Oleh: Nadita
Nggg~ Nnn~ Ngg~ Nnn~
Aku memandang ke atas. Aula gedung ini memiliki atap yang terbuka, membuat semua orang yang ada di dalamnya bisa memandang ke atas, atau permukaan perairan. Segerombolan paus sedang berenang di kejauhan atas sana. Mereka berenang beriringan. Sesekali cahaya rembulan bergoyang menyelinap menembus sela-sela paus, menghujam dasar laut. Ah, sungguh pemandangan yang indah sekaligus misterius.
Teknologi sudah semakin maju, karena itu manusia bisa menjelajah dan menempati berbagai pelosok dunia. Misalnya, di bawah laut ini. Dengan teknologi rekayasa genetika manusia dan kemajuan teknologi mesin lainnya, kami bisa tinggal di bawah laut tanpa takut tenggelam atau tidak bisa bernapas. Malahan kami bisa bernapas di dasar laut ini sama baiknya dengan mereka yang tinggal di daratan atas.
Aku masih menatap ke atas, memandang sosok paus yang berenang semakin lama semakin menjauh. Nyanyian paus tidak selalu terdengar di dasar laut, bahkan untuk kami sekalipun yang seumur hidup selalu tinggal di bawah air. Paus adalah makhluk yang pemalu, karena itu mendengarkan nyanyian paus sama seperti mendapatkan keberuntungan.
Aku memandang sekeliling, semua orang masih membicarakan nyanyian paus tadi. Tapi sedetik kemudian musik dansa mulai dimainkan dan mereka kembali berdansa. Aku memandang ke satu sudut yang sepi, seorang pemuda sedang berdiri sambil memandangku. Ah, akhirnya ketemu juga. Aku tersenyum padanya.
Sepertinya ia menyadari kalau aku memergokinya yang sedang memandangku, makanya ia langsung membuang muka. Aku tertawa kecil dan terus menatapnya. Ia sama persis dengan pemuda yang kulihat dalam mimpiku. Seorang pemuda yang terlihat canggung, tapi penuh dengan tekad. Ia akan terus berjuang meski dihadapkan dengan tantangan yang berat demi mencapai tujuannya. Sesaat hatiku sedikit sakit tapi buru-buru kutepis rasa itu.
Tak lama kemudian ia kembali menatapku lagi tapi terburu-buru membuang muka. Aku tersenyum dan mendatanginya. Ia tampak salah tingkah.
"Berdansalah denganku!" ajakku tiba-tiba.
Ia tampak terkejut tapi tidak berkata apa-apa. Aku tertawa kecil. "Biar kutebak. Kamu tidak mau berdansa denganku karena aku tidak cukup cantik?"
Dia tertawa. "Aku tidak bisa dansa."
Aku memandang pakaiannya, seragam militer kerajaan Pacifista. "Tentara sepertimu tidak diajari berdansa? Lalu untuk apa kau datang ke pesta ini?"
Ia kembali tertawa kecil. "Aku hanya menjalankan tugas."
"Humph. Sayang sekali, pemuda tampan sepertimu malah tidak bisa berdansa."
"Ajak saja orang lain." Ia berusaha memberi solusi.
"Tidak mau. Kau lebih tampan dari mereka semua." Dan lagi alasanku yang utama adalah ingin ngobrol dengan pemuda yang muncul dalam mimpiku itu. Yang ditakdirkan untukku.
"Bagaimana kalau kita mengobrol saja?" ia memberi tawaran.
Aku pura-pura berpikir, "Tidak buruk juga mengobrol dengan orang tampan." Ia menunjukkan senyumnya.
"Ngomong-ngomong, namaku Alex." Ia memperkenalkan diri.
"Aku adalah Moirai." Bukan nama yang asli sih tapi mungkin tidak apa-apa.
"Nama yang aneh." komentarnya. Aku tertawa. Mau bagaimana lagi, itu kan bukan namaku yang sebenarnya?
"Jadi, untuk apa kau di sini?" Aku mulai berbasa-basi.
"Menjalankan tugas." sahutnya singkat. "Kau sendiri?"
"Mencari pria tampan untuk diajak berdansa." selorohku. Ia tertawa kecil. Yah, sebenarnya aku ingin mengobrol dengan pemuda ini sih. Tapi kalau aku bilang begitu semua alasanku dari awal harus diceritakan. Itu merepotkan.
"Jadi, bagaimana menurutmu acara tanda tangan ini?" Aku kembali ke topik.
Alex mengangkat alisnya, "Aku tidak menyangka gadis seumuranmu tertarik dengan politik? Kutebak umurmu , hmmm, 17 tahun?"
Aku tertawa, "Sebenarnya 18 tahun. Tapi kuanggap itu pujian."
"Hanya salah satu tahun." gumam Alex.
"Giliranku," Aku memandang Alex yang balik menatapku. Bisa kulihat ia meiliki warna mata cokelat gelap. "Hmm, umurmu sekitar 25 tahun?"
Giliran Alex yang tertawa, "Sebenarnya umurku 23 tahun."
"Hee, kau muda sekali untuk ukuran orang yang diundang ke acara penting seperti ini."
"Kurasa kau yang lebih muda untuk bisa bergabung dalam acara formal ini. Apa kau seorang bangsawan atau tokoh penting lainnya?"
Aku menggigit lidahku, sepertinya aku sudah salah bicara. Seorang pelayan melintas dan menawari kue, aku mengambil satu.
"Lupakan saja. Aku tidak tertarik mendengarnya." Alex menambahkan. Aku menghembuskan napas lega, tidak sadar kalau dari tadi aku terus menahannya.
"Kita mengobrol yang lain saja." Alex setuju dengan ajakanku.
"Jadi menurutmu bagaimana acara tanda tangan ini?" Aku mengulang pertanyaanku.
"Kupikir kita mau mengobrol hal lain selain politik?" Alex tersenyum padaku.
"Sudahlah, jawab saja."
Alex terdiam, tampak memikirkan sesuatu. Sebenarnya aku paham dengan maksudnya yang terdiam itu. Hanya saja aku ingin menanyakannya pendapatnya.
"Biar kutebak. Kau merasa tidak yakin dengan perjanjian kerja sama ini."
Alex membulatkan matanya tapi ia berusaha tenang. Aku tersenyum misterius. Dari pandangan matanya aku tahu Alex bertanya-tanya mengapa aku seakan bisa membaca pikirannya.
"Tidak perlu berpikir terlalu keras untuk mengambil kesimpulan ini." Mataku menatap para duta utusan yang saat ini sedang berbincang. "Dan yang pasti, banyak negara lain yang tidak setuju dengan keputusan ini."
Sebuah kembang air meledak di atas gedung, memercikkan warna-warni yang cantik. Yah, kemajuan teknologi lainnya. Sebuah kembang air yang memiliki fungsi yang sama seperti kembang api di daratan atas.
Segerombolan ikan kecil berenang dengan cepat, menghasilkan arus yang lumayan kencang bagaikan angin bertiup. Aku melemparkan remahan kue milikku, beberapa diantara mereka berhenti untuk memakannya.
"Karena itu, selagi masih bisa dinikmati, lebih baik menikmati perdamaian yang ada saat ini." gumamku.
Alex memandangku dengan heran. "Apa maksudmu?"
Aku tersenyum, "Bukan apa-apa, kok." Aku menepukkan tanganku. "Kurasa sudah waktunya aku pulang."
Alex tidak membantahku, aku menatapnya sekali lagi. "Kau bisa mulai bersiap-siap."
"Bersiap untuk apa?"
Sebuah ledakan keras terdengar, hawa panas menyembur dan gedung dansa bergetar sebelum akhirnya mulai runtuh. Bom Karbon. Sebuah bom yang efektif di dasar air. Efeknya seperti bom biasa di dataran atas, hanya saja minus api.
Alex sempat menyembunyikan diriku di belakangnya, berusaha melindungiku dari efek ledakan. Ia terbatuk sesaat dan belum sempat bereaksi apapun. Aku berjinjit, mendekatkan bibirku ke telinganya, "Aku adalah Moirai."
Ia menoleh ke arahku.
"Ingatlah, suatu saat kau akan memerlukan nama itu."
Aku langsung berlari dalam buih air yang tebal, hasil dari ledakan sebelumnya.
.
.
.
Aku memandang hiruk pikuk gedung itu, para petugas sudah mulai melakukan evakuasi. Inilah awal mula dari segalanya.
Datanglah padaku, wahai yang ditakdirkan untuk membunuhku.
Buih air terus naik ke permukaan. Dan dari jauh dapat ku dengar suara nyanyian paus. Mungkin sebenarnya nyanyian paus bukanlah pembawa keberuntungan.
#End
A/N: Tamat dengan gaje...apalah ini enggak banget jelasnya. Terus mana keindahan dasar lautnya? Ah, kepala saya error gegera minum obat. Jadinya pikiran ng fly mulu.
YOU ARE READING
Tales Of Underwater
Short StoryBagaimana kalau di dunia ini ada City of Underwater? Sebuah kota yang dibangun di bawah air dimana penduduknya bisa menyaksikan berbagai keindahan laut, hewan air dan -- siapa tahu petualangan baru menanti. Kira-kira petualangan macam apa yang akan...