Bagian 1

8 1 0
                                    

"Lautan luas di hadapanmu, memberikan nafas yang luas pula untukmu. Terlebih cinta di dalamnya, yang tak akan pernah surut meskipun badai sedang berlangsung."

-Lucas-
-----------------------------------------------------------

"Lucas!" suara seorang gadis sedang memanggilku dari luar perpustakaan. Suaranya terdengar nyaring tak seperti lolongan serigala yang sedang kelaparan. Wanita tua itu membelalak paham akan situasi saat ini. Dia menyerngitkan dahinya yang keriput itu. Menyatukan kedua alisnya yang putih dan ada sedikit semburat senyum meledek di wajahnya.

Harus kuakui, meskipun dia sudah sangat tua, dan aku sendiri tidak tahu berapa usia tepatnya. Dia sangat menyenangkan untuk diajak berbicara. Kalau menurut pendapatku, sudah hampir 20 tahun dia tidak berbicara dengan orang lain. Hanya dengan seekor lebah yang tak lain sebagai hewan peliharaannya. Aku juga tak tahu apakah dia seekor lebah yang sama atau bukan.

Luna menerobos masuk saat aku dan wanita tua itu sedang tertawa bersama. Wajahnya menampakkan rasa tak sukanya sekali lagi. Dia menarik lenganku tanpa sepatah kata pun. Aku menganggukkan kepalaku untuk memberikan isyarat kalau aku akan pergi.

***

"Aku harap kau tidak dalam kondisi yang buruk, Lucas," katanya.

"Aku baik-baik saja, Luna. Ada apa?"

"Tidak ada," dia mengalihkan pembicaraan.

Luna, dia adalah salah satu teman perempuan yang dekat denganku selain Kattie. Aku memang belum pernah membahas Kattie. Tapi tak apa. Luna merupakan seorang gadis yang cantik jelita. Memiliki kulit putih dan rambut panjang nan pirang warnanya. Mata birunya juga sangat indah menurutku. Dia orang yang baik. Aku bahkan tidak tahu mengapa aku bisa dekat denganya. Seperti tertarik oleh sebuah medan magnet tak kasat mata.

Luna terkenal dengan sebutan 'anak albino' karna kulitnya yang kelewat putih dari pasir pantai. Namun sebenarnya tidak, dia terlalu lincah saat berada di bawah sinar matahari yang dapat merusak kulitmu. Tetapi berbeda dengannya. Kulitnya tidak pernah terlihat berubah menjadi coklat, padahal dia sering sekali berenang di laut dan bermain di pantai sama sepertiku.

"Kau akan ke pantai lagi hari ini?" tanyaku pada Luna yang sedang asyik menikmati ice cream vanillanya.

"Yeah, itu kan kebiasaanku," jawabnya sambil tersenyum.

"Kau harus belajar makan ice cream lain kali," ucapku sambil membersihkan ice cream yang berada di sudut bibirnya. Dia tersipu malu.

"Tolong jangan lakukan ini lagi, Luke."

"Dan kau jangan panggil aku Luke lagi."

***

Aku pulang bersama Jack siangnya. Namun ada yang berbeda dari Jack. Dia menjadi lebih dingin daripada biasanya. Dia berjalan dengan tatapan kosong dan menyeret tasnya. Bahkan hembusan napasnya tidak terdengar olehku. Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam. Aku bersiul memecah suasana. Tetapi hasilnya nihil. Jack tetap diam.

Aku berusaha untuk berbicara dengannya tetapi dia tetap diam. Seolah-olah telinganya tertutup rapat oleh benda asing yang tak terlihat. Mungkin begitu adanya. Tapi aku tak tahu. Kami berhenti di persimpangan jalan tanpa bersuara. Menaiki bus dan diam. Selalu diam. Sampai di rumah pun, aku yang memberi salam pada ibu.

"Ada apa dengan Jack?" tanya ibu.

"Mungkin sedang mengalami hari yang buruk. Aku akan bicara padanya nanti," jawabku sembari menyambar sepotong hotdog di meja.

"Bawakan itu juga pada Jack, Lucky!"


***

Jack langsung pergi ke kamar dan tertidur di sofa sementara kemeja sekolah masih bertengger di  tubuhnya. Aku meletakkan hotdog milik Jack di meja belajarnya. Sambil melepas semua seragamku dan pergi mandi.

Selepas aku mandi, Jack sudah bangun dan memakan habis hotdognya. Aku pikir dia turun menemui ibu, namun tidak. Dia berada di atas kasur dan melihat laut dari sebalik jendela. Aku memberanikan diri untuk mendekati Jack.

"Hei, Jack? Ada masalah denganmu?"

"Oh, hai adik kecil. Aku tak apa," dia berbohong.

"Kau yakin? Kau nampak buruk," aku berusaha mendekat dengan menepuk bahu Jack.

"HEI JAUHKAN RAMBUT BASAHMU DARI KASURKU! KAU MEMBASAHINYA!" dia berteriak dan membuat jantungku hampir copot.

"Oh baik-baik aku tak akan menyentuhmu!"

***

Aku duduk di depan meja belajarku, menyaksikan ribuan kata yang tertata rapi di dalam sebuah buku bertuliskan mata pelajaran sejarah. Rasa lapar yang menghantam perutku, mengalihkan perhatianku seketika. Aku berniat untuk menyelinap ke dapur sementara ibu sudah tidur sejak tadi sore. Tapi Jack menahanku.

"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan berdua denganmu, Luke," katanya.

"Jack aku mau turun sebentar, aku lapar. Akan aku buatkan omelet untukmu juga. Kau hanya makan hotdog tadi."

"Tidak, ini lebih penting dari omeletmu," kata Jack serius.

"Tapi, Jack. Aku sangat lapar. Ada sedikit peperoni di kulkas. Aku akan memanaskannya di microwave lalu aku akan kembali. Aku janji!"

Jack akhirnya mengizinkanku untuk turun. Sepertinya dia sangat kecewa. Tapi apa boleh buat, aku tak akan melewatkan cerita yang akan Jack katakan padaku dengan suara rengekan lambungku meminta makanan.

Aku kembali membawa banyak sekali makanan. Ada sedikit peperoni, omelet, dua gelas susu, keripik singkong, dan juga asinan. Aku juga tak lupa membawakan sandwich untuk Jack. Jack sangat suka sandwich dengan isian daging tuna dengan saus barbeque apalagi ditambah acar di atasnya.

"Kau lama sekali, hampir saja aku tertidur tadi," rancau Jack saat melihatku naik ke atas membawa nampan.

Aku meletakkan nampan di atas meja tengah yang sudah disiapkan Jack sebelumnya. Jack duduk bersila di depan meja duduk itu. Sementara aku sibuk menyuapkan sesendok peperoni ke dalam mulutku. Jack meminum susunya sekali tegak. Sembari mengecap lezatnya omelet yang kubuat, Jack mulai berbicara serius.

"Ada yang ingin kukatan padamu, Adik Kecil. Aku sudah mengetahuinya sekarang," kata Jack sebelum melahap habis sisa omeletnya.

"Apa itu, Jack?"

"Ini soal teman misteriusmu, Luna."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Please vote and comment below.

LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang