Tujuh bulan sebelum Fake Marriage
-Nina-
Rumah ini terasa seperti kuburan. Sunyi, dingin dan tak bernyawa. Kesendirian memang sepertinya selalu akrab denganku. Ditinggal Mami untuk selamanya, Papi yang sibuk dengan dunianya, bahkan menganggap aku tidak pernah ada. Yang Papi cintai hanyalah mendiang istrinya, Mamiku. Perempuan yang jika tersenyum bisa membuat seisi dunia ikut tersenyum, dan satu-satunya alasan papi selalu rindu rumah.
Berjalan menyentuh setiap benda yang ada di rumah mewah ini, aku mencoba menapak tilas memori indahku bersama Mami. Sampailah aku pada sebuah grand piano tahun 1990 buatan Jepang berwarna hitam mengkilat ini. Milik Mami. Wanita berhati lembut itu selalu memainkan sebuah lagu untuk menemani makan malam kami. Menghibur kami di kala sedih. Ikut berbahagia di kala kami sedang senang. Namun tidak satupun dari kami yang mengerti akan kesedihan dan tekanan yang ia rasakan selama hidupnya. Aku masih terlalu kecil untuk memahami perasaan dan permasalahan wanita dewasa kala itu.
Sebuah lagu klasik aku mainkan untuk menghibur diriku sendiri. Menekan tuts piano dengan melodi yang masih melekat dalam ingatan, aku hanyut dalam sebuah lagu seorang diri. Aku merasa kini Mami seolah ada di sampingku. Seperti kebiasaan kami dulu, bermain piano bersama. Tekanan dari dalam kelenjar mata membuat cairan bening menerobos keluar membasahi pipiku.
Meme kangen Mami.
Seseorang menyentuh pundakku. Membuatku menoleh dan mengusap pipi bekas air mataku dengan kasar saat menyadari siapa orang itu.
"Kangen Mami, Me?"
Tante Medusa duduk tepat di sampingku. Sudah pernah aku bilang sebelumnya kan,kalau aku alergi berdekatan dengan wanita satu ini? Beranjak dari bangku, aku berdiri dengan dagu terangkat dan berlalu tanpa menatap sorot mata penuh bisa itu.
"Mau sampai kapan kamu membenci tante? Bencimu tidak akan membuat Mami kamu bangkit dari kuburnya, Me," cetus tante Medusa getir.
"Setidaknya dengan aku membenci tante, mampu mengurangi rasa berkabungku yang nggak akan pernah ada habisnya ini."
"Apa yang harus tante lakukan untuk bisa mendapat maaf dari Meme? Pasti akan tante lakukan."
"Nggak ada dan nggak akan pernah ada."
Bergegas meninggalkan ruang keluarga menuju kamar adalah hal paling tepat yang aku lakukan supaya tak perlu berlama-lama berinteraksi dengan wanita itu. Dia jahat, dan aku nggak pernah tahu apa alasan dia menjadi jahat seperti itu. Yang jelas aku yang berusia delapan tahun kala itu terpaksa menerima apa pun perlakuan tante Medusa padaku.
Tante Medusa itu tidak pernah mengizinkan aku mengenal dunia luar. Aku tidak pernah punya teman. Aku sendirian dan benar-benar kesepian. Masih segar dalam ingatanku ketika wanita itu menyeret paksa aku untuk sekolah menengah pertama khusus perempuan, tinggal di asrama khusus perempuan, tidak mengizinkanku pulang ke rumahku sendiri selain liburan kenaikan kelas. Alasannya untuk mendidikku menjadi gadis mandiri sebagai penerus kerajaan bisnis Natanegara. Padahal aku tahu alasan sebenarnya dia sudah tidak sanggup lagi merawatku dan tentu ingin menyingkirkanku sebagai pewaris tunggal dan satu-satunya calon pemimpin Natanegara Group di masa yang akan datang, jika Papi telah tiada.
Tak selesai sampai di situ kekejian yang ia berikan padaku, dia juga menjatah uang sakuku, dan menampar serta memukulku ketika aku mencoba menceritakan kondisiku yang sebenarnya pada Papi. Wanita itu ternyata telah memanipulasi semuanya. Sampai aku akhirnya menyerah untuk mengungkap semua pada Papi. Apa pun yang aku katakan, Papi tidak akan memercayaiku.
Tante Medusa mampu membuat seorang Martin Natanegara yakin bahwa hidup anak perempuan tunggalnya damai dan sejahtera saat di sekolah dan asrama. Nyatanya hidupku lebih dari sekadar sengsara selama di asrama. Belum lagi seringkali aku menjadi bahan bully teman-teman sekolahku hanya karena aku anak konglomerat, karena aku keturunan mata sipit, karena aku selalu menutup diri dan tidak mau bergaul dengan siapa pun. Mereka iri pada rambut indahku, kulit putihku, kaki jenjangku, tubuh langsingku yang semuanya sudah terbentuk dengan sangat sempurna diusiaku yang baru menginjak angka 14.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Marriage
RomanceKarenina Natanegara. Calon CEO yang takut hartanya jatuh ke tangan orang lain. Dia rela melakukan apa saja demi mendapatkan warisan Papinya. Termasuk merencanakan sebuah pernikahan palsu untuk dirinya. Setiap orang punya alasan untuk menjadi jahat...