaya bahwa setiap pertanyaan yang kuajukan pada Allah pasti ada jawabannya. Dan, aku akan menantinya bersama hatiku yang tengah mengembara 'tuk belajar apa makna sabar dan ikhlas yang sebenarnya.
"Bismillahirrahmanirrahim... Beri aku kekuatan dan kesabaran, Ya Allah. Aku akan belajar untuk lebih dekat dengan-Mu. Dan, aku akan mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan ujian dan kejutan."
Misteri.
Hidup ini laksana misteri yang sulit untuk dipecahkan. Akan butuh waktu yang panjang 'tuk menguaknya sampai tuntas. Maka, baiknya aku begini. Tetap menanti walau badai menghampiri. Tetap berdiri walau tak ada dirimu di sini.
Perihal teka-teki kehidupan yang terkadang tak terjangkau oleh nalarku, biar saja Allah yang akan membuka tabir itu untukku. Dan, perihal teka-teki rasa yang mengharuskanku berada di petala penantian paling tinggi, biar saja waktu yang akan menjawab semua tanyaku. Ini hanya soal waktu. Allah Yang Maha Pemilik Rencana, dan Allah pula lah yang kan menunjukkan takdir-Nya untukku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jomblo Until Akad #KyFa (REPOST)
SpiritualeSudah terbit. Ini hanya cuplikannya saja. 😉 Pesan sekarang juga untuk baca novel "Jomblo until Akad" 🥳🥳 DM @awanteduh23 yaaa