Fake Four

3.6K 319 6
                                    

Sekitar pukul setengah delapan pagi Briana memacu sekuter maticnya menuju Saras Florist untuk membuka toko bunga itu. Sesampainya di depan toko dia melihat seseorang sedang menyesap kopi dalam kemasan gelas kertas tak jauh dari toko.

"Aaron?" Briana menyebut nama laki-laki itu dalam hati. Namun dia sendirian. Tanpa Cris. Tumben, pikir Briana.

"Dari jam berapa lo di situ?" Briana mengambil tempat tepat di samping Aaron. Dia lantas menyerahkan sebuah cup berisi minuman yang masih panas. Dari aromanya Briana yakin capucino latte kesukaannya.

"Thanks," jawab Briana ringan dibalas dengan senyum lembut dari Aaron. Sebuah lesung pipit kecil di bawah ujung bibir laki-laki berkulit putih bersih itu, menambah kadar ketampanan seorang Aaron yang sering terlewatkan oleh Briana.

Aaron ini sebenarnya tampan. Briana sangat tahu banyak perempuan yang tergila-gila pada sahabatnya itu. Senyum yang menyenangkan, sosok yang ramah, gemar menolong dan setia kawan tentunya. Namun Aaron tetaplah Aaron. Bagi Briana, dia sebelas dua belas dengan Crisann. Bedanya Aaron punya pekerjaan lain selain menjadi sampah masyarakat. Beda dengan Crisann yang kelakuannya minus semua di mata Briana. Profesi sebagai disk jockey saja hanya dikerjakan semau dia saja.

Aaron kadang juga membantu Briana mengantar pesanan rangkaian bunga ke beberapa instansi pemerintah ataupun perusahaan besar. Aaron juga yang membantu untuk mempromosikan Saras Florist ke khalayak. Keahliannya dalam bergaul dan pandai menempatkan diri membuat dia mempunyai banyak teman dan koneksi. Beda sekali dengan Crisann yang dingin dan tempramental.

"Cris mana?" tanya Briana lagi karena Aaron tak juga menjawab satupun pertanyaannya.

"Bisa nggak sih nggak nanyain Cris sekali aja?" Aaron menatap datar kepada Briana

Dia aneh pagi ini...

Briana mengernyit mendapati tatapan tak biasa dari seorang Aaron. Saay Briana hendak beranjak dari duduknya, Aaron menahan lutut Briana supaya tetap duduk.

"Gue mau buka toko."

"Sepuluh menit aja. Lo masih punya waktu dua belas jam untuk bergelut dengan florist itu."

Mendesah pelan, Briana menuruti saja kemauan Aaron.

"Cris mimpi Bianca. Akhir-akhir ini lebih sering."

"Mungkin Bee kangen, ingin dikunjungi oleh Cris," jawab Brian dingin.

Aaron menoleh pada Briana. "Mau sampai kapan lo benci sama Cris? Asal lo tau, bukan Cris yang membunuh Bianca. Semua karena kecelakaan Bri, takdir Tuhan. Kita nggak bisa berbuat apa-apa untuk menghalangi terjadinya takdir itu."

"Bukan Cris yang membunuh, tapi karena Cris lah Bianca meninggal. Sampai kapan pun gue benci sama Cris dan sejak abu Bianca dilempar di sungai Mahakam, gue bersumpah akan membunuh Cris dengan tangan gue sendiri."

"Briana!? Stop it!" Aaron membentak Briana yang mulai kelewatan.

Menarik napas dalam, Aaron berbicara lagi. "Lo lupa selama ini siapa yang ngelindungin lo di sini? Siapa yang banyak berkorban untuk lo? Apa empat belas tahun pengorbanan Cris buat elo masih belum cukup untuk membalas kebodohan yang Cris lakukan di masa lalu?"

Briana berdecak, mencemooh karena Aaron selalu membela sahabat sejatinya itu. "Lo nggak tau rasanya kehilangan orang yang lo sayangin, Ron. Saudara kandung lo, satu-satunya keluarga kandung yang lo miliki. Kalo lo lupa, di antara kita bertiga, cuma elo yang jelas asal usulnya. Gue dan Bianca? Crisann? Kami nggak pernah tau siapa keluarga kami. Gue, Bianca dan Crisann bahkan nggak punya nama keluarga seperti elo, Ron."

Fake MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang