3

1.7K 129 4
                                    

Seulgi membiarkan televisi di depannya meracau sendirian. Kepalanya menoleh pada jendela besar, menampakkan cakrawala gelap berhiaskan titik-titik bintang. Fokusnya terkunci pada satu pusat, menerawang langit bebas bersama pikirannya.

Ya, dia sedang memikirkan sosok Park Jimin.

Otaknya mengulas kilas balik tatapan lembut Jimin yang sewaktu-waktu dapat meluluhkan hati dan melelehkan kakinya. Apalagi, beberapa jam yang lalu sebelum pergantian tahun, lelaki yang lebih muda darinya tersebut menatapnya penuh perhatian.

Bagi Kang Seulgi, Jimin yang cerewet akan kondisinya tadi begitu menggemaskanㅡinilah alasannya mengapa ia menyukai pria imut. Masih tergambar jelas di kepalanya, bagaimana hebohnya Jimin meramaikan ponselnya dengan notifikasi beruntun. Menanyakan hal yang serupa.

"Bear, lu gapapa kan?"

"Pilek lu kambuh kaga pas di waiting room?"

"Lu kenapa ga protes aja sih sama stylist-nya? Udah tau udara dingin, lu kan punya penyakit pilek parah. Syukur di stage lu ga bersin-bersin. Ga kebayang gua sambil nari lu bersin lima kali berturut-turut."

"Staffnya juga kenapa biarin girlgrup nampil outdoor. Ga ada perhatiannya banget sih, ini musim dingin lho. Kalo misalnya nampil outdoor, ingetin stylist-nya kek buat kostum itu coba disesuaikan sama cuaca."

"Abis dari stage lu minum yang anget-anget kan? Jangan lupa lu langsung istirahat."

"Ih, gua gapapa loh, Jim. Cerewet banget sih, kaya ibu-ibu komplek aja dah."

"Apanya yang gapapa, Seul? Jelas-jelas gua liat lu gemeteran. Apa ga panik gua?"

"Park Jimin, gua serius gapapa. Ini lagi minum teh anget, lagi diungkep sama dua mantel juga. Udah, lu istirahat aja sana. Nanti lu sakit, malah balik keadaannya gua yang repot ngurusin elu."

"Serius nih gapapa?"

"Iya Jim, astagooong."

"Yauda, ntar kalo ada apa-apa chat aja gua, oke?"

"Aye, sir!"

Mau tidak mau, Seulgi harus menenangkan kekasihnya dengan berlagak seolah-olah dia baik-baik saja meskipun nyatanya yang dikhawatirkan Jimin benar-benar terjadi. Bahkan, sampai sekarang Seulgi masih bersin-bersin basahㅡwalaupun sudah tidak beruntun lagi.

Seulgi kembali membaca chat-nya dengan Jimin beberapa menit yang lalu. Satu senyuman mekar lebar terukir di wajah cantiknya. "Apaan sih, Jim. Ngegemesin tau ngga?"

Seungwan menghampiri Seulgi yang tengah selonjoran di sofa, sambil menenteng semangkuk sayuran. "Lah, belum tidur, beruang?"

"Belum ngantuk gua," jawab Seulgi, tangan rampingnya merampas mangkuk Seungwan. "Tau aja gua lagi laper, bagi dong."

Baru melahap dua lembar selada, Seungwan menarik mangkuknya kembali. "Yee, lu buat sendiri dong. Btw, tidur gih. Gua gamau diteror sama pacar lu kalo lu ketauan ga istirahat."

Kedua tangan Seulgi kini terlipat di depan dada, mengubah posisinya untuk membiarkan Seungwan duduk di sebelah perempuan itu. "Gua uda tidur tadi di mobil."

"Lagian parah banget si Jimin ngeliatin lu. Sampe gua bisa notis tatapannya," komentar Seungwan, lalu menyuapkan sepotong tomat ceri ke dalam mulutnya.

"Tau tuh, udah gua bilangin sebelum acara mulai. Masih aja ngebandel," omel Seulgi, kemudian memainkan ujung sweater taro kebesaran yang dikenakannya. "Tapi ya, gua suka sih."

Seungwan menyolek bahu Seulgi dan menerjangnya dengan tatapan jahil. "Gaya lu sok-sokan nolak, bukan tsundere juga lu."

"Aduh, Wen. Kayanya lu hobi banget ya gangguin gue," komplain Seulgi.

"Tumben lu tatap balik, biasanya lu biarin aja doi ngelirik lu."

"Terpaksa, Wen. Kalo kaga begitu mah ketagihan dia. Bayangin aja dia ada natap gue setengah menit, berulang kali. Yauda pake telepati ae gua sama dia, makanya gua tatap balik. Bilangin dia, 'bego jangan liat-liat gua ntar ketauan' gitu," jelas Seulgi panjang lebarㅡ

ㅡpadahal sebenernya sinyal yang dikirim Seulgi adalah 'gua gapapa kok, Jim' sambil senyum kaku.

Perempuan bermarga Son itu hanya manggut-manggut sambil menunjukkan senyuman jahil maklum. Tau deh, temennya lagi backstreet, tapi dalam hati ingin meringis kapan dia bisa backstreet.

Yaelah.

"Eh, gua ke kamar duluan ya. Jangan lama-lama, Son Wendy. Buruan lu tidur."

Ponsel Seulgi bergetar. Pada layar ponselnya muncul foto profil akun line Jimin yang hendak melakukan panggilan video. Sedetik setelah menutup pintu kamar dorm-nya, di saat itu juga senyumnya merekah sumringah. Perempuan itu mengambil headset di nakas dekat tempat tidur lalu memakainya. Sembari duduk Seulgi mengangkat vidcall dari kekasihnya itu.

"Kok belum tidur?" Jimin di seberang sana berbicara sedikit berbisik, tidak ingin mengganggu yang lain istirahat.

"Seharusnya gua nanya begitu, Jim. Lu ngapa belum tidur?"

"Hadeh, gimana gua mau tidur, masih kepikiran elu nih gua." Jimin mengeluh, potret lelaki itu memajukan sedikit bibirnya terlukiskan di layar ponsel Seulgi. Seulgi meresponsnya dengan tawa pelan.

"Ya ampun, Park Jimin. Gua uda sehat nih. Liat, gua baik-baik aja kan? Liat nih, liat." Seulgi mendekatkan kamera ke wajahnya, memindai setiap bagian wajahnya sebagai bukti kalau dia benar-benar baik-baik saja.

Untung saja bersinnya tidak kambuh sekarang. Dalam hati Seulgi mengucap syukur. Kalau bersin sekarang yang ada Jimin bisa mengomel lagi.

"Jangan gitu, Seul," sergah Jimin, membuat Seulgi memberhentikan kegiatannya. "Jangan dideketin gitu ntar gua makin kangen sama lu, makin pengen jumpa."

Seulgi memutar bola matanya bosan. "Halah, bisa aja kerdusnya. Perasaan baru aja jumpa tadi di MBC."

Sebenarnya, diperlakukan seperti itu saja sudah membuat hati Seulgi jungkir balik seperti roller coaster.

Jimin melepas tawanyaㅡtapi masih bisa ditahan agar tidak mengeluarkan suara membahanaㅡketika melihat reaksi Seulgi. "Iya-iya. Tidur sana, gua nge-vidcall elu cuma mau mastiin keadaan lu aja. Ya, sekalian sih, gua kangen."

"Gua uda tidur tadi di mobil. Nih lagi ga bisa tidur," sahut Seulgi.

"Apa perlu gua ke sana buat tidurin elu, Kang Seulgi?"

Mata sipit Seulgi melebar, disusul dengan wajahnya yang mulai merah memanas. "Ya, Park Jimin!"

Lelaki yang notabene lead dancer di grupnya itu kembali tertawa. "Maksud gua itu, gua nyanyiin elu, Seul. Mikirin apa sih?"

"Au ah, Jim. Kesel guaaaa," balas Seulgi salah tingkah. Jimin makin memperpanjang tawanya, membuat kedua matanya jadi terlihat lebih sipit.

"Ketawa aja teros, Sipit."

"Mirror, pleaseu."

Sepertinya, niat awal Jimin hanya untuk mengecek keadaan Seulgi berubah haluan karena percakapan-percakapan tentang hal kecil apapun yang mampu membangun suasana positif di antara mereka. Well, Jimin tidak keberatan sebenarnya, selama bisa melihat Seulgi, dengar tawa renyah Seulgi, dan berbicara dengannya sudah cukup untuk saat ini.

Meskipun wacana untuk bertemu selalu ada dan tidak absen diangkat di tengah-tengah konversasi mereka, pada akhirnya hal yang terbaik untuk keduanya adalah menikmati perjalanan hubungan mereka yang seperti iniㅡbagaikan pasangan yang dipisahkan oleh jarak ribuan mil, padahal sesungguhnya mereka memijak kota yang sama.

ㅡthe end.









Selesai zudaah! Sampai jumpa di work berikutnya;)

Khawatir | pjm×ksgTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang