Dua

0 0 0
                                    

Yuri

Ganin menurunkanku tepat di pintu Nafa. Kemudia ia berpamitan untuk ke sebrang. Sebelum masuk sebuah pesan masuk. Isinya dari Mia, sebuah foto selfie. Untuk apa dia mengirim fotonya?

Saat aku buka ternyata pertanyaan itu langsung terjawab dengan isntan.  Dari wajah Mia yang tersenyum kaku ada semburan asap dari samping dan lengan lelaki yang berusaha menggapai dadanya. Sialan! Siapa mereka?

Makin gila memang si Diva! Aku sebenarnya sudah, sudahlah.. Kalau mengingat kelakuannya aku sudah ingin melempar dia dari jendela kelas yang ada di lantai tiga. Tapi itu tidak mungkin. Sedikitnya dia masih baik padaku.

Aku segera mengirimkan sebuah pesan singkat untuk Nina. Kenapa Nina? Karena dia adalah tipe yes girl jadi sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi jika ia lama-lama ada di sana.

Na, keluar dong.
Izin ke toilet gitu..

Aku menunggu di depan toilet Nafa.  Berharap Nina cepat merespon pesanku. Tak lama setelah pesan itu dibuka Nina menghampiriku setengah berlari.

"Kenapa lari, Na?" Tanyaku kuatir melihat titik-titik keringat di wajahnya.

Nina terdiam dan mengatur napasnya sejenak lalu melanjutkan dengan bercerita apa yang terjadi di dalam. Ia tampak takut dan tak nyaman. Aku mengerti setelah mendengar ceritanya.

"Tunggu di sini ya!" Pintaku.

"Kamu mau masuk, Ri?" Ia menahanku dan menggeleng sambil memegang ujung lengan seragamku.

"Tenang aja, Na.. " Aku segera berlalu darinya agar semuanya cepat selesai.

"Ruangan nomor sembilan belas.. " Ulangku saat mencari ruangannya yang ternyata hampir saja terlewat.

Saat aku membuka pintu bau rokok langsung menyelinap keluar. Sungguh pemandangan yang,  yah enatahlah, memuakkan. Aku melihat ada lima orang siswa berpakaian seragam maroon, anak SMA Kencana Darma. Sekolah elit yang banyak premannya itu.

Benar saja seperti yang diceritakan Nina. Anak-anak itu terlihat berkelas dan brutal. Sepatu-sepatu bermerek mahal,  tato yang mencuat dari seragamnya, rokok sih biasa tapi satu lusin bir kaleng di siang bolong. Gila!  Dan yang aku tidak suka adalah tangan mereka di rok seragam teman-temanku.

"Eh, Yuri akhirnya dateng!" Sambut Diva.

"Oh ini yang namanya Yuri!" Seru seorang pria berperawakan paling tinggi-besar di susul dengan matanya yang mejalar dari ujung rambut hingga ke ujung kakiku. Ia berdecak dan melipit senyuman dalam bibirnya yang nakal.

Aku jalan melangkahi mereka dengan penuh rasa percaya diri yang dipaksakan. Karena sejujurnya aku juga takut.

"Lho Nina lama banget ya ke toiletnya?" Tanya Mia sesuai rencana kami.

"Tadi aku lihat dia ke kamar mandi wajahnya pucat banget."

"Oh ya?" Mia berekasi sedikit berlebihan.  Tiba-tiba suara handphonenya berbunyi dan drama dimulai.

"Nina katanya sakit muntah-muntah.  Aku pulang duluan ya mau ngantar Nina."

"Sendirian bisa gak?" Sergah Katarin cepat-cepat.  "Aku ikut ya, takut kenapa-napa." Mereka buru-buru keluar dan berpamitan setelah meminta maaf dan menolak halus tawaran mengantar dari mereka. Gila bisa saja mereka untuk urusan merayu!

"Tas Nina jangan lupa!" Aku berikan pada Katarin setengah melempar karena ia sudah buru-buru melesat.

"Yah jadi sepi, sorry ya!" Kata Diva basa-basi sambil melorot manja pada laki-laki yang ia sandari, Dimo katanya setelah mengenalkan diri. Aku baru ingat itu kan nama pacar barunya Diva, yang kalau tidak salah ketua geng gong apalah itu.

"Santai, gak masalah kita tetap lanjut." Ucap seseorang bertubuh kurus yang menyandarkan tangannya ke bahuku. Aku langsung cepat-cepat mengelak. 

"Aku mau pilih lagu!" Kilahku.

"Katanya kamu atlet, atlet apa?" Tanyanya sambil tetap bermain tangan di pundakku. Ia tidak mudah menyerah.

"Aku mau nyanyi." Aku melarikan diri dari situasi itu dan dengan mantap berteriak-teriak di hadapan mereka dengan suaraku yang sumbang. Mataku berusaha fokus ke layar agar menghiraukan tatapan mengerikan dari mereka.

"Capek?" Tanya lelaki kurus itu tak mau berhenti berusaha. Ia menyodorkan sekaleng bir dingin yang basah karena titik embun di sekelilingnya.

"Makasih." Aku menolaknya, tentu saja!

"Dia atlet, Di,  no alcohol no drugs!" Goda seorang lelaki lain yang aku malas melihat wajahnya.

Selama beberapa waktu aku muak bertahan hanya agar Diva tidak malu.  Tapi ini sudah cukup. Waktunya pergi.

"Mau kemana, Ri?"

"Balik." Mataku menyapu ekspresi di mata mereka. "Pacarku udah jemput?" Ucapku asal untuk meyakinkan mereka. Aslinya sih mana ada pacar!

"Pacar?" Tanya Diva seakan tidak bisa diajak bekerja sama sekali saja. Please Div!

"Jangan-jangan Ganin?"

Terserahlah! Aku hanya mengangguk. Terimakasih atas idenya.

"Kapan?" Ia menegakan tubuhnya tak percaya.

"Baru aja." Ucapku singkat sambil siap-siap memakai tas ranselku. "Aku duluan, maaf gak bisa sampai beres." Tutupku. Lalu aku masa bodoh meninggalkan Diva yang sepertinya sangat menikmati ada di sana.

Aku menghela napas saat baru saja keluar dari tempat memuakkan itu. Aku berjalan ke depan untuk langsung pulang ke rumah setelah hari yang berat ini. Semuanya sudah memenuhi chat room menanyakan kabarku. Memastikanku sudah pulang dengan selamat. Lucunya mereka, padahal ini bukan masalah besar.

"Lho, mana cowok kamu?"

Sebuah suara datang dari balik punggungku. Begitu dekat.

"Pasti bohong!" Tukasnya dengan senyuman nakal itu lagi. Dia laki-laki yang paling besar ketika duduk di dalam, dan memang benar ia terlihat seperti atlet American football, sangat tinggi dan besar. Mengingatkanku pada kakak keduaku. Pastinya ia akan menjadi lawan sparing yang sesuai di kelas berat.

"Bukan urusan kamu!" Aku tidak peduli dan segera membalikan badan. Tiba-tiba dia menarik tasku hingga tubuhku terpelanting ke belakang menabrak dadanya.

"Di sebrang sana cowoku lagi footsal. mau iku? Siapa tahu kamu juga suka sama cowoku!" Aku menarik tasku dari cengkramannya. Ia hanya tersenyum memerhatikanku.

Aku pergi tanpa mempedulikannya dan ia tetap mengikutiku. Aku berusaha tidak peduli. Lagi-lagi ia menyeret tas ranselku. Kali ini saat aku berbalik ia sudah mengacungkan handphone di hadapanku. Ia memintaku untuk mengisi nomorku ke dalamnya. Saat aku menuruti baru tasku dilepaskannya.

"Aku bilang aku sudah punya pacar,  tahu!"

"Aku tahu!" Ucapnya penuh senyum kemenangan.

Baiklah terserah. Aku pun melanjutkan aksi berpura-pura punya pacarku ini. Aku terpaksa menyebrang dan masuk ke tempat footsal sekedar hanya untuk menunggu sebentar kalau-kalau lelaki itu masih menunggu di depan.

Aku menyandar di dinding lobby dan mengatur napas sambil berpura-pura memainkan handphone agar tidak mati gaya.

"Yur,  kamu lagi apa di sini?"

No! Suara ini!

"Yuyu... "

Dan lagi suara ini..

***

Konfigurasi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang