Niall adalah satu-satunya orang yang bisa memakan es krim dengan cone sambil menyetir, yang diketahui Tia. Ia sudah menghabiskan es krimnya sesampainya mereka di depan gedung apartemen Tia.
"Sepertinya aku tidak akan mampir."
"Kenapa?"
"Aku ingin istirahat di rumah saja, kau juga sebaiknya begitu."
Tia turun dan menutup pintu mobil. Ia berbalik dan Niall menurunkan jendela mobilnya. "Kau yakin tidak mau mampir?"
Niall menggeleng. "Lain kali saja, lagipula kau butuh istirahat. Besok latihan lagi kan?"
"Baiklah kalau begitu," balas Tia. "Jangan mencariku karena aku akan tidur cepat malam ini."
Senyum tersungging dari bibir Niall. Ia mengangguk pelan. "Sampai nanti!"
Tia melambaikan tangan dan masuk ke apartemen setelah mobil Niall berbelok di ujung jalan. Hari ini cukup menguras tenaganya dan besok kelihatannya akan menjadi hari yang sama. Sama-sama melelahkan. Semuanya akan berarti sampai hari audisi nanti.
Tia meletakkan tas berisi perlengkapan tarinya di atas sofa. Ia melepaskan ikat rambutnya dan bergegas untuk ke kamar mandi. Ia memutuskan untuk mandi air hangat agar meringankan sedikit bahunya yang terasa pegal.
Saat mandi ia hanya memikirkan seberapa sering latihan yang seharusnya ia lakukan untuk mendapatkan peran utama. Mungkin ia harus menambah jam latihannya, seperti orang lembur di kantoran. Bedanya, Tia lembur di sanggar tarinya.
Tia memang benar-benar menginginkan peran itu. Ayah dan ibunya akan datang menonton pertunjukkannya bila ia mendapatkan peran tersebut. Kedengarannya seperti ayah dan ibunya yang berharap namun sebenarnya Tia sendiri yang meminta mereka untuk datang bila ia mendapatkan peran utama.
Gadis berambut coklat tua itu menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur seusai mengganti pakaiannya. Ia memutuskan untuk tidak makan malam hari ini. Perutnya masih terasa penuh karena burger dan gelato dari Niall.
Teringat hal itu, Tia melirik ke ponsel yang berada di samping kepalanya. Apa yang dilakukan Niall sekarang? Mungkin menelepon Barbara?
Sedetik kemudian muncul pesan singkat dari Niall. Pria itu mengatakan ia butuh teman bicara. Seperti biasa, Tia menerima dengan sukarela. Niall adalah teman baiknya dan Tia rasa tidak ada alasan untuk menolak permintaan itu.
"Hai." ujar Niall di ujung ponselnya.
"Hai," jawab Tia sambil tersenyum tanpa sadar. "Ada apa?"
Niall berdecak gusar. "Tadi Barbara meneleponku."
Senyum dari bibir Tia menghilang perlahan. "Lalu?"
"Dia ingin bertemu denganku katanya." kata Niall sedikit bersemangat namun ada keraguan terdengar dari cara bicaranya.
"Kau yakin mau bertemu dengannya?"
Niall diam sebentar lalu menjawab, "Aku belum mengatakan iya."
"Kau ingat kan kau sendiri yang memintaku untuk membantumu melupakan Barbara?" Tia mendesah sebal. Ia tidak mengerti kenapa Niall mudah sekali mengurangi pertahanannya setiap kali Barbara menghubunginya.
"Lalu menurutmu bagaimana?" Niall terdengar bingung dan sedikit... memohon?
Tia mengerutkan alisnya. "Tentu saja kau tahu jawabanku, Niall. Jangan pura-pura tidak tahu."
Niall menghela napas panjang. "Bagaimana kalau dia memang benar-benar ingin menemuiku?"
"Tidak, tidak, dan tidak," Tia langsung bangun dan duduk di atas tempat tidurnya. "Kau mau didatangi, lalu ditinggal lagi? Seperti kemarin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
stardust (n.h)
Fanfiction((a spin-off from The Lucky One)) all she think about is how to help him and see him smiling widely. all he think about is the sparkling stardust that always fall every time she impress him. (((written in bahasa indonesia)))