Kucing

23 0 0
                                    

"Kucing," katamu di suatu sore yang amat tenang dan apik, gerimis hujan membasahi tanah yang sebulan lalu hampir tandus. "adalah hewan teristimewa yang diciptakan Allah dengan sempurna."

Aku memperhatikan dengan seksama, iya. Betul. Mata bundar, hidung dan telinga yang pas. Bulu lebat, coba tolong bayangkan kucing tanpa bulu ah mungkin besoknya dia akan berakhir mengenaskan. Belum lagi dimusim penghujan nan dingin ini. hm. Dia gak jomblo kok.

Skip aja. Malas berat kalau sudah membahas relationship. Tapi tetap saja, sesempurna apapun perumpamaan dia tentang kucing dan terutama bulunya riwayat sifilis mensugestiku untuk dimana dan kapanpun ada kucing, setidaknya satu meter adalah jarak yang harus aku jaga.

Aroma kopi menyeruak ketika dia mengangkat tinggi-tinggi gelas itu sampai menyentuh bibir dengan manisnya.

"Jangan jahat-jahat sama kucing, dia cuman minta bekas makanan."

Aku manyun, pengen banget protes tapi kalau lagi serius moment begitu guru BP saja kalah nyereminnya.

"Maaf. Aku gak sengaja." Kataku akhirnya.
"Gapapa, jangan diulangin." Senyumnya mengembang, aku balas tersenyum. Gitu sih dia mah, senyumnya nular bikin jantung bertalu-talu. Untung gak sampai epilepsi.
"Iya"

Sepi, sunyi. Sore itu aku nobatkan sebagai sore teromantis sepanjang eksistensiku di dunia ini. Belum lagi,
"Kamu kenapa gak ambil sarjana aja?"
"Ingin fokus ke kamu aja."
"Heh, jangan gombal. Itu tugas aku."
Aku ketawa, "aku serius, tugas istri kan memang melayani suami, aku inginnya begitu sampai Allah bilang udah waktunya pulang."

Dia diam, tampak berpikir.
"Kamu punya hak buat mengenyam pendidikan, aku sanggup biayain. Bahkan sampai magister sekalipun."

Giliran aku yang diam, betapa beruntungnya aku menjadi sesosok wanita yang halal bagi laki-laki disampingku ini? Memberikan porsi pendidikan untukku tanpa memandang haknya untuk aku layani. Maka nikmat Allah yang mana lagi yang akan kamu dustakan?

"Aku takutnya abah gak setuju." geeky banget kan? Alasan aku sedari dulu gak ambil gelar sarjana ya karena ini, abah gak setuju anak perempuannya punya pendidikan duniawi tinggi-tinggi. Kalau kata beliau; bekali saja ilmu agamamu sampai kamu paham betul untuk apa diciptakan.

Uh. Jangan salahkan abah, kalau urusan agama hubungan sama beliau memang selalu seintimidatif itu.

"Biar aku yang ngomong sama abah. Tinggal kamunya aja mau kuliah dimana? Jangan jauh-jauh ah aku gak sanggup makan rindu."

Blush

Lalu dengan semena-menanya suatu suara menginterupsiku, akhirnya mau tak mau aku bangkit karena ternyata suara itu adalah suara kakak perempuanku yang toa banget.

"Bangun gak lo? Gua mager nganterin lo jam segini. Pagian sana berangkat sama si aa!"

"Iya, bawel!"

@#¥%&*--;%+#;"*72-#;%;' Mimpi yang Indah.

My RandomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang