"Cepatlah, Dre!" ucap Viona dari kejauhan sedang memakai helm putih, "kita akan terlambat kelas Ilmu Penyakit Dalam nanti!" Kunci kehitaman masuk ke lubang dekat stang sepeda motor. "Jangan sampai dokter marah lagi karena kita terlambat makan siang."
"Iya, bawel. Sabar sebentar," aku merapikan celanaku dan naik ke bangku belakang, "ada sesuatu tersangkut di dalam celanaku." Deruman mesin sepeda motor terdengar di parkiran mall.
"Dasar, jorok!" Helm kehitaman muncul dari balik bahunya, "Kau diam, biarkan aku yang mengendarainya," tangannya mengambil sebuah kertas dari kantong bajunya, memberikannya padaku, "dan kau bayarkan parkiran kita." Tangannya kanan berputar, kami melesat dari parkiran.
Memang aku selalu sial saat pergi makan siang dengannya. Bukan masalah harga atau tempat yang kami tuju, tapi lamanya pemilihan menu oleh Viona. Ia terlalu banyak berpikir hanya untuk makanan saja. Perhitungan kadar protein, karbohidrat, dan lemak tiap ingin memesannya. Dasar wanita perhitungan!
*****
"Dari mana saja kalian?" ucap seorang pria berbaju biru sedang memegang pointer.
"Maaf dok, kami baru menjenguk keluarganya yang sakit," Viona mencengkram bahuku, "keadaannya koma sejam yang lalu." Jari telunjuk Viona menancap di dadaku, menandakan aku harus berdalil lagi.
"Kakek saya sudah lama mengidap penyakit jantung, dok. Maafkan keterlambatan kami, dok." Kami berdua menunduk seperti orang yang sangat bersalah―dan nyatanya seperti itu.
"Ya sudahlah. Apapun itu saya tidak dapat melihat buktinya," ujar dokter sambil menekan tombol pointer, meneruskan slide bahan kuliah di layar, "kalian bisa duduk."
Dengan masih menunduk, kami kembali duduk di barisan tengah, dengan cekikikan kecil dari belakang barisan kami duduk.
"Sialan! Kalian bisa membohonginya. Sejak kapan kau punya kakek, Dre?" Nicholas memukul bahuku.
"Sudahlah, Si Pembohong memang sudah wajar melakukannya." Ujar Niko sambil membuka buku tulisnya.
"Ayolah," Yan menengahi pembicaraan kami, "perhatikan dokter itu menjelaskan. Kalian kenapa jadi berbincang."
Kami menjadi hening, saat sebuah pengahapus melayang kearah Baginda yang disebelahku, "Kamu baju merah kotak-kotak! Kenapa kamu berbicara seenaknya saja di kelas saya? Maju kamu!" suara dokter itu meninggi.
"Aku diam saja kena batunya, ya," tukasnya berdiri dari kursinya, "Lihat saja nanti habis kelas ini selesai. Urusanmu denganku belum selesai." Ia maju kedepan, dibayangi cekikan kecil dari kami, mengejeknya.
*****
Aku menyelesaikan kelas siang dengan sehat walafiat. Tidur berkualitasku semakin berkurang karena tugas praktikum dan membuat slide bahan semakin banyak semester ini. Kuperhatikan jam tangan, setengah lima sore. Waktu yang tepat untuk pulang sebelum jalanan kota Medan dipenuhi manusia kantoran yang berpulangan ke rumah.
"Bagimana? Jadi ke pesta ulang tahun Nadya nanti malam?" Jemia mengikuti langkahku menuju parkiran.
"Sepertinya ikut," kunci sepeda motor kuraih dari kantong kiri celana, "di rumahnya, kan? Komplek Setia Budi?" aku berhenti di pintu masuk parkiran.
"Bukan! Di hotel J.W Marriot. Jangan lupa bawa sahabat karibmu," Jemia mendekat ke telingaku, "Viona." Ia tertawa dan melangkah ke parkiran mobil yang tak jauh dari posisi kami berdiri.
Jari tengah tangan kanan kuacungkan karena kesal dengan ucapan terakhir darinya. Memang, kami bersahabat sejak lama. Sejak pertama kali masuk kuliah. Pertama sekali orang menganggap kami berdua berpacaran. Sampai semester empat terungkap kami hanya bersahabat dekat saja. Kata banyak orang, jika bersahabat dengan lawan jenis, pasti ada rasa lebih selama menjalin status persahabatan itu. Hal itu memang kuakui, tapi aku masih tahu diri kapan untuk mengatakannya.
YOU ARE READING
Aku Kembali
Romansa[Tamat] Cerita ini dibuat dalam rangka mengikuti kontes Wattpad Indonesia dalam menyambut Valentine's Day.