Filantropi

1.9K 78 44
                                    

11 April, di Bali.

Sudah tiga bulan kejadian itu berlalu, namun tetap saja aku masih belum bisa melakukannya. Bayangan Vindra selalu menghantuiku. Ditambah lagi dengan gelang yang ku kenakan, selalu menguatkan ingatanku tentangnya. Pernah sekali aku melepaskannya dari pergelangan tanganku, namun keesokan harinya ku kenakan lagi gelang itu. Aku merasakan kekosongan di hati jika gelang itu tidak ku kenakan. Terdengar berlebihan dan lebay, tapi ya memang seperti itu yang ku rasakan.

Aku sudah kembali ke Bali, dan kalian harus tahu aku sudah resign dari pekerjaanku yang dulu. Ayah mertuaku sudah menyerahkannya kepada anak buahku yang menurutnya bagus untuk memegang perusahaan. Tadinya perusahaan di Bali akan digantikan oleh Bang Satria. Namun ia menolaknya dengan alasan sudah nyaman tinggal di Amerika.

Aku cukup bahagia bisa resign dari pekerjaanu yang dulu. Rasanya seperti tidak terbayang-bayang lagi oleh keluarga Vika. Aku sudah terbebas dari mereka. Ada rasa senang, ada juga rasa sedih. Aku merasa sedih karena kini aku harus tinggal sendirian di Bali. Tidak ada tangisan Radea atau suara tawanya yang lucu. Rumahku terasa lebih sepi kali ini.

Hari ini tak ada jadwal pemotretan sama sekali. Aku memilih lima hari untuk berdiam diri di rumah. Pagi-pagi sekali aku terbangun dengan semangat yang menggebu. Ku awali hari dengan berolahraga di sekitaran rumahku. Berjoging sambil menghirup udara segar Bali. Selepas berjoging, aku kembali kembali ke rumah dan berenang di halaman belakang rumahku. Sudah lama aku tidak berenang di rumahku sendiri, saat itulah aku mendengar ponselku berbunyi. Ada sebuah panggilan masuk untukku. Aku segera naik dari kolam renang, mengeringkan tubuhku dengan handuk lalu mengenakan baju handukku yang berwarna putih.

"Halo"

"Kak Andre ini Tisya. Kak, maaf sebelumnya Tisya gak ngabarin kakak dulu. Tisya sekarang udah ada di depan gerbang rumah. Gak bisa masuk karena satpamnya gak ngijinin."

"Ah? Kamu ke Bali? Sekarang ada di depan rumah?"

"Iya kak, maaf ya Tisya gak ngasih kabar kakak dulu. Abisnya ngedadak. Mas Vindra punya waktu libur empat hari jadinya Tisya manfaatin buat liburan ke Bali juga sekalian nyari lokasi buat pernikahan Tisya nanti. Kak Andre suruh satpamnya bukain gerbang dong"

Tisya bicara ia berlibur bersama Vindra? Jadi sekarang Vindra juga ada di depan sana hendak masuk ke rumahku? Astaga hatiku tiba-tiba berdebar dengan cepat.

"Eeehh.. ya udah, bilang ke pak Aryadi bukain gerbangnya."

" Tuh pak, dengerin kata kakak ipar saya. Buka gerbangnya" kata Tisya berbicara pada satpam penjaga rumahku.

"Makasih ya kak" lanjutnya lagi lalu ia menutup line telepon

Mengetahui ia sudah memasuki rumahku, aku segera pergi ke beranda rumah. Masih menggunakan handuk bajuku karena tanggung. Ketika ku buka pintu, aku melihat mobil berwarna hitam memasuki garasi rumah. Mobl itu terparkir tepat di samping mobilku. Sesaat kemudian Tisya keluar dari mobilnya lalu melambaikan tangannya kepadaku. Aku juag melihat Vindra keluar dari mobil. Mengenakan kemeja hitam panjang yang digulung hingga siku. Kancingya terbuka dua, memperlihatkan dadanya yang mulus. Di tengah-tengah kancing yang terbuka ia gantungkan kaca mata hitamnya. Vindra terlihat lebih rapi. Rambutnya dipotong dengan gaya klasik. Ada belahan rambut di sisi kanan kepalanya. Vindra memandangku sambil berjalan membawa dua tas di tangannya.

Tisya memelukku, dan kupeluk kembali dia. Vindra menyimpan kedua tas nya di lantai lalu menyalamiku. Tangannya lembut, sama seperti dulu.

"Kamu ko gak ngasih kabar sih. Kalau ngasih kabar kan kakak bisa siapkan sesuatu buat kamu"

"Abisnya ngedadak sih. Kebetulan aja mas Vindra lagi libur. Jadi ya cepet-cepet kesini sekalian mau nyari lokasi buat pernikahan kita nanti" jelasnya padaku.

BRANTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang