Oleh: Taramelia
Hali Marlin. Akhirnya aku kembali ke kota ini. Rasanya baru kemarin aku datang ke sini untuk pertama kalinya.
"Kak Salu!" teriak bocah-bocah itu gegap gempita menyambut kedatanganku. Mereka tampak sedikit berbeda, sedikit lebih tinggi. Tak hanya mereka, kota ini pun terlihat sedikit berbeda. Tiga tahun seakan mampu menciptakan beberapa perubahan di sini.
Mereka lalu mengantarku, mengiringku ke Pondok Mariana Pearl, tempat tinggalku selama aku berada di kota ini. Kulihat beberapa bangunan baru berhiaskan karang-karang cantik dan tanaman laut yang indah. Tak pernah kusadari kota ini sangat indah. Aku mencintai tempat ini. Sepertinya aku akan selalu merindukan tempat ini.
*
"Aku benci tempat ini! Di sini benar-benar payah! Tidak ada yang menganggapku, tidak ada yang mau mendengarkanku!" Kembali aku melempar karang-karang tak berdosa ini mengenai karang-karang tak berdosa lainnya. Entah sudah berapa lama aku mengamuk di sini sendirian.
"Apa yang kau lakukan, Tsalitsa?" Nyonya Wilmar mendapatkanku dengan tatapan terkejut, wajahnya mengkerut, seakan semua udara di dalam tubuhnya terhembus ke luar.
Aku hanya diam sambil mengambil nafas. Aku mengikuti gerak matanya. Astaga! Aku telah menghancurkan tamannya!
"Dengar, Tsalitsa! Kau harus membereskan ini semua, atau.. "
'Atau apa?' Aku tak bersuara tapi sikapku cukup menantang pemilik asrama Pondok Mariana Pearl ini.
"Jangan sampai aku mengatakannya, karena aku yakin kau tidak akan menyukainya," jawab Nyonya Wilmar lalu berlalu dengan langkah menghentak.
Aku tersenyum dongkol dan melanjutkan kegiatanku yang sempat terhenti. Kembali ku membanting-banting semua benda di taman ini.
"Jika tanaman hias yang menari-nari di tempatnya itu bisa bicara, pasti mereka berteriak memintamu untuk berhenti"
Aku terlonjak kaget. Tiba tiba seseorang hadir di sebelahku. Dia memakai jubah dengan kepala tertutup. Aneh! Dari suaranya, aku tahu dia seorang laki laki.
"Diam kamu! Jangan ikut campur!" Aku lanjut mengamuk.
"Kalau mereka punya kaki mereka sudah terbirit-birit meninggalkanmu" Orang itu kembali berseru membuatku ingin melemparnya dengan karang besar yang tersisa di hadapanku. Aku mengangkatnya dengan kedua tanganku dan mengarahkannya pada orang itu.
"Auuuhggh," jeritku tak tertahankan saat aku urung melemparnya dan karang itu malah jatuh mengenai kakiku.
"Tsalitsa, kakimu!" Orang itu lalu sedikit menjauhkan aku dari karang besar tadi dan melihat kondisi kakiku yang terluka. Dia merawatnya.
"Sakit, kan? Apa kau tidak mengerti kalau mereka yang kau hancurkan itu juga merasa kesakitan?"
Oke, laki laki ini benar menyebalkan. Aku menarik kakiku dari tangannya. Dia kaget dan mendongok ke arahku. Aku melihat wajahnya. Bukan lelaki tampan, tapi usianya sepertinya tak jauh beda denganku.
"Kakimu terluka. Ini bisa parah kalau tidak segera ditangani." Kali ini laki-laki ini mengurus kakiku lebih cepat.
"Kau siapa? Kau mengenal namaku."
Laki-laki itu hanya diam dan sibuk dengan kakiku. Aku menanyakan kembali, namun tetap saja sia-sia. Sial! Dia cerewet sekali dari tadi tapi tak satupun kalimatku didengarnya.
"Sudah! Ini akan terasa sakit untuk beberapa waktu." Laki laki yang belum kukenal namanya ini mengembalikan posisi kakiku. "Tapi taman ini harus segera dibereskan atau kau akan mendapatkan masalah besar"
YOU ARE READING
Tales Of Underwater
Short StoryBagaimana kalau di dunia ini ada City of Underwater? Sebuah kota yang dibangun di bawah air dimana penduduknya bisa menyaksikan berbagai keindahan laut, hewan air dan -- siapa tahu petualangan baru menanti. Kira-kira petualangan macam apa yang akan...