1

14 2 0
                                    

Pagi ini sangat cerah. Tidak ada tanda tanda awan gelap, apalagi hujan. Hari yang seharusnya dimulai dengan senyuman. Yah, itu yang seharusnya.

"Jackson! Dasar menyebalkan!"

Tetapi realita berkata sebaliknya. Teriakan menggema di koridor sekolah. Jeritan mengancam, suara benda terlempar, dan kegaduhan yang lainnya.

Bahkan sebelum bel masuk berdentang, si ketua OSIS itu telah membuatnya naik pitam. Ya, siapa lagi kalau bukan Jackson si anak kepala sekolah. Yang 'katanya' paling tampan seantero sekolah. Yang bahkan rumornya tante-tante perawan tua dengan makeup tebal dan lipstik di bibir dengan warna merah yang aduhai pun rela nunngu depan gerbang cuman buat lihat dia lewat. Sungguh lebay memang.

Oke, kejadian pagi ini memang salahnya. Ia memang terlambat. Tapi bukan terlambat sejam atau dua jam. Ia terlambat satu menit saja. Bayangkan! Satu menit saja! Tunggu sebentar. Biar ku cetak tebal. Satu menit saja, wahai saudara-saudara sekalian! Ia mungkin bisa berlapang dada jika saja guru piket yang menghukumnya. Atau diceramahi Pak Budi selaku satpam sekolah yang menjaga gerbang. Tapi kenapa Si Jackson anaknya Pak Anton itu harus turun tangan! Liat mukanya aja hasrat untuk menaboknya mulai muncul kepermukaan.

Dan disinilah ia, berakhir di belakang sekolah sambil menyapu dedaunan. Entah ia harus bersyukur karena bisa bebas dari hukuman lainnya karena ia tidak mengerjakan PR fisika dari Pak Rama, atau harus murka kepada tersangka yang memberinya hukuman.

"Dasar Jackson menyebalkan! Awas aja kalau sampe ketemu, gua bakal-"

"Bakalan apa, hmm?"

Jackson berdiri sambil bersandar. Tangannya bersedekap di depan dada.

"Raya, nyapu yang bener. Kalau nggak bersih nanti suaminya brewokan." ucap Jackson tenang.

"Mitos!" sentak Raya. Ia tidak mau membayangkan suaminya brewokan, lalu berbulu da-
Oke. Stop imajinasi absurdmu itu, Raya.

"Gua cuman terlambat satu menit, emangnya nggak ada keringanan, apa?" Raya menatap Jackson nelangsa. Berharap hatinya tergerak untuk membebaskan dia dari hukumannya.

"Nggak. Tetep aja terlambat. Sekalian sama hukuman kemarin." Raya mengangkat alisnya tinggi, kebingungan.

'Emang gua salah apa kemaren? Perasaan gua kagak nyari ribut sama dia, deh.'

"Jangan pura-pura amnesia. Emang lu kira gua nggak tau? Lu telat terus manjat pager belakang sekolah, kan?"

Raya terkesiap. 'Kok ni orang bisa tau?' Kira-kira begitulah yang dipikirkannya. Suatu kesimpulan terbentuk di kepalanya.

"Lu nguntit gua, ya? Ngaku!" tudingnya.

"Fitnah! Kurang kerjaan banget gua nguntit lu. Pak Karman yang kasih tau. Waktu itu dia lagi nyapu di sini." Raya meringis malu, tiba-tiba ia teringat sesuatu.

"Ngapain lu di sini? Ini kan masih jam pelajaran." Raya menyipitkan matanya.

"Mau masti'in lu nggak kabur. Ngerjain hukuman dengan semestinya." Seringai tercetak jelas dimukanya. Raya ingin melempar sepatu ke muka Jackson saat itu juga.

"Pergi gak?" Sapu diacungkan. Mata mengancam. Raya menatap Jackson garang.

"Ini juga mau pergi, santai." Jackson berbalik pergi, tetapi kembali berhenti lagi setelah beberapa langkah. Kembali menatap Raya.

"Yang bersih nyapunya, oke? Anggap aja latihan buat jadi istri yang baik. Gua nggak mau rumah gua jadi kotor."

Sepatu Raya melayang dengan indah.

Kisah Jackson: TutorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang