Menurut jam yang melingkar ditangan kananku, keberangkatan kereta dengan tujuan Jakarta sekitar empatpuluh menit mendatang dan sialnya jam kuatur lebih cepat limabelas menit, jadi totalnya limapuluhlima menit. Aku menoleh ke kanan dan kiri, memperhatikan orang yang berlalu lalang. Duduk sendiri dengan koper besar disebelahnya, aku seperti anak hilang yang sengaja ditinggalkan.
Ini semua karena Mbah-Mbahku yang harus pergi ke acara resepsi cucu salah satu teman mereka dan aku tidak mungkin ikut karena aku harus pulang, tapi menunggu di rumah mereka yang kolot juga bukan pilihan yang bagus.
Bangunannya peninggalan Belanda dan Mbah Nang bilang rumah itu sudah turun temurun. Sesuatu yang berhubungan dengan peninggalan belanda menurutku terkesan mistis, jadi aku tidak berani ditinggal sendiri disana meski untuk satu jam. Lebih baik aku disini, setidaknya disini ramai dan aku tidak sendiri walau secara harfiah aku memang sendirian.
Tentang ramai, malam ini Stasiun memang benar-benar ramai mengingat lusa sudah tidak libur lagi. Aku belum rela harus kembali sekolah secepat ini, sebab semester yang sudah menanti diisi dengan persiapan-persiapan ujian, belum lagi ujian masuk perguruan tinggi. Huft, bahkan aku belum memutuskan jurusan apa yang akan diambil.
Rasa bosanku sedikit hilang ketika pandanganku jatuh pada seorang pria berwajah tampan, untuk sesaat aku merasa terpana. Bukan hanya tampan, ia juga tampak berwibawa, sepertinya dia seorang Mahasiswa.
Didekat pilar, pria itu mengeluarkan ponsel dan tak lama kemudian ia menempelkan benda pipih itu ketelinga kanannya. Jiwa mengupingku langsung keluar dengan memerintahkan telinga untuk siaga.
Dari hasil menguping—walau samar-samar—aku bisa menyimpulkan bahwa ia akan menunggu temannya. Mataku langsung berbinar ketika memikirkan kemungkinan laki-laki itu akan duduk di sebelahku mengingat itu posisi paling dekat dari tempat pilar ia berdiri, karena pemikiran itu aku langsung membenarkan posisi duduk—menjadi lebih anggun tentu saja—dan merapikan poni rambut walau hasilnya sama saja.
Ekor mataku terus mengikuti pria-mahasiswa itu sampai ketika ia melewatiku dan masuk ke area executive lounge. Mataku berkedip-kedip dengan cepat, hatiku sedikit berdenyut nyeri—bukan, bukan karena aku tidak jadi duduk bersebelahan dengan pria-mahasiswa itu, tapi ia mengingatkanku tentang executive lounge yang tidak bisa aku masuki.
Uangku tidak cukup untuk menunggu di ruang eksklusif itu. Salahkan mamah yang menitip wingko babat tanpa memberi uang lebih, orang yang paling berkuasa dirumah itu berjanji akan menggantinya ketika aku sudah pulang. Jadi, aku hanya bisa mengelus dada ketika melihat kenyamanan yang terlihat dari balik kaca.
Bola mataku rasanya hampir keluar ketika melihat jam, baru tiga menit berlalu. Disaat seperti ini saja waktu begitu lambat, tapi ketika aku bermain Plants vs. Zombie waktu begitu cepat.
Aku butuh sesuatu untuk mengabaikan waktu, cemilan sepertinya bisa. Tanganku mengambil dompet, isinya tinggal sepuluhribu rupiah—oh ada recehan juga. Karena tidak punya pilihan lain, aku menghitung recehan itu dan jumlahnya duapuluhribu tigaratus rupiah. Ini cukup untuk membeli sebungkus tacos dan sekaleng milo.
Aku langsung kebagian snack begitu sampai di Indomaret point yang untungnya lumayan sepi, kalau tidak aku harus menanggung malu karena membayar menggunakan uang receh.
Namun, sepertinya aku akan menanggung malu sebab didepan showcase cooler ada seorang laki-laki yang memakai topi baseball, Nicholas. Dengan modal sugesti 'kita tidak terlalu saling mengenal', aku berjalan dengan tenang, melewatinya dan mengambil milo dengan cepat. Aku tidak langsung ke kasir dan malah bersembunyi di rak paling jauh dari bagian cemilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
belum tidur
Teen Fictionbelum tidur bukan lembur bukan menunggu .hindia ... selamat membaca!