Happy Reading!!
Jangan Lupa Bahagia...***
Tanpa terasa kami lulus SMA. Aku, Akira, dan Iqbal mendaftar di universitas yang sama. Arham sendiri belum menentukan dimana dia akan kuliah membuatku bertanya-tanya apa sebenarnya cita-citanya. Arham tidak pernah menyukai mata pelajaran dengan berlebihan. Seperti aku yang sangat suka pelajaran biologi, Akira yang menggilai seni, dan Iqbal yang sangat suka berkutat dengan angka-angka. Sedangkan Arham terlihat biasa-biasa saja pada semua mata pelajaran.
Aku pernah bertanya yang mengarah ke cita-citanya. Aku bertanya, apa yang paling dia sukai? Dia malah menjawab, aku, aku yang paling dia sukai. Padahal maksudku adalah hal yang mungkin dia minati. Tapi kalau jika diperhatikan Arham hampir bisa melakukan semuanya. Dia pintar masak, main sepak bola, main gitar sambil nyanyi, jago basket, ngebalap juga bisa. Tapi tidak ada yang menunjukkan hal yang benar-benar dia minati.
Saat aku, Akira, dan Iqbal sibuk mendaftar, Arham hanya ikut dan menemaniku. Saat ditanya apa dia ingin kuliah atau tidak, dia akan menjawab, nanti diliatnya. Itu jelas membuatku bingung. Akira dan Iqbal sama bingungnya. Seperti ada yang kekasihku itu sembunyikan, tapi aku tidak tahu.
Aku lulus di kedokteran, Akira juga lulus di seni rupa, dan Iqbal juga lulus di manajemen. Tinggal Arham sendiri yang belum pasti. Bahkan ia sama sekali tidak mendaftar di universitas mana pun. Jelas aku bingung. Mau jadi apa Arham nanti? Apa yang akan dia lakukan jika dia tidak kuliah? Dia menjawab, "Mengantar, menemani, dan menjemputmu setiap hari." Tapi bukan jawaban itu yang kumau. Aku ingin masa depan Arham tidak suram. Aku ingin dia meraih mimpinya. Tapi apa mimpi Arham sebenarnya?
Kadang aku berpikir, apa aku ini benar-benar kekasih Arham?
***
Aku mulai sibuk kuliah. Arham melakukan apa yang ia katakan. Mengantarku, menemaniku, dan menjemputku. Selebihnya aku tidak tahu lagi apa yang dia kerjakan. Iqbal juga tidak tinggal di rumah Arham lagi. Jadi, aku sedikit sulit mengetahui yang dilakukan Arham di rumah. Aku juga sangat sulit mencuri waktu untuk berkunjung ke rumahnya karena jadwal kuliahku benar-benar padat.
Hubunganku dengan Arham baik-baik saja setelahnya walau kadang aku terus berpikir tentangnya yang seperti menyembunyikan sesuatu. Arham benar-benar membuatku bingung. Sampai saat ini aku belum tahu apa yang dipikirkannya dan apa yang akan dilakukannya. Apa dia hanya akan berdiam diri saja?
Musim hujan sebentar lagi datang. Itu artinya aku dan Arham sebentar lagi akan anniversary hubungan kami yang pertama. Untuk merayakannya aku sama sekali tidak punya planning. Menurutku sedikit kekanak-kanakan jika merayakan hari anniversary padahal kami hanya berpacaran bukan menikah. Dari Arham sendiri, aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Memberi hadiah seperti biasanya atau melakukan sesuatu yang dia inginkan. Aku tidak tahu.
Aku menunggu Arham sekarang. Langit mulai gelap menandakan akan turun hujan. Apa hari ini hujan pertama akan turun? Tanyaku pada diri sendiri. Aku berharap aku bisa merasakan hujan pertama lagi dengan Arham. Aku jadi semakin tidak sabar dia datang menjemputku.
Alih-alih menunggu Arham, malah Iqbal yang datang. Wajahnya terlihat kusut dan membuatku bertanya-tanya apa yang terjadi. Apa terjadi sesuatu pada Arham? Apa Arham jatuh sakit? Atau... tidak. Aku tidak boleh berpikir negatif sebelum aku tahu apa yang terjadi.
"Ayo!" Iqbal memintaku untuk masuk ke mobilnya.
"Arham mana?" tanyaku sebelum masuk ke mobil sahabatku itu.
"Masuk aja dulu!!" pintanya dengan nada lesu. Ada apa sebenarnya?
Tiba di rumah Arham, aku merasa tidak ada yang aneh. Tapi saat masuk, aku langsung terperangah. Apa maksudnya ini? Kenapa semua barang-barang Arham terbungkus? Kenapa Arham memegang pasport dan juga tiket pesawat? Mau kemana Arham?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Pertama
Short StoryCerpen yang dijamin bikin baper.. Happy Reading... Kisah SMA seorang dokter dimana ia mengenal laki-laki pencinta hujan pertama.