3

6 2 1
                                    

Raya meringis saat melihat kertas ulangannya. Angka empat puluh tiga terpampang jelas dengan tinta merah di sudut kanan atasnya. Sebenarnya ia tidak terlalu peduli dengan nilainya. Tapi semenjak ayahnya 'menciduk' kertas ulangannya dan mengeluarkan ultimatum jika Raya tidak bisa masuk minimal 15 besar dikelasnya, semua fasilitas seperti handphone, laptop, dan yang lainnya akan di tarik. Tidak hanya itu, uang jajannya pun ikut kena diskon.

"Muka lu kusut amat, yap," Lala memukul punggung Raya.

"Buset. Sakit, woy." Raya melotot.

"Waduh. Matanya tolong dikondisikan ya, mbak. Serem amat."

"Lu mukul nggak kira-kira. Trus, berhenti manggil gua Rayap. Nama Soraya tuh dah bagus-bagus, ya. Pemberian emak dan bapak gua tercinta," ucap Raya sambil mengibaskan rambutnya bak iklan shampo.

"Ngaco!" Lala duduk disamping Raya. "Kenapa muka lu lecek gitu, dah?"

"Bapak gue. Katanya kalau gua gak dapet rangking 15 di semester ini, gaji gua bakal di potong," ucap Raya sedih.

"Gaji apaan? Lu kerja aja kagak," sembur Lala.

"Gimana caranya gue bisa dapet nilai bagus, ya?"

"Ya belajar, lah. Lu kira minum air rebusan buku pelajaran bisa bikin lu langsung pinter?"

Raya berdecak sebal. "Bukan itu maksud gue."

Lala berpikir sebentar. "Oh, atau minta si Rijal atau Amel ngajarin lu aja. Kayak guru privat gitu. Mereka pinter, kan?"

"Tapi mereka kayaknya nggak bakal mau,deh."

Lala mengernyit heran, "Kenapa?"

"Mereka kayaknya masih dendam sama gua, gara-gara tali sepatu mereka gya ikat jadi satu waktu jam pulang kemaren." Lala menggeplak kepalanya.

"Lu iseng banget sih." Raya nyengir.

"Gua lagi gabut waktu itu. Kebetulan mereka lagi duduk berdua, gua isengin aja." Ia tertawa.

Lala menggelengkan kepalanya. "Dasar tukang rusuh."

.
.

.

Raya menggaruk-garukan kepalanya yang tidak gatal.

"Kayaknya gua emang gak cocok buat baca buku di perpus gini, deh." Ia mengacak rambutnya frustasi. Sudah dua jam semenjak bel pulang sekolah berbunyi Raya berada di perpustakaan. Bukan untuk tidur atau numpang free wifi seperti biasanya. Juga bukan karena kena hukum oleh Pak Rama yang karena bolos pelajaran. Sekali lagi bukan. Raya datang ke sini -mungkin untuk pertama kalinya- untuk belajar. Ya, belajar.

"Apa gua ikutin saran Lala aja kali, yak? Siapa tau Rijal atau Amel mau ngajarin gua privat. Kalau gini terus, uang jajan gua bakalan beneran kena diskon." Raya bertanya pada dirinya sendiri. Ia berpikir dan menimbang-nimbang keuntungan dan kerugian jika dia meminta Rijal atau Amel untuk mengajarinya.

"Gimana kalau gue yang ajarin?" Raya terkejut, menengok ke sebelah kanannya dengan cepat. Kembali di kejutkan oleh wajah Jackson yang terlalu dekat dengan wajahnya.

"Sejak kapan lu muncul di sini?" Ia memegangi dadanya yang berdetak kencang. Jangan salah paham dulu, ia cuman kaget. Bukan deg-degan seperti saat doi akhirnya nge-notice.

"Gimana tawaran gue?" Bukannya menjawab, Jackson malah bertanya.

"Dih, ogah gua diajarin sama lu," teriaknya. Selanjutnya, terdengar suara desisan diantara mereka, menyuruhnya untuk tidak berisik di perpustakaan.

"Daripada lu nggak masuk rangking 15 besar. Emangnya mau uang jajan lu kepotong?" tanya Jackson lagi.

"Fix, elo pasti stalker!" Raya berbisik, berusaha tidak mengundang perhatian.

"Suudzon! Bu Fatimah bilang seorang manusia itu tidak boleh berprasangka buruk kepada manusia lainnya." Jackson ikut berbicara sambil berbisik.

"Gue nggak sengaja denger lu ngomong sendiri tadi." Ia mengangguk, tapi kemudian melotot ke arah Jackson saat menyadari ucapannya seakan-akan mengatakan bahwa ia sedikit tidak waras.

Raya berpikir, mulai berspekulasi segala kemungkinan yang akan terjadi. Termasuk kemungkinan ada maksud terselubung Jackson yang tiba-tiba menawarkan bantuan. Biasanya kalau tidak menghukum Raya atas pelanggaran yang ia perbuat, Jackson hanya mencari ribut dengannya.

"Kelamaan lu mikirnya," Jackson mulai jengah menunggu jawaban Raya.

Ia menarik napas. Akhirnya mengambil keputusan. "Oke, deal."

Ketika ia melihat Jackson tersenyum, tepatnya menyeringai, ia mulai berdoa dalam hati agar keputusan yang ia ambil tidak salah.

Kisah Jackson: TutorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang