M #6

5.6K 575 31
                                    

Ada beberapa hal yang bikin gue muak.

Pertama orang munafik, kedua orang yang mengusik ketenangan gue.

Seperti hari ini, ada sekumpulan orang munafik yang memuji nilai gue. Tapi, gue tau kok kalau di dalam hati mereka, mereka nyumpah serapahin gue. Udah biasa.

Kan manusia emang seperti itu.

Jika ada yang mendapatkan keberuntungan mereka akan memujinya setinggi langit sampai orang itu lupa segalanya. Lalu jika mendapat kesialan mereka akan menggunjingnya sampai mereka tidak tau benar atau tidak mengenai apa yang mereka gunjingkan.

Gue cuma mengucapkan satu kata terimakasih. Dan selesai.

Gue sibuk dengan dunia gue lagi.

"Gue tadi papasan sama anak baru itu. Ganteng banget!" seru Mina menarik perhatian kelas, tentu bukan gue.

"Kakak kelas yang itu, pindahan dari Korea kan?" sahut Wendy

"Iya. Gila, diliat dari jauh aja dia udah keliatan gantengnya apalagi dari deket!" suara Yeri terdengar antusias.

Setelah itu gue gak dengerin apa yang mereka bicarain.

Ngomong-ngomong tentang korea, wajah Sehun sepertinya keturunan asli Korea. Dia juga ganteng kan. hah, yang satu ini emang gue akuin kalo dia ganteng banget malah.

Apa mungkin yang mereka bicarain itu Sehun ya?

Emm

Tapi emangnya gue peduli.





Seperti biasa, waktu istirahat gue habisin perpustakaan sekolah. Tempat paling tenang setelah danau yang biasa gue datangin.

Pengunjungnya hanya itu-itu saja. You know lah. Rata-rata yang ada di perpus itu cuma murid yang menghiasi peringkat sekolah. yang lain paling anak-anak yang suka baca novel.

Gue berjalan diantara rak tinggi buku sejarah. Letaknya rada pojok dan terpencil, itu mungkin jadi alasan orang malas ke sini.

Padahal di sini bukunya bagus semua.

Entahlah. Malas mikir.

Mata gue menyepit melihat seonggok mahluk hidup tidur bersandar di ujung rak.

Cih.

Bocah ini.

Gue dengan santai menginjak kaki yang berbalut sepatu kets hitam yang menghasilkan pekikan dari empu pemilik kaki.

"Aww.."

Suaranya rada kencang, tapi, untung sekarang gue berada di pojok jadi tidak ada yang memperhatikan.

Si pemilik kaki melotot ke arah gue, "Lo!" geramnya marah.

Gue meleletkan lidah tak menanggapinya.

Gue denger dia berdecih dan mengutuk gue.

"Cewek barbar!"

"Biarin. Dasar playboy cap teri!" gue ganti ejek dia.

Gue denger dia berdiri dan mendekat ke arah gue.

"Apa lo bilang hmm?" Dia menarik rambut gue. Langsung gue hadiahin tendangan pada kakinya.

"Sial! Caroline!"

Gue cuma mendengus geli mendengar dia mengutuk.

"Lo cewek terberani yang gue kenal."

"Terus gue harus bangga gitu?"

Gue merasakan tarikan pada rambut gue lagi. Kali ini rada kenceng.

"Ya! Sakit item!" gue mengibaskan tangannya.

"Rasain." Ganti dia yang mendengus geli.

Lalu hening diantara kami berdua.

"Heh cewek barbar!" panggilnya dengan nama panggilan itu.

"Lo gak papa?" tanya dia dengan nada lirih.

Gue tertegun.

"Gue cewek kuat, item." Hanya itu yang keluar dari mulut gue.

"Keh harusnya gue gak tanya. Nyesel gue. Lo kan cewek barbar."

"Tapi, luka dua hari yang lalu itu.."

"Kai.." gue potong ucapannya. Gue benci dikasihani. "Cukup."

Kai mengangkat tangannya. Tanda tak melanjutkan.

"Urusan gue, biar jadi urusan gue. Jangan melibatkan diri."

Kai natap gue sejenak, lalu mengalihkan perhatian pada rak di depannya. "Oke."

Lalu tidak ada percakapan di antara kami berdua.

Kai. Dia berandalan di sekolah. Dia anak yang ditakuti dan disegani. Dia kakak kelas gue. Sifatnya suka seenaknya dan tidak pandang bulu dalam hal membully murid di sekolah. Dia anak salah satu penyandang dana sekolah, jadi orang sedikit segan dengannya.

Entah bagaimana gue sama dia bisa ngobrol kayak gitu. Santai seperti teman lama. Harusnya gue itu udah jadi bulan-bulanannya Kai. Tapi, itu tidak terjadi.

Gue juga gak tau apa yang ada di otak Kai, sehingga membiarkan kelakuan gue yang semena-mena kayak gitu.

Dia mungkin gila.

Awal pertama bertemu di tempat sama seperti saat ini. Waktu itu dia juga duduk bersandar di ujung rak tapi dalam keadaan lebam tak karuan.

Gue yang gak kenal dia. Cuma ngernyit sambil melempar plaster luka ke arahnya. Kalo inget ekspresinya Kai waktu itu gue rada takut.

Dia natap gue seakan mau bunuh gue.

Tapi setelah mendengar nada tak acuh gue dia terdiam mandang gue aneh.

"Muka lo jelek, jadi tambah jelek. Tuh buat nutupin wajah jelek lo."

Mungkin cuma gue yang berani hina dia dengan wajah datar tanpa takut.

Setelah hari itu, gue jadi sering ketemu Kai di perpus dan jadi tau kalo dia berandal sekolah yang suka cari gara-gara.

Tapi, di depan gue dia itu kayak bocah gila kurang kerjaan yang suka sekali ngisengin gue.


Mine (Sehun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang