Perasaan ini terlalu aneh buatku. Di satu sisi aku cukup senang karena rasa penasaranku akan senyum rahasia Ibu mulai terjawabkan. Tapi di sisi lain aku merasa tidak senang karena Ibu punya seorang teman dari Inggris.
Apakah teman yang Ibu maksud adalah pacar seperti yang Kak Rena bilang? Atau apakah kak Rena yang salah? Belum tentu pacar... yah bisa jadi memang teman seperti yang Ibu bilang padaku.
Aku percaya pada perkataan Ibu, meskipun beberapa kali Ibu berbohong padaku. Tapi aku mempercayainya karena dia ibuku.
Belakangan ini Ibu selalu menyampaikan hal-hal yang cukup rumit untuk kumengerti.
"Kamu senang kan, kalau Ibu senang?" atau "Kalau Ibu suka sama seseorang, kamu juga pasti akan suka sama dia."
Perkataan itu terdengar sederhana, tapi entah kenapa terasa rumit. Kenapa untuk kali ini aku merasa tidak senang pada sesuatu yang Ibu senangi itu? Kenapa aku merasa tidak menyukai pada hal yang Ibu sukai itu?
Ah, aku tidak boleh begini. Aku tidak boleh jadi anak durhaka. Aku tidak mau seperti Malin Kundang yang diceritakan oleh ibu guru. Anak yang durhaka akan dikutuk jadi batu. Ngeri...
======
"Kita akan pindah ke Inggris, Sayang...." perkataan Ibu sore itu membuatku kaget bukan kepalang.
"Inggris? Buat apa kita pindah ke Inggris, Bu? Inggris itu kan jauh," tanyaku heran.
"Uncle Ted, teman Ibu itu... Dia mengajak kita tinggal di Inggris," jelas Ibu perlahan kemudian menarik nafas dalam dengan mata terpejam.
Aku menduga mungkin Ibu akan menyampaikan sesuatu yang amat penting.
"Kenapa bu?" tanyaku makin penasaran.
"Sayang... kamu senang kan kalau Ibu senang? Kamu akan menyukai orang yang Ibu sukai?"
Lagi-lagi Ibu menanyakan hal rumit itu kepadaku. Aku terdiam cukup lama. Namun akhirnya mengangguk. Aku tidak mau dikutuk menjadi batu.
"Begini Sayang, Ibu akan menikah dengan Uncle Ted di Inggris. Uncle Ted akan menjadi ayah kamu," kata Ibu sambil memegang kedua pipiku.
"Kamu senang kan, Sayang?" Dia bertanya sambil menatap lurus ke mataku. Tatapan itu sungguh membuatku gelisah.
Aku terdiam lagi. Tidak begitu yakin apakah aku senang atau tidak dengan rencana Ibu itu. Namun lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk meng-iyakan. Aku benar-benar takut Ibu akan menganggapku anak durhaka dan mengutukku menjadi batu.
"Ibu sudah menjual tanah di kampung untuk membeli tiket ke sana. Uncle Ted sudah memesankan tiket untuk kita berdua. Begitu kontrakan rumah ini selesai, akhir bulan nanti, kita akan langsung berangkat," kata Ibu menjelaskan.
Dia kemudian memelukku dan mengusap kepalaku dengan lembut. Aku sungguh lega dengan pelukan itu. Kubiarkan tubuhku terbenam di antara kedua lengan wanita yang paling kusayangi itu.
Gelisah di hatiku perlahan luntur. Aku tahu Ibu pasti terus menyayangiku apapun yang terjadi. Bagiku hanya itu yang paling penting .
=====
Empat bulan berlalu. Dan sampai hari ini aku dan Ibu belum berangkat ke Inggris. Di satu sisi aku merasa sangat senang karena itu mungkin berarti pernikahan Ibu dengan Uncle Ted sudah batal. Dan aku tidak harus berpisah dengan teman-teman sekolahku di sini. Sungguh lega rasanya.
Namun di sisi lain aku merasa sangat sedih melihat Ibu yang selalu murung sejak pulang dari bandara waktu itu.
Saat itu Ibu menyodorkan secarik kertas --yang kuduga adalah selembar tiket-- ke sebuah loket di bandara. Loket yang terlalu tinggi untuk kuintip apa yang ada di dalamnya.
Kemudian Ibu nampak terkejut setelah seseorang dari dalam loket itu berkata "Mohon maaf, Bu. Tiket ini tidak berlaku."
Setelah berdebat dengan petugas loket, Ibu nampak menelpon seseorang. Mungkin Uncle Ted. Tapi aku tidak yakin. Karena saat itu ibu tidak tersenyum seperti biasanya.
Wajahnya pucat dan terlihat kalut. Sepertinya ibu mencoba menghubungi seseorang berkali-kali namun tak ada jawaban.
Hingga akhirnya dia marah. Aku sangat ingat kemarahan Ibu saat itu. Sampai-sampai Ibu mengucapkan kalimat yang selalu dia ajarkan padaku untuk tidak diucapkan.
Hatiku mengkeret mendengar bentakan-bentakan Ibu yang tidak jelas ditujukan pada siapa. Yang pasti bukan padaku. Mungkin pada Uncle Ted. Ya, Ibu pasti sedang marah pada laki-laki itu.
Beberapa saat setelah Ibu nampak lelah berteriak, dia lalu duduk di salah satu kursi yang berderet panjang. Aku mengikutinya duduk di sana. Tak berani melontarkan sepatah katapun.
Rasanya amat lama kami duduk di situ. Sampai perutku terasa lapar dan air mineral di tanganku habis tak bersisa.
Hingga akhirnya Ibu mengajakku pulang saat langit mulai gelap.
Ibu melangkahkan kakinya dengan gontai sambil menyeret koper-koper kami. Setelah mengecek dompetnya, ia lalu memesan taksi.
Sepanjang perjalanan Ibu memelukku sambil menangis. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Seandainya bisa kuhapus kesedihan Ibu, tapi aku hanya anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku hanya ingin bilang padanya. "Tenanglah Bu, masih ada aku. Orang yang paling menyayangimu di muka bumi ini."
[Selesai]
Semoga berkenan dengan kisah ini. Mohon maaf bila masih terdapat banyak kekurangan 🙏

KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum Rahasia Ibu
Short StorySeorang anak yatim yang hidup berdua bersama ibunya. Senyum diam-diam yang selalu dia tangkap dari wajah ibunya membuatnya penasaran. Apakah ibunya menyembunyikan sesuatu darinya? Simak bagaimana pemikiran lugu seorang anak umur 8 tahun menghadapi...