Percayalah. Aku bahagia, kak. Bahagia karena kau telah mengalahkan keraguan dan ketakutan untuk meraih mimpimu: menyatakan perasaan pada gadis yang selama ini kau kagumi secara diam-diam. Tapi jujur, aku pun sedih, kak. Sedih karena kau terlalu mudah untuk mendapatkan gadis itu. Seharusnya kau menghormati gurumu ini. Jangan langkahi kehebatan gurumu. Hahahaaa...
Tapi memang begitulah wanita, kak, selalu tak terduga dan dapat mengubah segalanya.
Aku masih di sini. Di ruang perpustakaan, duduk di lantai bersenderkan rak besar. Aku semakin menenggelamkan tubuhku pada rak kokoh yang menyusun buku-buku. Menyenderkannya tanpa ampun, seolah tubuhku didekap habis-habisan oleh rak raksasa itu. Aroma kertas tua dan bau lembab menyeruak, memasuki lubang hidung. Aku menikmatinya. Menikmati aroma kertas dan bau lembab.
Kulihat sekeliling. Semuanya buku. Berjejer rapi. Indah.
Senyumku tersungging tiba-tiba. Rak besar itu, buku-buku yang berbaris itu, aroma kertas itu, suasana lembab itu, semuanya mengingatkanku pada ayah. Ya, ayah, kak. Apa kabar ia?
Kabarnya dahulu selalu baik-baik saja. Dalam kondisi apapun. Dalam keadaan apapun.
Kau masih ingat kan, kak? Ketika suatu sore, sebelum senja benar-benar tenggelam, ayah memarkir sepedanya dengan langkah terhuyung. Sepedanya hampir saja terguling, jika kau tidak secara sigap berlari untuk kemudian menopang sepeda karatan yang kehilangan keseimbangan itu.
Tahun 1985, usiaku baru saja menginjak tahun ketujuh ketika itu. Sistem limbik otakku yang berfungsi menyimpan memori jangka panjang, masih merekam dengan jelas kejadian itu. Kau masih ingat, kak?
Suhu badan ayah panas sekali, saat itu. Wajahnya pucat. Tubuhnya lemas. Terlihat begitu lelah.
"Kita ke puskesmas, ayah," ajakmu dengan wajah khawatir.
"Tidak apa-apa, Yas. Ayah hanya masuk angin."
"Ayah panas. Harus diperiksa Pak Mantri."
Kak, kau tahu kan, dulu, kampung kita adalah kampung udik yang jauh dari keramaian kota. Sampai dengan awal tahun 90an, dokter tak bisa menjangkau kampung kita--dan beberapa kampung lain di Indonesia. Hal itu dikarenakan selain jarak kampung yang sulit untuk ditempuh, juga karena masih belum banyaknya profesi dokter di Indonesia, sementara kebutuhan tenaga medis semakin mendesak.
Akhirnya muncullah profesi mantri sebagai solusi normatif yang tidak pernah dilahirkan oleh sebuah kebijakan secara resmi oleh pemerintah, tetapi juga tidak pernah dilarang karena terbukti telah memberikan solusi sementara bagi kebutuhan tenaga medis di pedesaan kala itu.
Mantri sebenarnya profesi setara perawat. Yang tugas semestinya adalah membantu dokter, tak ada kewenangan untuk mengambil tindakan medis lebih jauh. Namun di kampung kita, mantri tak berbeda dengan dokter. Kehebatan dan kewenangannya bagi kita adalah sama--meski tetap kalah sakti dibandingkan bah Keong.
Mantri diambil dari istilah permainan catur dimana mantri dalam catur merupakan pion yang langkahnya tak terbatas dan bertugas mendampingi serta melindungi raja. Raja dalam hal ini adalah dokter. Maka pada tahun itu, profesi mantri mulai menjamur di kampung-kampung. Dudung adalah salah satu teman kita yang memiliki cita-cita menjadi Mantri.
"Falyan, ambilkan sarung!" Perintahmu sambil memapah ayah yang terlihat payah, hingga duduk di bale-bale bambu.
"Tidak apa-apa, Nayas," ayah berusaha meyakinkanmu lagi kak. Meyakinkan bahwa tubuh lemahnya baik-baik saja.
Aku berlari dari dalam kamar membawa tiga lembar kain sarung untuk melindungi ayah dari terjangan angin malam di bulan April, saat itu.
"Kita ke Pak Mantri." Katamu tegas mengambil keputusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Lelaki Hujan | Three Men of Rain
General FictionTahukah kawan? Aku dan mimpiku dibesarkan oleh seorang ayah setengah sakti, yang bulu hidungnya menyembul keluar; seperti bulu-bulu sikat gigi yang membikin geli. Begitupun kakakku, seorang kapten tampan dalam imajinasinya, yang dipaksa ayah untuk m...